"Apakah Bapak adalah Piet? Pendeta Piet?"
Aku sedang membaca koran di teras rumahku yang asri saat seorang pria berusia 50-an memanggil dan mendekatiku. Rupanya sudah dari tadi ia memasuki halaman rumahku. Aku memang selalu membiarkan pintu pagar rumahku terbuka luas, karena sewaktu-waktu selalu saja ada mahasiswa yang mampir menyambangiku. Dari yang sekedar bercerita ngalor-ngidul tentang apapun, hingga para mahasiswa yang ingin mendiskusikan tesis dan disertasinya.
"Anda siapa ya? Terakhir kali saya dipanggil Pendeta itu lima puluh tahun yang lalu, lho."
"Bapak tidak mungkin mengenal saya. Tetapi Bapak pasti mengenali pria ini," kata laki-laki berkulit legam itu sembari menyodorkan sebuah foto hitam putih yang sudah lusuh.
Mata uzurku berusaha mengenali pria asing ini, dan aku yakin betul dia bukan mahasiswa program doktoral yang kuajar, dan bukan juga orang yang aku kenal selama karir panjang mengajarku di negeri ini.
Tetapi foto itu. Aku tak akan bisa melupakan wajah  pria berkumis tipis di foto lusuh itu.
Tubuhku mendadak lemas.
***
Namaku Piet. Pendeta Piet biasanya demikian orang-orang memanggilku. Sudah tiga belas bulan aku bertugas di Maumere, pulau Flores Nusa Tenggara Timur.
Menjadi rohaniwan di salah satu daerah yang terpinggirkan dari pembangunan, tidak pernah terlintas sebenarnya dalam angan-anganku. Aku lebih berharap untuk meneruskan pendidikan teologiku di Eropa dan kemudian kembali ke Indonesia menjadi dosen dan ahli kitab-kitab Perjanjian Lama. Di Indonesia masih sedikit sekali teolog yang memiliki kepakaran dalam bidang tersebut.
"Kau ambil saja tawaran penggembalaan itu," kata dosen pembimbingku suatu sore beberapa hari sesudah wisuda Sarjana Teologiku. "Dua atau tiga tahun cukup. Setelah itu kau bisa mengajukan beasiswa ke Belanda seperti mimpimu."