Dalam pengantar Rapat Terbatas tentang Pembangunan Kelautan dan Perikanan Rabu, 15/6/2016, Presiden Jokowi menegaskan, program pembangunan kelautan harus dipercepat agar Indonesia dapat memanfaatkan potensi kelautan yang sangat besar. Â Presiden juga mewanti-wanti bahwa kebijakan dan program pembangunan kelautan jangan hanya bagus di atas kertas (sekedar wacana), tetapi harus betul-betul membuahkan dampak positip bagi peningkatkan kesejahteraan nelayan dan kesejahteraan rakyat kita (Kompas, 16/6/2016).
Penegasan Presiden itu sangat tepat, karena sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tiga-perempat wilayahnya berupa laut, Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan yang sangat besar, sekitar 1,2 trilyun dolar AS per tahun (tujuh kali APBN 2016) dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang alias 33% total angkatan kerja (Dahuri, 2014). Â Sesungguhnya, sejak awal masa kampanye capres-wapres awal 2014, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla sangat meyakini tentang potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besarnya ini. Â Oleh sebab itu, kemaritiman dijadikan program pembangunan prioritas Kabinet Kerja yang dipimpinnya bersama dengan program pembangunan infrastruktur, kedaulatan pangan dan energi, industri manufakturing, pariwisata dan ekonomi kreatif, kesehatan dan pendidikan. Â Lebih dari itu, Presiden Jokowi dan Wapres JK juga bertekad untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Â Yakni, Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan dan hankam serta budaya maritim. Indonesia sebagai PMD juga mengandung arti, bahwa ketika sudah menjadi negara maritim yang kuat, maju, sejahtera, dan berdaulat (Insha Allah tahun 2030), Indonesia akan menjadi a role model (teladan) bagi bangsa-bangsa lain tentang bagaimana mendayagunakan ekosistem laut serta segenap SDA nya bagi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia secara adil, damai, dan berkelanjutan (sustainable).
Dalam jangka pendek – menengah (akhir 2014 – 2019), Indonesia sebagai PMD dimaksudkan agar semua sektor kelautan (Kelautan dan Perikanan, ESDM, Pariwisata Bahari, Perhubungan Laut, dan Industri dan Jasa Maritim) di bawah koordinasi Kemenko Maritim dituntut untuk mampu mengatasi sejumlah permasalahan internal sektornya masing-masing.  Lebih dari itu, juga dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pemecahan masalah bangsa, terutama pengangguran dan kemiskinan yang semakin membludak, kesenjangan kaya vs miskin yang kian melebar, disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat timpang, dan rendahnya daya saing serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM).Â
Akibat perlambatan ekonomi, tahun ini negara menghadapi masalah sangat serius berupa defisit anggaran yang semakin besar lantaran penerimaan negara lebih kecil ketimbang targetnya. Â Sehingga, pemerintah terpaksa memangkas anggaran belanja (pembangunan) hampir semua kementerian, lembaga non-kementerian, dan transfer uang ke daerah. Â Untuk menambah penerimaan negara, pemerintah dan DPR pun berencana untuk mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Â Masalah mendesak lainnya adalah rendahnya pertumbuhan ekonomi kuartal-1 tahun ini yang hanya 4,9 persen, jauh dari targetnya sebesar 5,4 persen. Â Yang lebih memprihatinkan, pertumubuhan ekonomi selama kuartal-1 itu pun lebih didominasi oleh sektor keuangan dan sektor riil non-tradable yang sedikit menyerap tenaga kerja, sekitar 40.000 sampai 200.000 orang setiap satu persen pertumbuhan ekonomi. Â Sektor-sektor riil tradable yang selama ini jadi andalan nasional (seperti industri tekstil, otomotif, elektronik, pertambangan dan energi, perkebunan, dan sektor daratan lainnya) dan banyak menyerap tenaga kerja (sekitar 450.000 orang per satu persen pertumbuhan ekonomi) justru mengalami penurunan. Â Tak pelak, jumlah pengangguran dan kemiskinan pun semakin bertambah.
Dengan potensi ekonomi yang luar besarnya, ekonomi kelautan mestinya bisa menjadi penyelamat perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional akibat pelemahan sektor-sektor ekonomi daratan tersebut. Â Dari perspektif ekonomi dan kesejahteraan, sektor perhubungan laut, pariwisata bahari, ESDM, dan industri dan jasa maritim pada umumnya sudah pada jalur yang tepat (on the track). Â Revitalisasi sejumlah pelabuhan laut dan kapal-kapal muatan barang maupun penumpang berjalan sesuai target. Dwelling-time Pelabuhan Tanjung Priok dan beberapa pelabuhan laut utama sudah lebih pendek (cepat).Â
 Kapal penumpang dan kapal barang untuk melayani trayek baru maupun menambah frekuensi pelayanan trayek lama (existing) sudah berjalan cukup baik.  Secara keseluruhan program pembangunan Tol Laut dan konektivitas maritim menunjukkan kinerja yang menggembirakan.  Selain memperbaiki aksesibilitas, prasarana dan sarana, sistem perizinan dan pelayanan (seperti visa on arrival), dan promosi serta pemasaran sejumlah obyek (destinasi) wisata yang sudah ada; Kementerian Pariwisata juga secara elegan mengembangkan berbagai obyek (destinasi) pariwsata bahari yang baru. Â
Tak mau ketinggalan, Kementerian ESDM sejak pertengahan 2015 bekerjasama dengan PKSPL (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan)-IPB dan semua kementerian terkait telah menyiapkan infrastruktur dan suplai energi bagi Kluster Industri dan Ekonomi Maritim di sejumlah kawasan pesisir, seperti Aceh Jaya, P. Enggano, Mandalika, Larantuka, dan P. Morotai. Â Kementerian ESDM sangat aktif mengembangkan energi baru dan terbarukan dari laut, seperti pasang-surut, gelombang, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan biofuelberbasis algae laut.
KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) bersama TNI-AL, POLRI, Kejaksaan, dan BAKAMLA sudah di jalur yang tepat di dalam memberantas  IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing oleh nelayan asing, dan penegakkan kedaulatan.  Sayang, kebijakan ekonominya yang merupakan tugas dan fungsi utama KKP justru menghambat atau mematikan iklim investasi dan bisnis kelautan-perikanan.  Dengan dalih untuk pelestarian sumber daya ikan, semua alat tangkap aktif (pukat tarik dan pukat hela), yang selama ini digunakan oleh sekitar 70% nelayan Indonesia, dilarang untuk beroperasi.  Â
Kapal pengangkut ikan mandiri maupun yang tergabung dalam satu perusahaan perikanan tangkap (a group fishing) serta kapal pengangkut ikan kerapu hidup untuk tujuan ekspor juga di moratorium.  Kebijakan pembatasan ukuran kapal ikan tidak boleh melebihi 150 GT membuat sumber daya ikan di laut dalam, laut lepas, dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara optimal atau mubazir.  Demikian juga halnya, dengan kebijakan kenaikan PHP (Pungutan Hasil Perikanan) sebesar 100 – 1.000 persen dari nilai 2014 memukul sebagian besar pengusaha perikanan dan nelayan.  Kebijakan moratorium perdagangan lobster, kepiting, dan rajungan ukuran tertentu atau sedang bertelur secara gebyah uyah pun telah mematikan ekonomi masyarakat pesisir yang melipbatkan ratusan ribu tenaga kerja dengan nilai ekonomi lebih dari Rp 10 trilyun setiap tahunnya.Â
Akibat kebijakan yang terlalu restriktif dan mendadak (sudden death), tanpa sosialisasi dan alternatif solusi seperti itu, maka banyak pabrik pengolahan hasil perikanan di hampir semua kawasan industri perikanan, mulai dari Tual, Ambon, Bitung, Benoa, Muara Baru Jakarta sampai ke Belawan megap-megap atau gulung tikar, karena kekurangan bahan baku ikan. Â Ratusan ribu nelayan, pembudidaya, pengolah dan pedagang ikan menganggur. Â Nilai ekspor perikanan turun drastis, dari 4,7 milyar dolar AS pada 2014 menjadi sekitar 2 milyar dolar AS pada 2015. Â Demikian juga halnya PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) perikanan, pada 2004 mencapai Rp 350 milyar, pada 2014 sebesar Rp 250 milyar, dan tahun lalu terkumpul hanya sekitar Rp 70 milyar. Â Sementara itu, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, dan sumber daya kelautan non-konvensional yang potensi produksi dan ekonomi nya puluhan sampai ratusan kali lipat dari perikanan tangkap, kurang mendapat perhatian.
Yang juga memprihatinkan, sudah hampir 2 tahun Kabinet Kerja, rupanya Kemenko Maritim belum mempunyai Peta Jalan Pembangunan Kemaritiman Indonesia.  Tak heran, bila sampai sekarang Kemenko Maritim tampak ’gagap’ di dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya.  Yang meliputi: (1) koordinasi dan sinkronisasi; (2) akselerasi pembangunan; (3) kebijakan terobosan (breakthrough policies); (4) menyamakan ’playing field’ (iklim investasi, kemudahan berbisnis, suku bunga bank, infrastruktur, dan variable lainnya) dengan negara-negara maritim tetangga atau kompetitor; dan (5) memberi arahan (direction) jangka panjang dan berkelanjutan bagi bangsa Indonesia menuju PMD.Â
Program Jangka Pendek
Oleh sebab itu, dalam jangka pendek – menengah (mulai sekarang sampai 2020), pemerintah harus merevitalisasi dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi kelautan yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (diatas 7 persen per tahun), menyerap banyak tenaga kerja, mensejahterakan rakyat, pasarnya tersedia, dan memerlukan modal dan teknologi yang relatif kecil dan mudah.  Sektor-sektor ekonomi kelautan yang dimaksud adalah: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri farmasi dan kosmetik dari laut, (5) pariwsisata bahari, (6) industri galangan kapal, dan (7) industri mesin dan peralatan perikanan.
Di sektor perikanan tangkap, kita mesti mengembangkan armada kapal ikan modern dengan ukuran kapal diatas 50 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan sebanyak 5.000 unit kapal sampai 2019. Â Ini untuk memanfaatkan sumber daya ikan di wilayah perairan di atas 12 mil, laut dalam, laut lepas, dan ZEEI yang selama ini menjadi ajang pencurian (illegal fishing) oleh nelayan asing atau masih underfishing, seperti Laut Natuna, ZEEI Laut Tiongkok Selatan, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, Laut banda, Laut Arafura, dan ZEEI Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Â Setiap 100 kapal ikan dikawal oleh kapal TNI-AL atau Coastguard. Â
Dengan cara seperti ini diyakini IUU fishing oleh nelayan asing akan dapat diatasi secara tuntas. Â Dan, pada saat yang sama kita mendapatkan jutaan ton ikan untuk menghidupkan kembali industri pengolahan hasil perikanan yang mati suri selama dua tahun terakhir ini. Â Kita bangun Pelabuhan Perikanan Samudera yang dilengkapi dengan kawasan industri perikanan dan maritim terpadu sebagai tempat pendaratan ikan armada kapal ikan modern tersebut, industri pengolahan, dan jaringan pemasaran.Â
Nelayan tradisional yang selama ini beroperasi di wilayah-wiayah laut dangkal, di bawah 12 mil mesti ditingkatkan kapasitas dan produktivitas penangkapan ikannya dengan menyediakan tekonologi penangkapan ikan (kapal ikan dan alat tangkap) yang lebih efisien, produktif, dan ramah lingkungan sesuai dengan potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustianble Yield) sumber daya ikan di setiap wilayah perairan.
Di sektor perikanan budidaya, kita tingkatkan produksi berbagai jenis ikan melalui  intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi usaha perikanan budidaya ramah lingkungan di perairan laut, payau, dan tawar.  Jenis-jenis ikan budidaya laut yang relatif mudah dibudidayakan, sangat dibutuhkan untuk pasar domestik maupun ekspor, dan keuntungan (profit) nya lumayan besar antara lain adalah berbagai jenis kerapu, kakap, bawal bintang, bandeng, gobia, abalone, kerang hijau, gonggong, teripang, dan lobster. Untuk di perairan payau antara lain meliputi udang windu, udang vanamme, kerapu lumpur, bandeng, nila salin, dan berbagai jenis kepiting termasuk kepiting soka.  Di perairan tawar, kita bisa budidayakan ikan nila, patin (dori), lele, emas, gurame, belida, baung, bawal air tawar, udang galah, dan lobster air tawar (Cerax spp).Â
Sekedar ilustrasi betapa dahsyatnya potensi ekonomi perikanan budidaya adalah usaha budidaya udang vanname. Â Indonesia memiliki 3 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang vanamme. Â Jika kita usahakan 500.000 ha (17% total potensi) dengan rata-rata produktivitas selama ini sekitar 40 ton/ha/tahun. Â Maka, bisa diproduksi 20 juta ton atau 20 milyar kg udang per tahun. Â Saat ini harga udang vanamme di tambak (on-farm) rata-rata 4 dolar AS/kg. Â Sehingga, bisa dihasilkan nilai ekonomi 80 milyar dolars AS (Rp 1.000 trilyun)/tahun atau sekitar 40% APBN 2016. Â Rata-rata keuntungan bersih sekitar Rp 10 juta/ha/bulan. Â Potensi tenaga kerja on-farmsebanyak 3 orang/ha x 500.000 ha = 1,5 juta orang. Â Dan, potensi tenaga kerja off-farm (orang yang bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang) sekitar 2 orang/ha x 500.000 ha = 1 juta orang.
Karena jarak antara lokasi penangkapan ikan (fishing grounds) atau budidaya ikan dengan pelabuhan perikanan dan kawasan industri pengolahan ikan, maka pemerintah melalui BUMN maupun perusahaan swasta harus mulai sekarang juga menyediakan jasa kapal pengangkut ikan berpendingan. Â Selain itu, pemerintah harus menjamin ketersediaan sarana produksi perikanan (seperti alat tangkap, bahan bakar, perbekalan melaut, benih ikan, benur, dan pakan) dengan jumlah mencukupi dan harga relatif murah bagi semua nelayan dan pembudidaya ikan di seluruh wilayah NKRI. Â Pasar untuk ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya harus dijamin dengan harga yang menguntungkan nelayan serta pembudidaya, dan sekaligus terjangkau oleh rakyat. Permodalan (kredit perbankan) dengan suku bunga relatif murah dan persyaratan relatif lunak (seperti di emerging economies lainnya) harus bisa diakses oleh seluruh nelayan dan pembudidaya ikan. Â Jangan lupa, kita juga harus terus-menerus meningkatkan kapasitas dan etos kerja nelayan dan pembudidaya ikan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (DIKLATLUH) secara sistematis dan berkesinambungan.
Program Jangka Panjang
Dalam upaya mewujudkan Indonesia sebagai PMD, seluruh sektor ekonomi kelautan (seperti Kelautan dan Perikanan, ESDM, Pariwisata Bahari, Perhubungan Laut, dan Industri dan Jasa Maritim) dituntut untuk mampu mendayagunakan ruang, SDA, dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru, kesejahteraan, penciptaan lapangan kerja, dan daya saing bangsa secara ramah lingkungan, inklusif, dan berkelanjutan. Â Kawasan-kawasan industri atau KEK baru harus diprioritaskan dikembangkan di luar Jawa, khususnya di kawasan-kawasan pesisir di sepanjang ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan pulau-pulau terluar. Â Hal ini sangat strategis supaya Indonesia mampu menikmati keuntungan sebagai pemasok barang dalam sistem rantai global, bukan sebagai pembeli (konsumen) seperti yang terjadi selama ini. Â Pasalnya, sekitar 45% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai sekitar 1.500 trilyun dolar AS per tahun dikapalkan melalui ALKI.
Secara simultan, diplomasi serta kekuatan hankam maritim juga harus diperkuat dan dikembangkan guna memperkokoh kedaulatan wilayah NKRI. Â Selain itu, diplomasi dan kekuatan hankam maritim Indonesia juga harus secara signifikan mampu berkontribusi dalam mewujudkan stabilitas, keamanan, dan perdamaian di wiayah laut dunia, khususnya diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Untuk itu, pembangunan infrasturktur, Tol Laut dan konektivitas kemaritiman yang ada harus direvitalisasi, dan bangun yang baru sesuai kebutuhan.  SDM kelautan yang profesional, berkualitas dan punya dedikasi tinggi mesti kita tingkatkan jumlahnya.  Kita juga mesti memperkuat dan lebih megembangkan R & D (Research & Development) agar kita mampu membangun kelautan secara mandiri, menjadi produsen bukan konsumen teknologi.  Akhirnya, ’playing field’ pembangunan dan bisnis kelautan harus sama atau lebih baik ketimbang yang ada di negara-negara tetangga atau kompetitor.
Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti ini, niscaya kita akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi (> 7% per tahun), inklusif, banyak menyerap tenaga kerja, dan mensejahterakan rakyat secara berkelanjutan. Â Lebih dari itu, Indonesia bisa menjadi Poros Maritim Dunia dalam waktu tidak terlalu lama, 2030 insha Allah.
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H