“Selamat pagi warga-warga ku tercinta. Terima kasih sudah menyempatkan datang ke Balai Desa hari ini. Saya tahu bapak dan ibu sedang kerepotan mengurusi rumah yang kebanjiran, namun apa yang harus saya sampaikan hari ini sangatlah penting.”
“Apakah bapak dan ibu sekalian tau tentang legenda Dewa Sungai Musi?”
Seketika ruangan riuh rendah. Semuanya serentak berbicara, celingak celinguk. Beberapa orang terlihat mengangguk-angguk sok tahu. Beberapa terlihat sangsi.
“Nah itu ada beberapa ibu-ibu yang menganggukkan kepalanya. Tahu kan, Bu? Sebenarnya Dewa Sungai Musi itu bukan cuma legenda. Tapi itu adalah kenyataan. Dewa Sungai Musi adalah dewa pembawa rejeki yang selalu muncul di saat musim penghujan. Di saat air sungai meluap, di saat itulah dia naik ke daratan untuk menyapa umat-umatnya, bapak dan ibu sekalian.”
Warga terlihat antusias mendengar. Ibu-ibu yang tadi disapa langsung oleh Pak Kades karena mengangguk-angguk sok tahu makin mengangguk-anggukkan kepalanya agar terlihat pintar. Beberapa yang tadinya menyangsikan pernyataan Pak Kades, sekarang menjadi memperhatikan karena mendengar kata-kata “pembawa rejeki.”
“Saya tadi sempat berjalan-jalan dan berkunjung ke beberapa rumah warga. Air memang sudah sampai ke rumah-rumah, riaknya menyapu-nyapu halaman rumah. Tapi ada satu hal menarik yang saya perhatikan. Air luapan kali tidak datang sendiri. Tapi dia membawa serta bonus-bonus seperti ember, sapu, dan peralatan rumah tangga lainnya.”
“Itu mah sampah, Pak!” potong seorang warga.
“Wah, kalau bapak memandangnya itu sebagai sampah, saya tersinggung. Istri saya baru tadi pagi mengambil satu buah kain pel yang terbawa arus ke depan rumah, dan menggunakannya. Masih bisa digunakan loh pak, apalagi kebetulan sekali alat pel di rumah saya sudah rusak.”
“Yang ingin saya tekankan di sini adalah banjir yang sedang melanda desa kita ini jangan dianggap sebagai musibah. Ini merupakan wujud limpahan rejeki dari Dewa Sungai Musi. Lihatlah, banyak sekali barang-barang yang bisa kita dapatkan secara cuma-cuma, langsung di depan rumah. Kalau bapak dan ibu memandangnya sebagai sampah, ya pasti jadinya seteres. Tapi kalau dipandangnya sebagai suatu rejeki, Insya Allah Dewa Sungai Musi bakal lebih getol memberikan rejekinya.”
Pertemuan di Balai Desa pagi itu dibubarkan. Semenjak pertemuan itu tidak ada lagi warga yang mengeluhkan tentang banjir yang terjadi. Berbulan-bulan air terus menggenangi kampung tersebut dan tidak ada satupun lagi warga yang protes. Anak-anak seperti Agam senang karena mendapatkan sepeda baru dari sungai. Bapak-bapak di kampung ada yang mendapatkan stik golf. Sudah cukup senang punya stik golf walaupun tidak ada tempat untuk memainkannya.
Lambat laun masyarakat kampung sebelah pun merasa diresahkan. Air yang makin hari makin banyak akhirnya menyeberang ke dataran desa tetangga yang memang letaknya lebih rendah dari kampung Agam. Tak tahan dengan keadaan, diadukanlah kasus banjir tak kesudahan ini kepada Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Pak Gubernur langsung yang turun tangan untuk datang meninjau kampung yang tiba-tiba namanya melejit di media sebagai “kampungnya Dewa Sungai Musi.”