Mohon tunggu...
Rolando Agustian
Rolando Agustian Mohon Tunggu... -

Seorang dokter muda yang hobi beropini dan berakrobat dengan kata dan aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[CERPEN] Wisata Demo

31 Desember 2016   11:55 Diperbarui: 31 Desember 2016   12:37 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://ekoarif.wordpress.com/

“Bosen nggak sih, tiap tahun begitu mulu rencana kita”

“Ya bosen, tapi daripada ngandondi rumah saja, pa. Keliling-keliling kota sendiri sampai kucing bertanduk juga masih belum banyak perubahannya.”

“Emang kota lain banyak perubahannya?”

“Ya, tidak juga sih. Namun paling tidak kita enggakngeliat kota lain yang katamu tidak banyak perubahannya juga itu setiap hari.”

Memang pelik kalau sudah membicarakan soal mau ke mana liburan tahun ini. Baru saja 2 tahun menikah, sudah banyak sekali tempat wisata yang aku dan istriku lalap habis. Maklum, pasangan muda yang masih penuh gairah, ingin mencicipi setiap sudut bumi sebagai tempat berwisata dan bercinta. Dalam dan luar negeri. Dari titik nadir sampai titik nadirnya.

“Sebenarnya satu ya, sayang, yang membuatku malas itu. Tiap pergi, ke mana saja, mau sampai ke tempat liburan dengan biaya tur paling mahal sekalipun, yang kita lakukan selalu sama. Datang-datang, menikmati hotel. Baru sejenak, cari makan, wisata kuliner. Lalu pergi ke tempat-tempat eksotis, mengambil foto, membeli cinderamata, berkenalan dengan penduduk setempat, bermain sesuatu yang ekstrim dan hampir mencabut nyawa, lalu pulang lagi ke hotel. Beberapa hari, paket wisata sudah habis.”

“Ya itulah liburan, suamiku. Apa yang kamu sebutkan itu kan memang holiday in a nutshell.Masa kamu mau liburan yang nggabiasa? Misal, kamu libur lalu kamu disuruh membuat neraca atau laporan keuangan. Atau disuruh mengatur rencana perjalanan bisnis atasanmu. Itu bukan esensi dari liburan. Walaupun, harus diakui, emang tidak biasa sih.”

“Itu namanya kontra-liburan. Ya nggakyang begitu juga, sayang.”

“Jadi yang bagaimana?”

“Entahlah.”

Baru saja 2 tahun menikah tapi memutuskan soal mau liburan ke mana saja sudah sulit. Sudah mulai bosan. Apakah ini yang orang bilang after-marriage dullness?

“Aku coba browsing nih paket-paket liburan yang nggak biasa.”

“Mau sampai ke machu pichujuga begitu-begitu aja, honey. Nothing’s new i think.”

“Kayaknya kita nggak harus sampai ke machu pichu.Di Jakarta ada paket liburan yang mungkin kamu cari nih, Pa.”

“Nggak sampai ke machu pichu,tapi sampai ke Jakarta. Great.Memangnya apa yang mungkin ditawarkan kota setua Jakarta pada gairah berpetualangan pasangan semuda kita? Wahana baru di dunia fantasi? Ada arus yang lebih besar dan menantang di dufan? Atau malah jangan-jangan kidzaniasekarang sudah tersedia bagi orang dewasa yang dari dulu memiliki hasrat terpendam untuk ikut bermain?”

“Kamu jadi lelaki kok cerewet banget sih. Baru tau aku.”

“Udah bilang aja, ma.”

“Liat sendiri nih. Paket wisata demo. Pasti ini di luar prediksi kamu kan.”

Untuk sepersekian detik, ada satu denyut jantungku yang lolos. Terkejut. Sejenak aku bergeming. Mencoba memahami paket wisata yang ada di layar kaca telepon genggam.

“Ini gila.”

“Tapi itu yang kamu cari kan.”

“Kita berangkat, besok.”

***

Apakah perlu kuulangi sekali lagi kalau ini gila. Demo yang selama ini hanya bisa dilihat lewat televisi, bisa dialami langsung sebagai bagian dari real-life experience.Dikemas dalam satu paket liburan, paket wisata demo memang merupakan daya tarik sendiri bagi para jiwa muda yang haus akan sesuatu yang baru. Aku yang semenjak dahulu tidak tertarik dengan demonstrasi, akhir-akhir ini melihat demonstrasi sebagai suatu yang sedang in.Kurang banyak apa lagi artikel di internet yang membahas tentang berbagai aksi-aksi demo, dari yang paling kecil, sampai yang sangat masif dan teratur yang baru saja terjadi beberapa minggu yang lalu?

Saat jaman mahasiswa, aku bukan tergolong mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi. Sebenarnya banyak teman-temanku yang sedari dulu hobi melakukan unjuk rasa. Dari yang damai sampai yang agak anarki. Dari yang benar-benar ingin memperjuangkan hak, sampai yang hanya untuk menjadi alasan supaya bisa cabutdari mata kuliah tertentu. Tapi sekali lagi kutegaskan, dulu demonstrasi itu belum se-trendsekarang. Belum ada demonstrasi yang bisa memenuhi trending topicatau kolom exploredi media sosial.

Paket wisata demo yang ditawarkan beragam. Berbeda harga, berbeda pula keseruan yang ditawarkan. Semuanya terbagi atas topik-topik besar. Makin remeh topik atau isu demo, maka makin murah harganya, makin sedikit juga massa yang akan dikerahkan. Sebaliknya, makin seru dan hangat topik demo, seperti topik penistaan agama oleh salah satu pejabat tinggi di Indonesia, maka harganya semakin mahal, karena massa yang akan dikerahkan dan efek publikasinya pun akan lebih masif juga. Tapi, ternyata untuk topik-topik yang banyak diminati, kita bisa join dengan wisatawan lain yang punya minat yang sama. Semacam patunganlah. Lebih hebat jadinya.

Selain topik yang sudah disediakan oleh pihak tur, ada juga pilihan topik customize,alias dirancang sendiri. Untuk satu topik ini, aku rela untuk bertanya jawab sejenak dengan pihak tur.

“Yang ini nih benar-benar menarik, pak. Demo customize.Ini benar-benar kita yang rancang sendiri nih mau gimana demonya?”

“Betul sekali, mas dan mbak. Topik demonya, sasaran demonya, mau berapa banyak masanya, mau diliput oleh media elektronik dan media cetak mana saja, sampai-sampai mau pakai tokoh masyarakat mana yang mendukung dan menolak aksi demo ini, bisa mas dan mbak pilih sendiri. Ini sepenuhnya kami hadirkan sebagai wujud persembahan kami bagi kepuasan pelanggan.”

“Lah, jadi massanya itu bukan alami gitu? Panggilan? Kayak penonton bayaran dong?”

“Ya kalau untuk demo customizeseperti ini pasti panggilan. Soalnya kan isunya juga kan enggak natural munculnya. Nanti isu yang pengenmas angkat sebagai topik demo, bakal digodok dulu oleh tim kami supaya hangat. Dalam 1 sampai 2 hari, topik demonya bakal ditayangkan di mana-mana. Pokoknya pasti hotduluan deh sebelum mas mulai demonya.”

“Kalau isu yang saya mau angkat itu isu buat-buatan saya sendiri, alias nggakbenar, gimana tuh?”

“Bisa diatur mas.”

“Kalau isu yang saya pilih itu menjatuhkan satu pihak tertentu, gimana? Bahaya nggak?”

“Bisa diatur juga mas. Kalau soal bahaya atau tidaknya, ada asuransi kok.”

Rapi juga mainnya si orang tur ini, batinku. Sampai-sampai proteksi asuransi saja sudah disediakan.

“Kalau seandainya saya maunya cuma jadi peserta demo, bukan yang mimpin, jadi saya dan istri berbaur saja gitu, ikutan teriak-teriak saja tanpa diketahui kalau sebenarnya saya dalangnya, bisa juga kan?”

Si yang punya tur terkekeh.

“Banyak kok mas yang begitu. Mau lempar batu sembunyi tangan kan? Bisa diatur juga mas. Nanti akan saya sediakan orator ulungnya, yang buat mimpindemonstrasinya. Mas dan mbak tinggal merasakan pengalaman real-lifenya saja bagaimana enaknya demonstrasi, menyampaikan pendapat ugal-ugalan, tanpa harus bertanggung jawab atas apa yang disampaikan.”

Aku dan istri berpandangan. Tanpa butuh kontak dengan kata, kami tahu kami saling setuju dengan ide demonstrasi yang dipersonalisasi sesuai kebutuhan ini.

***

“Pa, lihat deh, itu tuh pa, kita masuk televisi!”

Sesuai dengan yang dijanjikan oleh pihak tur, malamnya aksi demo kami langsung dimuat di semua acara berita di masing-masing stasiun televisi nasional. Perlu diketahui, kustomisasi demo ini sifatnya sangat mendetail. Bukan cuma topik demo, jumlah massa, dan hal-hal besar yang sudah diterangkan oleh si penyedia tur tadi yang bisa ditentukan oleh kita pelanggannya, tapi sampai ke hal-hal kecil seperti berapa lama durasi penayangan demo kita mau disiarkan di televisi, berapa lama muka kita si pelanggannya mau disorot, sampai dengan teks berita yang dibacakan oleh news anchor dan teks yang ada di running text di pojok bawah televisi pun juga ditentukan oleh aku dan istri. Semua mekanisme yang berjalan berkaitan dengan demo rancangan kami, sudah diatur dari jauh hari sebelum demo itu berlangsung.

“Aku mau ambil satu paket demo lagi sebelum pulang ke kampung halaman, pa.”

“Mulai deh, ada yang ketagihan.”

“Tidak, cuma satu lagi aja kok. Gantian aja, kan tadi kamu yang nentuin kustomisasi demonya.”

“Mama mau demo soal apa?”

“Sudah capek yang berat-berat. Mau demo masak aja sama Sisca Soewitomo. Sudah lama beliau nggak muncul di tivi. Boleh kan?”

Memang perempuan pikirannya selalu sederhana. Satu kata iya dan kecupan mesra menutup malam itu dengan kelitan syahwat yang berpadu bersama teriakan kami di televisi.

Palembang, 31 Desember 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun