Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri
Rokhmin Dahuri Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI)\r\nMenteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004\r\nGuru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Akuakultur: Raksasa Ekonomi Indonesia yang Tertidur

29 Juli 2016   08:00 Diperbarui: 29 Juli 2016   08:02 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program pertama adalah revitalisasi seluruh usaha akuakultur yang sudah ada (existing aquaculture businesses), baik di perairan laut, payau, darat maupun akuarium. Target dari program ini adalah untuk meningkatkan produktivitas, efisieni, dan keberlanjutan dari seluruh bisnis akuakultur yang ada.  Sehingga, keuntungan usahanya dapat mensejahterakan pelaku usaha (termasuk karyawan) budidaya, yakni minimal 300 dolar AS (sekitar Rp 4 juta) /orang/bulan secara berkelanjutan.  Angka ini dihitung berdasarkan pada garis kemiskinan Bank Dunia (2014).  Yakni seseorang digolongkan sejahtera (tidak miskin), bila pengeluarannya lebih besar dari 2 dolar AS per hari.  Mengingat bahwa ukuran rata-rata keluarga Indonesia di pedesaan adalah 5 orang (ayah, ibu, dan 3 anak) dan yang bekerja hanya ayah atau ibunya saja.  Maka, pendapatan minimal sebuah keluarga sejahtera adalah 2 dolar AS/hari x 30 hari/bulan x 5 orang = 300 dolar AS/orang/bulan.

Untuk dapat mencapai target tersebut, seluruh unit usaha akuakultur harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale), yakni ukuran unit usaha yang dapat menghasilkan pendapatan bagi pelaku usaha minimal Rp 4 juta/orang/bulan.  Setiap unit usaha harus menggunakan teknologi mutakhir yang ramah lingkungan dan menerapkan cara-cara budidaya terbaik (Best Aquaculture Practices = BAP).  BAP meliputi: (1) pemilihan lokasi usaha yang tepat, (2) penggunaan bibit atau benih unggul (bebas penyakit, tahan terhadap serangan penyakit, dan cepat tumbuh), (3) pemberian pakan berkualitas, (4) pengelolaan kualitas air dan tanah, (5) tata letak, desain, dan konstruksi kolam (media budidaya lain) secara benar, (6) pengendalian hama dan penyakit, (7) biosecurity, dan (8) luas areal dan intensitas teknologi budidaya tidak melampaui daya dukung lingkungan wilayah setempat.  Selain itu, kita harus menerapkan pendekatan sistem rantai suplai (hatchery dan pabrik pakan – pembesaran – industri pasca panen – pasar) secara terintegrasi.  Pendekatan ini sangat penting untuk menjamin stabilitas harga jual produk akuakultur yang menguntungkan pembudidaya dan terjangkau oleh konsumen (sesuai niai keekonomian), dan keberlanjutan usaha seluruh mata rantai sistem bisnis akuakultur.

Program kedua berupa ekstensifikasi usaha akuakultur di wilayah perairan laut, payau, dan darat yang baru (belum ada usaha akuakultur) dan cocok.  Untuk memeratakan pembangunan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, sebaiknya program ekstensifikasi ini diprioritaskan ke luar Jawa.  Sangat baik, bila wilayah-wilayah perbatasan kita makmurkan dengan beragam usaha akuakultur beserta segenap industri hulu dan hilir nya.  Sehingga, bersama pengembangan sektor-sektor ekonomi lainnya (seperti perikanan tangkap, pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, industri industri pengolahan berbasis SDA, manufakturing, pertambangan dan energi, dan pariwisata), akuakultur dapat mengembangkan sabuk kemakmuran (prosperity belt) yang melingkari wilayah NKRI, dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas ke Rote.  Prosperity belt ini diyakini juga akan membantu terbangunnya security belt (sabuk hankam) yang dapat memperkokoh kedaulatan wilayah NKRI.

Prorgam ketiga adalah diversifikasi spesies atau komoditas budidaya.  Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati perairan (aquatic biodiversity) tertinggi di dunia mestinya Indonesia sudah membudidayakan banyak biota perairan.  Namun, hingga 2014 kita baru berhasil membudidayakan tidak lebih dari 25 spesies.  Sementara, Tiongkok dengan potensi keanekaragaman hayati perairan jauh lebih rendah dari pada Indonesia telah mampu membudidayakan 125 spesies orgnisme perairan.  Artinya, peluang untuk mengembangkan usaha akuakultur di Indonesia masih luar biasa besarnya.  Baik dalam program ekstensifikasi maupun diversifikasi, sejumlah kiat bisnis (skala ekonomi, Best Aquaculture Practices, dan pendekatan rantai suplai terpadu) seperti pada program revitalisasi juga harus dilaksanakan secara konsisten.

Sebagai ilustrasi betapa raksasanya potensi ekonomi akuakultur adalah usaha budidaya udang vanamme.  Bila dalam tiga tahun ke depan kita mampu mengusahakan 500.000 ha tambak udang ini (17% total potensi lahan pesisir Indonesia yang cocok untuk tambak), dengan rata-rata produktivitas selama ini sekitar 40 ton/ha/tahun.  Maka, bisa diproduksi 20 juta ton atau 20 milyar kg udang per tahun.  Saat ini harga udang vanamme di tambak (on-farm) rata-rata 4 dolar AS/kg.  Sehingga, bisa dihasilkan nilai ekonomi 80 milyar dolars AS (Rp 1.000 trilyun)/tahun atau sekitar 40% APBN 2016.  Rata-rata keuntungan bersih sekitar Rp 10 juta/ha/bulan.  Potensi tenaga kerja on-farmsebanyak 3 orang/ha x 500.000 ha = 1,5 juta orang.  Dan, potensi tenaga kerja off-farm (orang yang bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang) sekitar 2 orang/ha x 500.000 ha = 1 juta orang. Padahal, sebagaimana diuraikan diatas masih ratusan spesies lain yang sangat menguntungkan untuk dibudidayakan.

Program Pendukung

Supaya ketiga program nasional diatas berhasil secara berkelanjutan, maka harus didukung dengan sejumlah program berikut.  Pertama adalah harus ada Tata Ruang Wilayah yang melindungi kawasan usaha akuakultur di laut, lahan pesisir, danau, bendungan, sungai, saluran irigasi, sawah, dan kolam air tawar dari alih fungsi ke penggunaan lahan yang lainnya, seperti kawasan industri, perkotaan, dan pemukiman.  Usaha akuakultur juga tidak boleh berada dalam kawasan lindung dalam Tata Ruang Wilayah.  Kedua, pengendlian pencemaran baik melalui saluran pembuangan limbah industri (effluent), dumping, sungai, aliran permukaan (run-off), dan media lainnya.  Untuk itu, semua kegiatan industri, pertambangan, perkotaan, pemukiman, dan sektor pembangunan lainnya dilarang membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) langsung ke lingkungan alam, seperti sungai danau, sungai, dan laut.  Limbah non-B3 juga harus dibatasi volumenya, sehingga tidak menimbulkan pencemaran ekosistem perairan alam maupun kawaasan akuakultur.  Hal ini dapat diwujudkan antara lain dengan menerapkan zero waste technology (teknologi tanpa limbah), dan teknologi 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle) untuk industri, pertambangan, perkotaan, dan sekor pembangunan lainnya.  Ketiga, menyiapkan dan mengimplementasikan program mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lainnya.

Keempat, pemerintah harus mendorong BUMN, perusahaan swasta, dan Koperasi untuk memproduksi segenap sarana produksi akuakultur (seperti bibit, benih, pakan, vaksin, obat-obatan, material karamba jaring apung, kincir air tambak, dan automatic feeder) yang berkualitas, harga relatif murah, dan dalam jumlah yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan usaha akuakultur di seluruh wilayah Nusantara.  Selain itu, pemerintah bersama ketiga soko guru perkonomian nasional itu juga harus menjamin pasar semua produk akuakultur dengan harga sesuai nilai keekonomian.  Kelima, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dan sistem logistik perikanan yang ada, dan membangun yang baru sesuai kebutuhan di seluruh wilayah NKRI.  Keenam, harus ada skim kredit khusus untuk memacu pembangunan dan bisnis akuakultur dengan bunga relatif lebih murah dan persyaratan lebih lunak, seperti pernah dilakukan oleh Pemerintah orde Baru dalam pengembangan industri kelapa sawit terpadu yang sukses. Ketujuh adalah revitalisasi dan pengembangan kelembagaan serta aktivitas R & D (penelitian dan pengembangan) supaya kita mampu naik derajat, dari bangsa konsumen menjadi produsen teknologi dan inovasi guna menunjang produktivitas, efisiensi, dan daya saing sektor dan usaha akuakultur nasional secara berkelanjutan.  Terakhir adalah peningkatan SDM akuakultur melalaui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan yang terpogram secara sistematis dan berkesinambungan.

Dengan mengimplementsikan kedua program pembangunan perikanan budidaya diatas, dalam jangka pendek insha Allah sektor ini akan mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi diatas 10 persen per tahun, dan menciptakan sedikitnya 5 juta tenaga kerja dengan pendapatan rata-rata minimal Rp 4 juta/orang/bulan.  Dalam jangka panjang (2030), sektor akuakultur niscaya mampu berkontribusi secara signifikan untuk menjadikan Indonesia berdaulat di bidang pangan, farmasi, energi, dan kebutuhan dasar manusia lainnya. Selain itu, Indonesia mampu menjadi pengekspor sejumlah produk akuakultur ke manca negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun