Mohon tunggu...
Rolan Sihombing
Rolan Sihombing Mohon Tunggu... profesional -

Kita tidak perlu otak jenius untuk memulai perubahan. Kita hanya perlu hati tulus yang tergerak mengulurkan tangan kepada penderitaan anak-anak bangsa yang tidak seberuntung kita. -www.rolansihombing.wordpress.com-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Namaku Piet. Pendeta Piet

25 Januari 2015   01:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:26 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seumur hidup aku tidak pernah membicarakan peristiwa kelam itu, bahkan tidak kepada istri dan anak-anakku. Di akhir masa studiku di Belanda aku baru tahu kalau terjadi peristiwa pembantaian orang-orang yang diduga simpatisan PKI secara masif. Bahkan peristiwa itu pun terjadi di Maumere. Dan kecamatan tempat aku bertugas kala itu, merupakan tempat di mana korban paling banyak dibantai secara keji. Pria-pria disiksa lalu ditembak. Karena peluru menipis maka orang-orang yang malang itu pun tewas dengan leher tergorok. Para perempuan yang tertangkap juga mengalami nasib yang tak kalah tragis. Selain diperkosa secara bergilir, mereka juga dibunuh dengan sadis. Beberapa ibu hamil yang ditangkap, tewas secara mengenaskan. Perutnya dibelah, dan janinnya dicincang-cincang.

"Bertahun-tahun saya menunggu momen ini, Bapak Pendeta Piet. Lebih dua puluh tahun saya mencari Bapak. Dan akhirnya pada hari ini saya bisa melihat wajah Bapak."

"Jika adik ingin membunuh saya, silakan lakukan sekarang juga. Saya tahu saya waktu seperti ini akan datang juga. Saya harus mempertanggungjawabkan perbuatan egois dan serakah saya."

Laki-laki itu menatapku dengan tajam . Sementara di dalam hati, aku mengucapkan doa. Mungkin seperti inilah yang dirasakan orang-orang yang memadati ruangan sempit dan temaram empat puluh tahun yang lalu. Mereka melihat ajal yang mendekat, sembari aku menuntun mereka berdoa Bapa Kami sambil mengarahkan mereka untuk menerima Kristus.

"Saya tidak berniat membunuh Bapak. Saya dan Mama, sudah memaafkan Pak Pendeta Piet. Permisi."

Anak laki-laki dari pria yang aku bunuh secara tidak langsung lewat daftar nama-nama yang kulingkari 50 tahun yang lalu, membalikkan badannya dan meninggalkan halaman rumahku. Aku pun duduk terhenyak di kursi dengan rasa malu terhadap perbuatan masa lampauku di Maumere.

Tiba-tiba rasa damai yang menyejukkan menghampiri seluruh relung badanku. Sayup-sayup terdengar suara pria yang akrab di alam bawah sadarku. Suara itu berkata di dekat telingaku.

"Masuk neraka kau, pelacur di balik jubah agama."

* T A M A T *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun