Mohon tunggu...
Masrokhin
Masrokhin Mohon Tunggu... Dosen - Traveler yang meminati mazhab Geertzian

Memenuhi perintah belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksis sebagai Ilmuwan di Era Industri

3 April 2024   09:53 Diperbarui: 3 April 2024   09:56 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Eksis sebagai Ilmuwan di Era Industri

Prof. Koento menulis tentang hubungan cendekiawan dan masyarakat berdasarkan tipe komunikasinya. Mengklasifikasi berdasarkan tipe komunikasi, bagaimana model hubungan dan sifat antar mereka dan diakhiri dengan model hubungan soliditas antar mereka

Secara bersamaan, klasifikasi itu bisa dibaca dengan melihat sisi evolutif dari tipe komunikasi yang melahirkan hubungan antar mereka

Pola komunikasi beranjak dari komunikasi lisan ke model komunikasi tulisan analog menjadi elektronis, dan kini jejaring internet

Pada era masyarakat dengan tipe komunikasi lisan, ada ulama atau cendekiawan tinggal di suatu tempat. Masyarakat mendatanginya. Reputasi keilmuan dan segala yang dimiliki ulama dibaca dan dikabar-kabarkan oleh masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang mendatangi. Dari wilayah yang berdekatan, masyarakat datang dan pulang. Masyarakat yang datang dari jauh, menetap sementara saat berhubungan dengan kebutuhan bersama ulama yang ada. Jadilah ada asrama dan kelak disebut pesantren. Terjadi hubungan dekat dan personal antara masyarakat yang belajar kemudian disebut santri dan ulama' yang mengajar yang kemudian disebut kiai.

Bisa berasal dari beberapa pendapat tentang kata santri, keseluruhannya bermuara pada pembelajar. Ada yang mengangap adopsi dari kata shastri (orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu), ada sastri (melek huruf), ada cantrik (orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya), ada juga yang pake othak-athik gathuk bahwa santri adalah insan yang tri (tiga), dia menjada pada iman, islam dan ihsan.

Sementara kiai, dalam othak-athik gathuk berasal dari iki wae (ini sadja) dari banyaknya pilihan yang ada dan dipilih satu diantaranya karena da kecocokan. Karenanya tokoh dengan sebutan kiai hanya ada di (atau berasal dari) yang berbahasa Jawa. Di tempat lain, ketokohan yang sama dengan tipikal kiai di Jawa disebut dengan ajengan, tuan guru, anregurutta, dan lainnya. Bisa juga di- othak-athik gathuk-kan berasal dari bahas Arab alaka ya'liku alakan wa ulukan (hamzah lam kaf) yang bermakna al-rasul atau pembawa pesan atau penyampai risalah

Hubungan yang timbul antara santri dan kiai melahirkan tawadlu' (merendah sopan di hadapannya) dan sowan (mendatangi kediaman kiai untuk, sebagaimana, menghadap, yang berbeda rasa dengan bertamu. Peran sosial dari yang disebut kiai itu lengkap. Dari diminta nasehat untuk urusan serius, misalnya, akan menadakan agenda perkawinan sampai urusan sakit gigi. Jadilah kiai sebagai tokoh kharismatik. Santri akan menyatakan "aku santri". Nanti, akan bisa kumpul di acara haul (peringatan meninggalnya sang tokoh), tanpa undangan. Kiai boleh meninggal, tetapi para pengikutnya tidak akan meninggalkannya

Era ulama menulis. Pada tradisi ulama menulis, jadilah buku. Hubungan yang ada antara yang membutuhkan pengetahuan dan yang memiliki pengetahuan terjadi hubungan guru & murid. Hubungan jadi impersonal. Berbeda rasa dengan hubungan santri kiai yang lebih bersifat personal. Bisa jadi masih ada tawadlu', tetapi sowan tidak lagi sama. Pada murid akan tertanam "aku pernah sekolah di sana", pertemuan setelah lulus nanti akan ada undangan dari panitia untuk yang disebut reuni

Di era industri, hubungan menjadi abstrak. Orang tahu ulama itu ada, tetapi ada dimana-mana. Di koran, TV, radio. Kini internet. Dari Youtube, orang bisa mengikuti pengajian seorang ulama, tanpa pernah ketemu apalagi berbicara secara langsung. Ulama menjadi mitra, tidak lagi seperti guru apalagi seperti kiai yang harus dihormati. Hanya dikagumi. Ulama bukan kategori sosial, tapi kategori intelektual. Orang boleh jadi mengenal seorang tokoh ulama di media elektronik, tetapi tanpa pernah merasa ada hubungan personal dengannya. Hanya ada hubungan elite dan massa. Misalnya, si tokoh yang dikenalnya lewat hubungan elektris itu meninggal dunia, rasa yang muncul biasa saja. Sama halnya dengan orang yang ngefans ke grup dangdut soneta, misalnya

Kiai 'Abdullah Umar Semarang tentang santri mengatakan:

Afdholu ummatin nabiyy fil hasyri * man kana yaqro-uhu thulal 'umri

Adim qiro-atan tanal lis-su'ada * ma'isyatan huna wa mawtu syuhada

"Di Mahsyar, tampak sebagai umat terbaik Nabi ketika berbaur, adalah mereka yang aktif baca Qur'an hingga habis umur. Maka, langgengkan nderesmu, kamu akan mendapatkan penghidupan kini, dan mati layaknya syuhada' nanti"

Bagaimana bisa tetap eksis dan tetap menjadi "kiai" di era industri. Ayo memfilsafati tajwid

Idzhar itu artinya jelas, berani menampakkan diri juga. Kumpulan hurufnya ada di Hidayatus Syibyan & di Nihayah Qowlil Mufid

Fadh-hir lada hamzin wa ha-in ha-i * wal 'ayni tsummal ghoyni tsummal kho-i

Akhi, haka 'ilman hazahu ghaoru khosirin

"Mas, (kuasailah) ilmu. Yang punya kemampuan (apapun), tidak akan rugi".

Meningkatkan kompetensi tidak bisa dielakkan. Kata kiai Sholahudin Wahid, tidak ada yang mustahil, semua harus dicoba dulu. Kelak sukses atau tidak, bukan urusan kita, yang penting kita sudah berusaha dan selalu meningkatkan kompetensi. Penyakit orang yang sudah menjadi tokoh di masyarakatnya, apalagi yang menokohkan diri, adalah malas untuk belajar lagi dan lagi

Masyarakat Imam Ahmad ibn Hanbal terheran-heran atas aktifitas beliau hingga bertanya-tanya:

"Ya Aba Abdillah, anta qod balaghta hadzal mablagh, wa anta imamul muslimin". Faqola : "ma'al mihbaroti ilal maqbaroh"

"Kiai, panjenengan itu sudah di level sehebat ini, dan, jelas, panjenengan adalah imam umat Islam (kok masih sempat-sempatnya terus belajar) ?" Dijawab: "Bagiku, tempat pena ini akan bersamaku hingga meninggal kelak"

Seseorang yang lain, Abdullah ibn Muhammad al-Baghowi, berkomentar : sami'tu Aba Abdillah, Ahmad ibn Hanbal, berkata: ana athlubul 'ilma ila an adkhulal qubro

Terjemah jalanannya begini : sinau sak modare, nderes sak matine

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun