Mohon tunggu...
Fiksiana

Kura-kura yang Tetap Diam

16 Juli 2018   22:20 Diperbarui: 16 Juli 2018   22:31 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pusing sekali kepala Bona. Padahal ia sudah makan obat darah tingginya secara teratur. Pagi ini pun sudah dia makan, kalau dia tidak lupa. Ah, tentulah dia tidak lupa, usianya baru lewat 4 angka dari 50, terlalu dini untuk mengalami kepikunan. Tapi memang kepalanya pusing. Bukan sakit. Bedakan pusing dengan sakit. Karena pusing jauh lebih ke persoalan batin, dan sakit lebih ke persoalan fisik.

“Apalagi yang kau buat ini Elis, baru selesai satu perkara dengan lelakimu, sudah kau buat pusing lagi mamak mu ini dengan perkara lain.”

“Tidak lah kumaksud untuk bikin mamak pusing. Mamak sendiri yang sudah memintaku untuk putus hubungan dengan Said. Sudah kulakukan mak. Dan wajarlah kalau kali ini aku mengenalkan pada mamak calonku yang baru.”

“Ya calon baru sih calon baru, tapi tak begini juga lah anak gadisku…”

Bagaimana si ibu tidak pening, si anak gadis baru saja mengenalkan calon suaminya yang baru. Mengenalkan pacarlah sederhananya. Tapi yang dibawa sang anak kali ini bukanlah sesosok lelaki. Bukan juga perempuan, karena anaknya bukanlah penyuka sesama jenis. Tunggu, kalau dipikir-pikir calon Elis yang baru ini memang laki-laki. Atau lebih tepat disebut, jantan. Karena sang calon adalah  bukan manusia, melainkan kura-kura.

“Mamak belum tahu namanya kan. Namanya John. John Tampubolon. Batak dia mak. Separiban lah dengan mamak.”

Tidaklah penting lagi bagi Bona mau separiban atau tidak. Namanya memang keren, John Tampubolon. Seperti nama-nama pengacara, atau minimal pegawai negeri eselon tinggi. Tapi kalau sudah melihat tampang yang sebenarnya, si John ini tidak lebih dari kura-kura setinggi 5 cm, yang Bona yakin, baru dibeli Elis kemarin sore.

“Rupanya kau kemarin pergi ke toko hewan peliharaan ya, Lis. Sudah berani membohongi orang tua kau sekarang. Pengaruh Said lah ini.”

“Tidak mak, aku benar-benar main ke rumahnya Monik kemarin. Tapi kebetulan kucing peliharaan monik sedang sakit. Butuhlah dia bawa ke toko peliharaan. Di sanalah aku bertemu dengan John. 

Mamak tidak lihat saja, gagah kali dia waktu berdiri di atas batu karang buatan di etalase toko. Matanya setajam bilah pisau yang siap menyayat-nyayat hati setiap wanita. Di situlah aku langsung jatuh hati mak. Pas aku tahu pun, marganya Tampubolon. Samalah dengan mamak kan.”

“Tapi John ini agak pendiam mak orangnya. Sepanjang jalan dia lebih banyak diam. Lebih banyak aku yang cerita. Ya mau bagaimana lagi, memang sudah ari orok aku terlahir dengan mulut yang hiperaktif kek gini kan. Aku yakin John cuma berusaha jadi pendengar yang baik. Jadi pasangan yang sepadan. Istilah jaman sekarang ini, pacar yang suportif lah si John ini mak.”

Mual rasanya Bona mendengar celotehan gadisnya ini. Di samping mual, dia juga takut si gadisnya ini jadi gila. Masa kura-kura yang tidak bisa bicara dibilangnya pacar yang suportif? Pendengar yang baik? Kenapa tidak polisi tidur depan rumah saja dia bilang pasangan yang ideal?

“Sudah cukup, banyak kali cakap kau soal si John ini. Kau katakanlah apa sebenarnya mau kau Lis.”

Elis hendak tersenyum. Tapi ditahannya senyum itu, jangan sampai tersungging satu senti pun di bibirnya. Kalau tidak, semua rencananya bisa kacau. Bakal gagal dia men-skak mat mamaknya hari ini.

“Ya, yang aku mau cuma satu dari mamak. Aku mau doa restu. Soalnya, selama aku hidup 20 tahun ini, belum pernah aku mendapat restu mamak akan hubunganku dengan lawan jenis. Yang kudapat cuma ceramah, ancaman, bahkan usaha mamak untuk bunuh diri. Inginlah sekali-sekali anakmu ini mendapat berkat yang tercurah dari  mamaknya.”

Sejenak Bona tidak tahu harus berbuat apa. Dipandanginya John Tampubolon dengan lebih seksama. Bona berharap kalau saja kura-kura tersebut sama seperti cerita pangeran katak dalam dongeng. Cukup diberikan satu kali ciuman, sekejap dia menjelma menjadi pangeran tampan dan kaya raya. Namun dari gelagatnya yang sedari tadi hanya keluar masuk cangkang, sama sekali tidak ada potensi bahwa John Tampubolon adalah seorang pangeran yang dikutuk. Pengacara yang dikutuk pun tidak.

 “Lis, kalau kau bawa laki-laki sungguhan, maksud mamak yang manusia, betul-betul manusia, mungkin sudah mamak restui dengan senang hati. Cepat saja, tidak perlu bertele-tele, karena mamak pun juga kepingin kau punya pasangan.”

“Mak, mamak ini belum pikun kan. Baru juga 54. Kemarin-kemarin, baru sekitar 1 bulan yang lalu, sudah pernah Elis bawa laki-laki sungguhan yang benar-benar manusia. Baik budinya. Jelas latar belakang keluarganya. Dan yang paling penting mungkin buat kutegaskan pada mamak sekarang, kalau saja mamak lupa, namanya Said, dan dia bukan amfibi. Dia tidak bernapas lewat kulit dan cuma hidup darat mak.”

“Mamak bosan lis membahas ini…”

“Aku juga sudah bosan mak. Sebenarnya hari ini aku cuma mau kasih mamak pilihan. Mamak pilih mana yang lebih baik buat Elis, karena mamak sendiri yang bilang kalau orang tua selalu tahu yang terbaik buat anaknya. Sekarang pilih mak, pacaran beda spesies atau pacaran beda agama?”

Hari di luar terang benderang. Tapi Bona serasa mendengar suara petir yang menghantam bumi dengan kerasnya. Hatinya bergemuruh. Kurang ajar sekali anaknya ini. Tidak pernah terpikirkan olehnya kalau Elis akan datang dengan strategi buah simalakama seperti ini. Selama ini strategi-strategi Elis memang dinilai Bona kurang efektif. Bahkan cenderung klasik dan klise. 

Seperti mengajak Said ke rumah dan memberikan kejutan kue saat hari ulang tahun pernikahan Bona dan suaminya, menjadi sopir pribadi saat Bona sekeluarga bertandang ke Padang, yang kebetulan adalah kampung halaman Said, dan taktik-taktik menjilat calon mertua lainnya. Semuanya sudah diprediksi Bona sebelumnya, namun tidak dengan kehadiran John Tampubolon.

“Mak, sudah ada kacamata yang begitu besar kalau mau mamak pakai. Kacamata itu mengarah ke kehidupan Tulang Michael dan Nan Tulang Siti. Pakailah tuh kacamata mak, maka mamak bisa lihat. Mamak selalu bilang dinding batu antara aku dan Said ini terlalu tinggi. Dipanjat memang susah mak, tapi dinding itu selalu bisa dirobohkan. Buktinya anak Tulang Michael sudah mau 3 saja, 2 bulan lagi Nan Tulang bakal lahiran.”

Michael dan Siti. Manuver ini juga sudah diduga oleh Bona bakal dimainkan oleh Elis. Cepat atau lambat gadisnya akan meminta dia untuk menjadikan adik lelakinya itu tolok ukur. Kasus Michael-Siti memang sedikit banyak sama dengan Elis-Said dewasa ini. Bedanya, Michael lebih nekat dibanding Said. Tahu restu tidak akan turun dari kedua belah keluarga, dibawanya Siti kawin lari. Siti yang jatuh cintanya sudah terlalu dalam dengan sang kekasih, tidak banyak bicara, langsung mengangguk setuju.

Kasus ini memicu pertikaian kedua keluarga. Saling menyalahkan, saling tuduh menuduh, untung saja tidak saling main kekerasan, karena memang kedua pihak cenderung berasal dari golongan intelektual. Puncaknya peristiwa tidak dikira-kira ditemukan di koran harian Medan Jaya. Di harian tersebut diumumkan bahwa keluarga George Tampubolon mencoret nama Michael Rover Tampubolon dari silsilah keluarga. 

Kasarnya, tidak diakui lagi sebagai anak. Seolah tidak mau kalah saing, keluarga Sastroatmojoyo, ayah Siti, juga melakukan tindakan yang sama, di koran yang sama, hanya saja di hari yang berbeda. Praktis, kedua suami istri itu sudah tidak diakui oleh pihak keluarga masing-masing. Terasing karena cinta yang mereka pilih.

“Lis, dinding batu besar memang sudah dihancurkan Michael dengan Siti. Tapi apa kau sadar, kalau serpihan-serpihan debu nya masih ada di sekeliling mereka? Kau harus tau nak, setiap hari mereka menghisap debu-debu bebatuan ke paru-paru mereka. Awalnya memang tidak terasa apa-apa, namun seiring bertambahnya hari, debu itu akhirnya menumpuk dan membuat sesak. Kita tunggu saja kapan mereka sesaknya.”

“Kau mau, malam natal, yang biasanya kau pergi bersama bapak mamak lengkap, malah harus kau habiskan sendiri? Tak mungkinlah Said ikut ke gereja kan. Anak-anakmu nanti juga hampir dipastikan bakal ikut bapaknya. Sudah seharusnya ikut bapaknya.”

Elis terdiam. Bendungan air mata di pelupuk matanya sudah siap tumpah. Namun dia masih hening. Bona juga hening, kehabisan akal dan kata-kata untuk menasehati anaknya. Rasanya sudah habis persediaan huruf di kepalanya untuk dirangkai menjadi  kalimat. Apalagi John Tampubolon, yang amat terbukti predikatnya sebagai pendengar yang baik karena tanpa suara sejak tadi.

“Mamak restui kau dengan John, Lis. Setidaknya, keluarga John tidak akan mencoret namanya dari silsilah keluarga.”

Bona menumpangkan tangan ke atas kepala Elis dan cangkan John Tampubolon, seraya memberikan berkat restunya. Lalu Bona terkapar pingsan. Elis menangis tak berkesudahan. John Tampubolon? Tetap diam dan memilih masuk kembali ke cangkangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun