"Pimpinan Bapak mengutus Anda untuk melanjutkan studi di Belanda. Ini suratnya."
Aku pun membaca surat dari ketua sinode gereja tempat aku mengabdi. Lalu kemudian aku melingkari nama-nama di kertas panjang itu. Lebih dari separuh yang kulingkari, adalah bukan nama-nama jemaat yang kugembalakan.
Dan salah satunya adalah pria yang kulihat keesokan sorenya. Ia adalah seorang kerabat jemaatku. Dan sore itu ia menangis tersedu-sedu meminta aku menolongnya. Aku bertemu dia satu bulan yang lalu saat ia mendapatkan bantuan beras di Gereja. Tak jarang ia mencium kakiku sambil berteriak histeris dengan bahasa daerah yang tidak kumengerti.
"Bapa Pendeta. Tolong saya. Katakan pada orang-orang ini kalau aku tidak bersalah. Istriku, baru melahirkan. Tolong saya, Bapa."
Tetapi aku diam sambil terus mengucapkan doa Bapa Kami kepada kerabat jemaatku itu. Tubuhku yang nyaris limbung karena kakiku ditarik-tarik oleh tangannya yang terborgol, membuatku semakin mempercepat doaku.
"Terima Kristus dalam hatimu, maka hari ini namamu akan tercatat di Kerajaan Surga."
Tiba-tiba kerabat jemaatku itu diam. Tangis dan jeritannya yang membahana itu dalam waktu seketika berhenti sama sekali. Tetapi aku berusaha tidak mempedulikan dirinya karena masih banyak orang yang harus aku doakan di bilik sempit itu.
"Pendeta anjing!"
Darahku serasa menggelegak mendengar sumpah serapah kerabat jemaatku.
"Heh, babi! Tutup mulutmu atau kutembak," hardik seorang yang memanggul senjata laras panjang yang selalu berada di sampingku.
"Tembak saja Pak. Aku lebih baik mati dan masuk neraka. Karena aku akan menghantui kalian semua. Khususnya Pendeta munafik ini." Matanya melotot kemerahan. "Demi kesenanganmu sendiri, Bapa mengorbankan aku dan seluruh orang di ruangan ini. Masuk neraka kau, pelacur di balik jubah agama."