Mohon tunggu...
Rolin Taneo
Rolin Taneo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemulung Ilmu

Tertarik pada bidang ilmu filsafat, sosiologi dan teologi (Kristen)

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Mungkinkah Manusia Hidup Tanpa Teknologi?

31 Mei 2024   21:46 Diperbarui: 1 Juni 2024   12:52 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Hari ini, 31 Mei 2024, saya iseng mengecek jumlah kuota internet yang saya gunakan sepanjang bulan ini. 

Hasilnya mencengangkan. Ternyata dalam bulan ini jumlah kuota yang saya gunakan yakni 54 GB. 

Angka di atas kalau dikalkulasikan ke dalam nilai rupiah maka selama bulan ini saya mengeluarkan biaya sebesar Rp. 150.000,00-Rp.200.000,00. 

Jumlah ini memang belum seberapa jika dibanding dengan biaya jaringan wifi sebulan. 

Saya lalu berpikir, mengapa dalam bulan ini saya bisa sampai boros? Sepertinya ada yang salah dalam diri saya. 

Atau jangan-jangan saya mulai masuk dalam kategori masyarakat yang candu teknologi. 

Kemungkinan-kemungkinan di atas itu bisa saja ada benarnya. Tetapi jauh lebih dari itu, saya justru lebih berpikir jika saya ini masuk dalam kategori masyarakat yang memilih menyatakan eksistensi diri lewat media. 

Tulisan ini kemudian lahir sebagai hasil refleksi atas fenomena yang saya rasakan sendiri dan selanjutnya saya sejajarkan dengan konteks di abad 21 yang kalau mau dibilang nyaris tidak bisa hidup tanpa teknologi. 

Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa poin yang lebih rincinya bisa disimak dalam ulasan di bawah :

1. Teknologi dan Manfaatnya Bagi Manusia

Kita sudah masuk dalam era dimana segala pekerjaan manusia dimudahkan melalui hadirnya teknologi. 

Teknologi sebenarnya merupakan komponen atau alat hasil rekayasa yang dirancang sedemikian rupa untuk bisa menjalankan fungsi tertentu. 

Misalnya, teknologi komunikasi. Jenis teknologi ini dimanfaatkan oleh banyak masyarakat dunia untuk bisa membangun jejaring komunikasi tanpa batas dengan kerabat atau orang lain. 

Teknologi komunikasi bisa menghubungkan kita dengan sesama di berbagai belahan dunia melalui layar dan  komponen di Handphone kita. 

Kita tidak perlu lagi berjalan jauh untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain. Biar begitu, kita perlu sertakan catatan bahwa adanya teknologi komunikasi semakin menggerus perjumpaan fisik antara satu dengan yang lain. 

Bahkan bisa jadi solidaritas kita itu solidaritas semu karena hanya melalui dunia maya. 

2. Teknologi dan Dampak Buruknya bagi Peradaban

Pertanyaan di atas penting untuk dijawab. Mengapa demikian? Sudah ditegaskan di awal bahwa di era abad 21 ini, hampir di segala sendi kehidupan manusia, teknologi itu amat dibutuhkan. 

Manusia seperti akan menjadi subjek kesepian apabila tidak ada teknologi. Lihatlah dunia kita sekarang. 

Dunia kita telah dipenuhi oleh generasi menunduk. Orang lebih fokus melihat ke layar dibanding melihat realitas sekeliling. 

Memang harus diakui bahwa realitas itu bisa pula diakses melalui teknologi. Orang bisa mengetahui berita terkini melalui benda kecil yang disebut dengan smartphone. 

Tapi, belum tentu dengan mengetahui informasi melalui alat, maka manusia bisa menunjukkan aksi konkret memecahkan masalah. 

Berita yang tersiar di media sosial juga belum tentu benar-benar tervalidasi. Itulah sebabnya kemudahan mengakses informasi juga punya dampak buruk yakni meningkatnya berita hoax. 

Orang lalu menaruh curiga. Orang lalu hidup dalam sentimen-sentimen. Kondisi ini bisa memperkeruh suasana di dunia nyata. Sungguh ini ironi!

Kalau begitu, kita bisa berkesimpulan bahwa teknologi itu perlu dan amat dibutuhkan manusia tetapi manusia sebagai subjek yang menggunakan perlu juga menggunakannya secara arif. 

3. Menuju Masyarakat Homo Digitalis

Homo Digitalis merupakan suatu sapaan yang disematkan pada masyarakat abad 21 yang telah mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat digital. 

Di Indonesia, gagasan tentang Homo Digitalis ini menjadi makin familiar ketika seorang filsuf Indonesia bernama Fransisco Budi Hardiman mengemukakan istilah ini dalam bukunya yang berjudul "Aku Klik Maka Aku Ada".

Homo Digitalis itu adalah masyarakat khas abad 21 ini. Homo Digitalis sejatinya menjadi suatu cerminan dimana manusia seperti hanya bisa bereksistensi melalui media atau tindakan digital. (Hardiman, 2021 : 39)

Bagaimana menjelaskannya secara sederhana? Lihat baik-baik lingkungan kita sekarang. Seseorang bisa saja jarang berkomunikasi secara fisik tetapi aktif berselancar di dunia maya. 

Untuk memastikan seseorang itu masih eksis, kita dapat mengetahui melalui chatting atau postingan yang ia upload dalam bentuk selfie. Dari sini kita bisa bilang bahwa oh ternyata dia masih hidup. (Hardiman, 40).

Dunia kita sekarang dikuasai oleh layar dan gerak jari-jemari kita. Jemari kita lebih aktif dibanding dengan daya nalar kita. 

Begitu juga dengan ilmu pengetahuan, kini ditransmisikan ke dalam media digital. Itulah yang sekarang kita sebut dengan Artificial Intelligence. 

Kita tidak perlu lagi berpikir muluk-muluk yang bisa menganggu kerja otak. Cukup dengan duduk di depan layar, jemari mulai bergeliat mengetik maka kita sudah bisa mendapatkan jawaban. Inilah yang sementara diusung oleh ChatGPT. 

Masyarakat Homo Digitalis seperti hidup dalam dunia yang serba praktis atau cepat saji. Semua bisa didapatkan dan diketahui dengan mudah. Susah rasanya untuk bisa melepaskan diri dari fenomena ini. 

4. Bagaimana Harusnya Relasi Manusia dan Teknologi? 

Don Idhe sebagaimana dikutip oleh Francis Lim memberi 4 model relasi antara manusia dan teknologi. Tetapi di sini penulis hanya mengutip 2 model relasi yang penulis anggap relevan, antara lain :

4.1. Hubungan Kebertubuhan

Pada hubungan kebertubuhan, alat digunakan sebagai perpanjangan dari tubuh manusia. 

Bahkan, alat telah menjadi sebagian dari tubuh manusia dalam relasinya dengan dunia yang ada di sekitarnya. 

Atau lebih sederhana dapat kita katakan kalau manusia sudah "menubuh" dengan alat. 

Di sini, alat juga berperan sebagai mediator di antara manusia dan dunia, serta merupakan bagian dari pengalaman manusia yang bertubuh. (Lim, 2008 : 101-102) 

4.2. Hubungan Keberlainan

Hubungan yang kedua ini bertitik tumpu pada teknologi dilihat sebagai Yang Lain, atau quasi Yang Lain. 

Konsep Yang Lain ini Ihde afirmasi dari pandangan Levinas. Di sini, manusia tidak boleh dilihat sebagai objek, maupun sebagai sarana. 

Dalam kaitannya dengan teknologi, teknologi bisa dilihat sebagai Yang Lain, maka ini hanya bisa dibahas dalam terang pemahaman antropomorfisme. 

Pemahaman ini Ihde kemukakan guna mengatasi pandangan yang menjelaskan jikalau teknologi itu membawa dampak negatif. Contoh dari hubungan ini ialah bisa kita lihat dari penggunaan komputer. 

Komputer adalah quasi Yang Lain, tetapi bukan dengan ciri gerakan tubuh karena komputer tidak memiliki mobilitas fisik, melainkan hubungan keberlainannya yang terlihat dalam wilayah bahasa dan logika. (Lim, 115-119).

Dua poin ini setidaknya menegaskan bahwa baik manusia, baik teknologi, keduanya memiliki esensi berbeda.

Manusia tetaplah manusia, tetapi alat dalam dunia teknologi bisa membantu manusia di dalam mengerjakan aktivitas manusia. 

Teknologi bukan manusia tetapi ia bisa membantu manusia. Meski begitu, keduanya berlainan. Karena itu, baiklah teknologi dan manusia dilihat sebagai dua esensi berbeda. 

Dengan demikian, manusia bisa membebaskan dirinya dari stigma sebagai yang candu teknologi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun