“Pak Kades, kenapa bisa banjir di mana-mana seperti ini? Saya sampai harus ganti celana seperti ini gara-gara tadi jatuh ke genangan air.”
“Ini bukan banjir, Pak Gubernur. Ini adalah perwujudan Dewa Sungai Musi yang ingin menyapa warganya di musim penghujan seperti ini. Bukan musibah, tapi rejeki!”
“Rejeki dari mana? Orang saya lihat banyak anak-anak kecil yang berobat karena muntaber di puskesmas tadi. Kebetulan saya ganti celananya di puskesmas, jadi sempat bertanya dengan dokter kepalanya tadi.”
“Penyakit sih urusan kecil, pak. Warga sini tidak terlalu mementingkan urusan penyakit. Yang penting perabotan rumah baru, alat-alat rumah tangga baru. Anak kecil yang tadi muntaber juga senang kok punya banyak mainan, bahkan sepeda baru.”
“Lagipula pak, ini rejeki juga bukan cuma buat warga kampung. Tapi juga buat kita-kita petinggi ini. Kalau banjir ini mau dihilangkan, surutlah mata air kita kan pak.” Ujar Pak Kades sambil terkekeh. Enteng sekali dia mengucapakannya, seolah hal tersebut sangat wajar untuk diucapkan.
“Benar juga kau ini. Tak salah rupanya aku menempatkan kau sebagai Kades di sini. Ya sudah, lanjutkan saja apa yang kau sebut rejeki Dewa Sungai Musi ini. Kalau perlu kau buat sekalian patung dewanya untuk disembah, biar terlihat realistis gitu. Jangan bingung soal anggarannya, lipat gandakan saja, nanti aku langsung yang urus.”
“Tak perlu dua kali anda bilang Pak Gubernur. Hidup Dewa Sungai Musi!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H