Di tengah lesunya sektor-sektor ekonomi di daratan (seperti tekstil, elektronik, properti, sawit, batu bara, dan mineral) akibat perlambatan ekonomi global yang berdampak pada semakin menurunnya pendapatan negara (pajak dan PNBP), nilai ekspor, dan membludaknya pengangguran dan kemiskinan; sektor-sektor ekonomi kelautan mestinya menjadi ’penyelamat’ dari beragam masalah bangsa tersebut. Dalam khasanah pembangunan ekonomi, yang dimaksud ’penyelamat’ di sini adalah sektor-sektor ekonomi yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi (di atas 7 persen per tahun), inklusif (banyak menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan rakyat), dan berkelanjutan (sustainable).
Salah satu dari 11 sektor ekonomi kelautan Indonesia yang sangat potensial untuk menjadi ’penyelamat’ adalah sektor perikanan budidaya (aquacultureatauakuakultur). Pasalnya, sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai 95.181 km (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), Indonesia memiliki sekitar 24 juta ha wilayah perairan laut dangkal (coastal waters) yang sesuai (suitable) untuk usaha budidaya laut (mariculture) dengan potensi produksi lestari sekitar 60 juta ton/tahun (terbesar di dunia) dan nilai ekonomi langsung (on-farm) sekitar 120 milyar dolar AS per tahun. Sekitar 3 juta ha lahan pesisir (coastal lands) cocok untuk usaha budidaya tambak dengan potensi produksi 30 juta ton/tahun dan nilai ekonomi on-farm 60 milyar dolar AS/tahun. Sekitar 30% (60 juta ha) dari total luas lahan daratan Indonesia (190 juta ha) berupa ekosistem perairan tawar, seperti sungai, danau, bendungan, dan perairan rawa. Dari 60 juta ha perairan tawar itu, sekitar 5 persen (3 juta ha) cocok untuk usaha akuakultur dengan potensi produksi 15 juta ton/tahun dan nilai ekonomi on-farm 22,5 milyar dolar AS/tahun. Belum lagi potensi usaha akuakultur di kolam air tawar, sawah (mina-padi), saluran irigasi (dengan keramba tancap), dan akuarium.
Dengan demikian, potensi total produksi akuakultur lebih dari 105 juta ton/tahun dan potensi total ekonomi on-farm usaha akuakultur di perairan laut, payau (tambak), dan tawar (darat) lebih dari 202,5 milyar dolar AS/tahun, hampir sama dengan APBN 2016. Kalau setiap ha usaha akuakultur memerlukan satu orang tenaga kerja saja, maka total lapangan kerja on-farm yang bisa disediakan sekitar 30 juta orang. Belum lagi nilai ekonomi dan tenaga kerja yang bisa diserap oleh beragam kegiatan industri hulu dan industri hilir (backward-and forward-linkage industries) dari bisnis akuakultur tersebut.
Sementara itu, pada 2014 total produksi budidaya laut baru 9,4 juta ton (16% total potensi produksi), budidaya tambak 2,4 juta ton (8%), dan budidaya perairan tawar 2,8 juta ton (19%). Artinya, dari sisi suplai, peluang bisnis akuakultur masih sangat terbuka lebar dan luar biasa besar.
Perlu juga dicatat, bahwa akuakultur bukan hanya menghasilkan protein hewani berupa ikan, moluska (kekerangan); dan krustasea (udang, lobster, kepiting, dan rajungan). Tetapi, juga rumput laut, teripang, invertebrata, dan ribuan jenis organisme perairan lainnya sebagai bahan baku (raw materials) untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, cat, film, bioenergi, dan ratusan jenis industri lainnya. Selain itu, marikultur juga bisa menghasilkan perhiasan yang sangat mahal seperti kerang mutiara. Dan, juga dapat berfungsi sebagai penyerap karbon, sehingga turut mencegah terjadinya pemanasan global (global warming).
Seiring dengan jumlah penduduk dunia yang terus bertambah dan meningkatnya kesadaran umat manusia tentang gizi ikan dan seafood yang lebih sehat dan mencerdaskan, maka permintaan (pasar) bagi sejumlah komoditas dan produk akuakultur juga diyakini bakal terus membesar. Selain itu, dari sisi penggunaan pakan, sistem produksi ikan budidaya enam kali lebih efisien ketimbang sistem produksi daging sapi (FAO, 2015). Karenanya, sangat logis bila dalam dua dekade terakhir, akuakultur merupakan sektor pangan dengan laju pertumbuhan tertingg dan tercepat di dunia.
Teknologi produksi perikanan budidaya itu relatif mudah dan kebanyakan masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan usaha akuakultur. Modal investasi dan modal kerja yang dibutuhkan juga relatif kecil. Jika dikerjakan secara profesional dan penuh ketekunan mengikuti Best Aquaculture Practices (Tata Cara Perikanan Budidaya Yang Terbaik) dan ramah lingkungan, usaha akuakultur dapat menghasilkan keuntungan yang besar (lucrative) dan mensejahterakan rakyat. Lebih dari itu, pembangunan dan bisnis akuakultur akan secara signifikan membantu bangsa ini bukan saja akan mampu berswasembada pangan, farmasi, kosmetik, dan bioenergi, tetapi juga menjadi pengekspor utama keempat jenis produk yang dibutuhkan umat manusia se jagat raya.
Karena usaha akuakultur hampir semuanya berlokasi di wilayah-wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, pedesaan, dan wilayah perbatasan, maka pembangunan dan bisnis akuakultur akan membangkitkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran baru di luar Jawa yang menyebar di seluruh wilayah NKRI. Dengan demikian, masalah khronis bangsa lainnya berupa disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat timpang, dimana P. Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas wilayah Indonesia menyumbangkan 60% terhadap perekonomian nasional (PDB) juga bakal lebih seimbang, produktif, dan berdaya saing.
Program Teknikal
Singkatnya, sektor akuakultur bagi Indonesia bak ”Raksasa Ekonomi Yang Tertidur (The Sleeping Economy Giant)”. Sangat disayangkan, hampir 2 tahun Pemerintahan Kabinet Kerja, kebijakan dan program KKP fokusnya (lebih dari 60%) pada perikanan tangkap, terutama penenggelaman kapal. Kesejahteraan nelayan justru terkorbankan, dan akuakultur dipandang sebelah mata. Padahal nilai ekonomi langsung (ikan hasil tangkapan dari laut) hanya sekitar 12 milyar dolar AS atau 5% dari potensi total nilai ekonomi langsung akuakultur.
Oleh sebab itu, supaya sektor akuakultur dapat secara konkrit dan dalam jangka pendek (sekarang – 2019) menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (> 10% per tahun), menciptakan lapangan kerja yang besar, menunjang kedaulatan pangan serta farmasi, dan mensejahterakan rakyat secara berkelanjutan; maka kita mulai sekarang harus fokus melaksanakan 3 program nasional berbasis komoditas akuakultur unggulan. Yakni komoditas (spesies) yang memiliki potensi produksi yang tinggi, harga jualnya mahal, teknologinya relatif mudah, dibutuhkan oleh konsumen (pasar) domestik maupun ekspor, dan menghasilkan keuntungan cukup besar. Atas dasar kriteria itu, maka komoditas unggulan untuk usaha budidaya di laut antara lain adalah kerapu bebek, kerapu macan, kerapu sunu, kakap, bawal bintang, baronang, gobia (tropical gindara), lobster, gonggong, kerang hijau, abalone, teripang, kerang mutiara, dan berbagai spesies rumput laut. Komoditas unggulan untuk usaha budidaya di perairan payau (tambak) diantaranya udang windu, udang vanamme, udang rostris, ikan bandeng, nila salin, kerapu lumpur, kepiting, rajungan, dan beberapa jenis rumput laut Gracillaria (agarosa). Komoditas unggulan untuk budidaya di perairan tawar, termasuk kolam dan minapdi antara lain mencakup ikan emas, nila, gurame, patin (dori), lele, baung, belida, bawal air tawar, udang galah, lobster air tawar (Cerax spp), berbagai macam ikan dan tanaman hias, dan labi-labi.
Program pertama adalah revitalisasi seluruh usaha akuakultur yang sudah ada (existing aquaculture businesses), baik di perairan laut, payau, darat maupun akuarium. Target dari program ini adalah untuk meningkatkan produktivitas, efisieni, dan keberlanjutan dari seluruh bisnis akuakultur yang ada. Sehingga, keuntungan usahanya dapat mensejahterakan pelaku usaha (termasuk karyawan) budidaya, yakni minimal 300 dolar AS (sekitar Rp 4 juta) /orang/bulan secara berkelanjutan. Angka ini dihitung berdasarkan pada garis kemiskinan Bank Dunia (2014). Yakni seseorang digolongkan sejahtera (tidak miskin), bila pengeluarannya lebih besar dari 2 dolar AS per hari. Mengingat bahwa ukuran rata-rata keluarga Indonesia di pedesaan adalah 5 orang (ayah, ibu, dan 3 anak) dan yang bekerja hanya ayah atau ibunya saja. Maka, pendapatan minimal sebuah keluarga sejahtera adalah 2 dolar AS/hari x 30 hari/bulan x 5 orang = 300 dolar AS/orang/bulan.
Untuk dapat mencapai target tersebut, seluruh unit usaha akuakultur harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale), yakni ukuran unit usaha yang dapat menghasilkan pendapatan bagi pelaku usaha minimal Rp 4 juta/orang/bulan. Setiap unit usaha harus menggunakan teknologi mutakhir yang ramah lingkungan dan menerapkan cara-cara budidaya terbaik (Best Aquaculture Practices = BAP). BAP meliputi: (1) pemilihan lokasi usaha yang tepat, (2) penggunaan bibit atau benih unggul (bebas penyakit, tahan terhadap serangan penyakit, dan cepat tumbuh), (3) pemberian pakan berkualitas, (4) pengelolaan kualitas air dan tanah, (5) tata letak, desain, dan konstruksi kolam (media budidaya lain) secara benar, (6) pengendalian hama dan penyakit, (7) biosecurity, dan (8) luas areal dan intensitas teknologi budidaya tidak melampaui daya dukung lingkungan wilayah setempat. Selain itu, kita harus menerapkan pendekatan sistem rantai suplai (hatchery dan pabrik pakan – pembesaran – industri pasca panen – pasar) secara terintegrasi. Pendekatan ini sangat penting untuk menjamin stabilitas harga jual produk akuakultur yang menguntungkan pembudidaya dan terjangkau oleh konsumen (sesuai niai keekonomian), dan keberlanjutan usaha seluruh mata rantai sistem bisnis akuakultur.
Program kedua berupa ekstensifikasi usaha akuakultur di wilayah perairan laut, payau, dan darat yang baru (belum ada usaha akuakultur) dan cocok. Untuk memeratakan pembangunan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, sebaiknya program ekstensifikasi ini diprioritaskan ke luar Jawa. Sangat baik, bila wilayah-wilayah perbatasan kita makmurkan dengan beragam usaha akuakultur beserta segenap industri hulu dan hilir nya. Sehingga, bersama pengembangan sektor-sektor ekonomi lainnya (seperti perikanan tangkap, pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, industri industri pengolahan berbasis SDA, manufakturing, pertambangan dan energi, dan pariwisata), akuakultur dapat mengembangkan sabuk kemakmuran (prosperity belt) yang melingkari wilayah NKRI, dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas ke Rote. Prosperity belt ini diyakini juga akan membantu terbangunnya security belt (sabuk hankam) yang dapat memperkokoh kedaulatan wilayah NKRI.
Prorgam ketiga adalah diversifikasi spesies atau komoditas budidaya. Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati perairan (aquatic biodiversity) tertinggi di dunia mestinya Indonesia sudah membudidayakan banyak biota perairan. Namun, hingga 2014 kita baru berhasil membudidayakan tidak lebih dari 25 spesies. Sementara, Tiongkok dengan potensi keanekaragaman hayati perairan jauh lebih rendah dari pada Indonesia telah mampu membudidayakan 125 spesies orgnisme perairan. Artinya, peluang untuk mengembangkan usaha akuakultur di Indonesia masih luar biasa besarnya. Baik dalam program ekstensifikasi maupun diversifikasi, sejumlah kiat bisnis (skala ekonomi, Best Aquaculture Practices, dan pendekatan rantai suplai terpadu) seperti pada program revitalisasi juga harus dilaksanakan secara konsisten.
Sebagai ilustrasi betapa raksasanya potensi ekonomi akuakultur adalah usaha budidaya udang vanamme. Bila dalam tiga tahun ke depan kita mampu mengusahakan 500.000 ha tambak udang ini (17% total potensi lahan pesisir Indonesia yang cocok untuk tambak), dengan rata-rata produktivitas selama ini sekitar 40 ton/ha/tahun. Maka, bisa diproduksi 20 juta ton atau 20 milyar kg udang per tahun. Saat ini harga udang vanamme di tambak (on-farm) rata-rata 4 dolar AS/kg. Sehingga, bisa dihasilkan nilai ekonomi 80 milyar dolars AS (Rp 1.000 trilyun)/tahun atau sekitar 40% APBN 2016. Rata-rata keuntungan bersih sekitar Rp 10 juta/ha/bulan. Potensi tenaga kerja on-farmsebanyak 3 orang/ha x 500.000 ha = 1,5 juta orang. Dan, potensi tenaga kerja off-farm (orang yang bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang) sekitar 2 orang/ha x 500.000 ha = 1 juta orang. Padahal, sebagaimana diuraikan diatas masih ratusan spesies lain yang sangat menguntungkan untuk dibudidayakan.
Program Pendukung
Supaya ketiga program nasional diatas berhasil secara berkelanjutan, maka harus didukung dengan sejumlah program berikut. Pertama adalah harus ada Tata Ruang Wilayah yang melindungi kawasan usaha akuakultur di laut, lahan pesisir, danau, bendungan, sungai, saluran irigasi, sawah, dan kolam air tawar dari alih fungsi ke penggunaan lahan yang lainnya, seperti kawasan industri, perkotaan, dan pemukiman. Usaha akuakultur juga tidak boleh berada dalam kawasan lindung dalam Tata Ruang Wilayah. Kedua, pengendlian pencemaran baik melalui saluran pembuangan limbah industri (effluent), dumping, sungai, aliran permukaan (run-off), dan media lainnya. Untuk itu, semua kegiatan industri, pertambangan, perkotaan, pemukiman, dan sektor pembangunan lainnya dilarang membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) langsung ke lingkungan alam, seperti sungai danau, sungai, dan laut. Limbah non-B3 juga harus dibatasi volumenya, sehingga tidak menimbulkan pencemaran ekosistem perairan alam maupun kawaasan akuakultur. Hal ini dapat diwujudkan antara lain dengan menerapkan zero waste technology (teknologi tanpa limbah), dan teknologi 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle) untuk industri, pertambangan, perkotaan, dan sekor pembangunan lainnya. Ketiga, menyiapkan dan mengimplementasikan program mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lainnya.
Keempat, pemerintah harus mendorong BUMN, perusahaan swasta, dan Koperasi untuk memproduksi segenap sarana produksi akuakultur (seperti bibit, benih, pakan, vaksin, obat-obatan, material karamba jaring apung, kincir air tambak, dan automatic feeder) yang berkualitas, harga relatif murah, dan dalam jumlah yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan usaha akuakultur di seluruh wilayah Nusantara. Selain itu, pemerintah bersama ketiga soko guru perkonomian nasional itu juga harus menjamin pasar semua produk akuakultur dengan harga sesuai nilai keekonomian. Kelima, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dan sistem logistik perikanan yang ada, dan membangun yang baru sesuai kebutuhan di seluruh wilayah NKRI. Keenam, harus ada skim kredit khusus untuk memacu pembangunan dan bisnis akuakultur dengan bunga relatif lebih murah dan persyaratan lebih lunak, seperti pernah dilakukan oleh Pemerintah orde Baru dalam pengembangan industri kelapa sawit terpadu yang sukses. Ketujuh adalah revitalisasi dan pengembangan kelembagaan serta aktivitas R & D (penelitian dan pengembangan) supaya kita mampu naik derajat, dari bangsa konsumen menjadi produsen teknologi dan inovasi guna menunjang produktivitas, efisiensi, dan daya saing sektor dan usaha akuakultur nasional secara berkelanjutan. Terakhir adalah peningkatan SDM akuakultur melalaui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan yang terpogram secara sistematis dan berkesinambungan.
Dengan mengimplementsikan kedua program pembangunan perikanan budidaya diatas, dalam jangka pendek insha Allah sektor ini akan mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi diatas 10 persen per tahun, dan menciptakan sedikitnya 5 juta tenaga kerja dengan pendapatan rata-rata minimal Rp 4 juta/orang/bulan. Dalam jangka panjang (2030), sektor akuakultur niscaya mampu berkontribusi secara signifikan untuk menjadikan Indonesia berdaulat di bidang pangan, farmasi, energi, dan kebutuhan dasar manusia lainnya. Selain itu, Indonesia mampu menjadi pengekspor sejumlah produk akuakultur ke manca negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H