Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Dewa Sungai Musi

28 Desember 2015   21:36 Diperbarui: 28 Desember 2015   21:53 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Agam, ayo masuk makan dulu. Tinggalkanlah dulu sepedamu itu. Tidak akan lari ke mana kalau tak ada yang mengendarai.”

Agam kecil masih sibuk mematut-matut sepeda barunya. Dilapnya dengan secarik kain dari hulu sampai hilir badan sepeda. Masih basah, maklum, sepeda tersebut baru saja diambilnya dari sungai.

“Tapi Bu, kalau ada yang mencurinya bagaimana?”

“Apa pula maksudmu ini, Gam. Mana ada yang yang mau mencuri lagi di kampung kita ini. Semuanya sudah tercukupi. Lagipula, mana ada yang berani mencuri barang pemberian Dewa Sungai Musi. Takut terkutuk dia nanti.”

Benar juga pikir Agam. Semenjak pertama kali Dewa Sungai Musi memberikan barang-barang dari dalam tubuh sungainya kepada warga kampung, kasus pencurian dan kejahatan demi materi turun drastis. Semuanya tercukupi, walaupun kondisi barang-barang yang diberikan sudah tak layak lagi. Peralatan masak, furnitur, sampai kendaraan seperti sepeda baru Agam, semuanya bisa diambil dari dalam tubuh Dewa Sungai Musi yang tak lain adalah aliran air sungai itu sendiri.

Semua bermula sekitar 6 bulan yang lalu. Sungai Musi yang merupakan sungai terbesar di jamrud katulistiwa memiliki banyak anak sungai. Salah satunya adalah kali kecil yang menjadi sumber penghidupan di kampung yang tak kalah kecilnya tempat Agam tinggal. Jangan membayangkan kali kecil itu sebagai kali yang jernih, sejuk dipandang, dan menenteramkan hati. Hampir sama dengan induknya si Sungai Musi utama, kali kecil ini pun berwarna cokelat, bau, dan terkandung banyak sampah di sekujur badan sungainya.

Warga kampung sebenarnya sudah cemas, kalau-kalau sampah yang menggenangi ini akan membuat kali sewaktu-waktu meluap dan timbulah banjir bandang. Hal ini sudah disampaikan kepada kepala desa. Namun kepala desa yang gemuk itu hanya mengiya-iyakan saja. Tidak ada tindakan. Setiap kali dicari untuk menyelesaikan masalah sungai yang makin keruh, dia menghilang. Sedang sakit katanya. Kadang, sedang keluar negeri katanya. Ada saja alasannya untuk menghindar.

Apa yang ditakutkan akhirnya muncul. Debit hujan yang menggila di musim penghujan menyebabkan aliran anak sungai makin tak terkendali. Celakanya, jumlah air berbanding lurus dengan jumlah sampah yang berenang-renang seolah tak bersalah. Jenis sampah juga berubah. Yang tadinya hanya berupa ranting dan dedaunan, plastik bekas bungkus makanan, dan sesekali pakaian dalam, kini “naik kelas” menjadi beberapa perabotan rumah tangga seperti sapu, ember, baskom, dan lain-lain. Semakin hari jenis sampah yang ada semakin naik kelas. Sampai hari ini, kelas tertinggi yang ada adalah perhiasan kalung imitasi.

Pak Kades yang kebetulan sedang ada di tempat, segera didemo warga yang marah. Mereka meminta beliau untuk segera melakukan tindakan atau akan dipaksa turun dari jabatan yang telah didudukinya kurang lebih 2 tahun. Mau tak mau si gembrot itu meninjau kali yang bermasalah dari hulu sampai ke hilir.

“Sudah runyam sekali ternyata masalah kali ini. Butuh alat-alat berat untuk mengangkut sampah sebanyak ini. Kalau begini caranya, komisi buatku bisa berkurang. Mana biaya sekolah si sulung di luar negeri mau naik lagi katanya.” Batin Pak Kades.

Diputarnya otak liciknya sampai tujuh keliling. Karena tak mau duit yang masuk ke kantongnya berkurang, dicarinya tipu muslihat agar warga mau berdamai dengan kondisi yang seperti ini. Iya, dia harus mencari cara agar warga melihat meluapnya sungai ini sebagai rejeki, bukan musibah.

“Selamat pagi warga-warga ku tercinta. Terima kasih sudah menyempatkan datang ke Balai Desa hari ini. Saya tahu bapak dan ibu sedang kerepotan mengurusi rumah yang kebanjiran, namun apa yang harus saya sampaikan hari ini sangatlah penting.”

“Apakah bapak dan ibu sekalian tau tentang legenda Dewa Sungai Musi?”

Seketika ruangan riuh rendah. Semuanya serentak berbicara, celingak celinguk. Beberapa orang terlihat mengangguk-angguk sok tahu. Beberapa terlihat sangsi.

“Nah itu ada beberapa ibu-ibu yang menganggukkan kepalanya. Tahu kan, Bu? Sebenarnya Dewa Sungai Musi itu bukan cuma legenda. Tapi itu adalah kenyataan. Dewa Sungai Musi adalah dewa pembawa rejeki yang selalu muncul di saat musim penghujan. Di saat air sungai meluap, di saat itulah dia naik ke daratan untuk menyapa umat-umatnya, bapak dan ibu sekalian.”

Warga terlihat antusias mendengar. Ibu-ibu yang tadi disapa langsung oleh Pak Kades karena mengangguk-angguk sok tahu makin mengangguk-anggukkan kepalanya agar terlihat pintar. Beberapa yang tadinya menyangsikan pernyataan Pak Kades, sekarang menjadi memperhatikan karena mendengar kata-kata “pembawa rejeki.”

“Saya tadi sempat berjalan-jalan dan berkunjung ke beberapa rumah warga. Air memang sudah sampai ke rumah-rumah, riaknya menyapu-nyapu halaman rumah. Tapi ada satu hal menarik yang saya perhatikan. Air luapan kali tidak datang sendiri. Tapi dia membawa serta bonus-bonus seperti ember, sapu, dan peralatan rumah tangga lainnya.”

“Itu mah sampah, Pak!” potong seorang warga.

“Wah, kalau bapak memandangnya itu sebagai sampah, saya tersinggung. Istri saya baru tadi pagi mengambil satu buah kain pel yang terbawa arus ke depan rumah, dan menggunakannya. Masih bisa digunakan loh pak, apalagi kebetulan sekali alat pel di rumah saya sudah rusak.”

“Yang ingin saya tekankan di sini adalah banjir yang sedang melanda desa kita ini jangan dianggap sebagai musibah. Ini merupakan wujud limpahan rejeki dari Dewa Sungai Musi. Lihatlah, banyak sekali barang-barang yang bisa kita dapatkan secara cuma-cuma, langsung di depan rumah. Kalau bapak dan ibu memandangnya sebagai sampah, ya pasti jadinya seteres. Tapi kalau dipandangnya sebagai suatu rejeki, Insya Allah Dewa Sungai Musi bakal lebih getol memberikan rejekinya.”

Pertemuan di Balai Desa pagi itu dibubarkan. Semenjak pertemuan itu tidak ada lagi warga yang mengeluhkan tentang banjir yang terjadi. Berbulan-bulan air terus menggenangi kampung tersebut dan tidak ada satupun lagi warga yang protes. Anak-anak seperti Agam senang karena mendapatkan sepeda baru dari sungai. Bapak-bapak di kampung ada yang mendapatkan stik golf. Sudah cukup senang punya stik golf walaupun tidak ada tempat untuk memainkannya.

Lambat laun masyarakat kampung sebelah pun merasa diresahkan. Air yang makin hari makin banyak akhirnya menyeberang ke dataran desa tetangga yang memang letaknya lebih rendah dari kampung Agam. Tak tahan dengan keadaan, diadukanlah kasus banjir tak kesudahan ini kepada Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Pak Gubernur langsung yang turun tangan untuk datang meninjau kampung yang tiba-tiba namanya melejit di media sebagai “kampungnya Dewa Sungai Musi.”

“Pak Kades, kenapa bisa banjir di mana-mana seperti ini? Saya sampai harus ganti celana seperti ini gara-gara tadi jatuh ke genangan air.”

“Ini bukan banjir, Pak Gubernur. Ini adalah perwujudan Dewa Sungai Musi yang ingin menyapa warganya di musim penghujan seperti ini. Bukan musibah, tapi rejeki!”

“Rejeki dari mana? Orang saya lihat banyak anak-anak kecil yang berobat karena muntaber di puskesmas tadi. Kebetulan saya ganti celananya di puskesmas, jadi sempat bertanya dengan dokter kepalanya tadi.”

“Penyakit sih urusan kecil, pak. Warga sini tidak terlalu mementingkan urusan penyakit. Yang penting perabotan rumah baru, alat-alat rumah tangga baru. Anak kecil yang tadi muntaber juga senang kok punya banyak mainan, bahkan sepeda baru.”

“Lagipula pak, ini rejeki juga bukan cuma buat warga kampung. Tapi juga buat kita-kita petinggi ini. Kalau banjir ini mau dihilangkan, surutlah mata air kita kan pak.” Ujar Pak Kades sambil terkekeh. Enteng sekali dia mengucapakannya, seolah hal tersebut sangat wajar untuk diucapkan.

“Benar juga kau ini. Tak salah rupanya aku menempatkan kau sebagai Kades di sini. Ya sudah, lanjutkan saja apa yang kau sebut rejeki Dewa Sungai Musi ini. Kalau perlu kau buat sekalian patung dewanya untuk disembah, biar terlihat realistis gitu. Jangan bingung soal anggarannya, lipat gandakan saja, nanti aku langsung yang urus.”

“Tak perlu dua kali anda bilang Pak Gubernur. Hidup Dewa Sungai Musi!”

 

 Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun