“Mak, sudah ada kacamata yang begitu besar kalau mau mamak pakai. Kacamata itu mengarah ke kehidupan Tulang Michael dan Nan Tulang Siti. Pakailah tuh kacamata mak, maka mamak bisa lihat. Mamak selalu bilang dinding batu antara aku dan Said ini terlalu tinggi. Dipanjat memang susah mak, tapi dinding itu selalu bisa dirobohkan. Buktinya anak Tulang Michael sudah mau 3 saja, 2 bulan lagi Nan Tulang bakal lahiran.”
Michael dan Siti. Manuver ini juga sudah diduga oleh Bona bakal dimainkan oleh Elis. Cepat atau lambat gadisnya akan meminta dia untuk menjadikan adik lelakinya itu tolok ukur. Kasus Michael-Siti memang sedikit banyak sama dengan Elis-Said dewasa ini. Bedanya, Michael lebih nekat dibanding Said. Tahu restu tidak akan turun dari kedua belah keluarga, dibawanya Siti kawin lari. Siti yang jatuh cintanya sudah terlalu dalam dengan sang kekasih, tidak banyak bicara, langsung mengangguk setuju.
Kasus ini memicu pertikaian kedua keluarga. Saling menyalahkan, saling tuduh menuduh, untung saja tidak saling main kekerasan, karena memang kedua pihak cenderung berasal dari golongan intelektual. Puncaknya peristiwa tidak dikira-kira ditemukan di koran harian Medan Jaya. Di harian tersebut diumumkan bahwa keluarga George Tampubolon mencoret nama Michael Rover Tampubolon dari silsilah keluarga.
Kasarnya, tidak diakui lagi sebagai anak. Seolah tidak mau kalah saing, keluarga Sastroatmojoyo, ayah Siti, juga melakukan tindakan yang sama, di koran yang sama, hanya saja di hari yang berbeda. Praktis, kedua suami istri itu sudah tidak diakui oleh pihak keluarga masing-masing. Terasing karena cinta yang mereka pilih.
“Lis, dinding batu besar memang sudah dihancurkan Michael dengan Siti. Tapi apa kau sadar, kalau serpihan-serpihan debu nya masih ada di sekeliling mereka? Kau harus tau nak, setiap hari mereka menghisap debu-debu bebatuan ke paru-paru mereka. Awalnya memang tidak terasa apa-apa, namun seiring bertambahnya hari, debu itu akhirnya menumpuk dan membuat sesak. Kita tunggu saja kapan mereka sesaknya.”
“Kau mau, malam natal, yang biasanya kau pergi bersama bapak mamak lengkap, malah harus kau habiskan sendiri? Tak mungkinlah Said ikut ke gereja kan. Anak-anakmu nanti juga hampir dipastikan bakal ikut bapaknya. Sudah seharusnya ikut bapaknya.”
Elis terdiam. Bendungan air mata di pelupuk matanya sudah siap tumpah. Namun dia masih hening. Bona juga hening, kehabisan akal dan kata-kata untuk menasehati anaknya. Rasanya sudah habis persediaan huruf di kepalanya untuk dirangkai menjadi kalimat. Apalagi John Tampubolon, yang amat terbukti predikatnya sebagai pendengar yang baik karena tanpa suara sejak tadi.
“Mamak restui kau dengan John, Lis. Setidaknya, keluarga John tidak akan mencoret namanya dari silsilah keluarga.”
Bona menumpangkan tangan ke atas kepala Elis dan cangkan John Tampubolon, seraya memberikan berkat restunya. Lalu Bona terkapar pingsan. Elis menangis tak berkesudahan. John Tampubolon? Tetap diam dan memilih masuk kembali ke cangkangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H