Cuma memang negeri tetangga melihat itu sebagai peluang. Maka dipromosikanlah kesenian-kesenian itu. Dijadikan seolah milik mereka. Karena mereka memang menemukannya di situ—meski belakangan ngaku kalau njiplak.
Di Indonesia? Ya kalau sudah mau dicaplok baru teriak-teriak. Coba saja negeri tetangga tidak melakukan promosi. Apakah kita juga mau mengembangkan kesenian tradisional itu? Alih-alih mengembangkan, menonton saja kita enggan bukan?
Lalu ada protes di jalanan soal CAFTA. Padahal sejak pertengahan 90-an rencana itu disepakati negara-negara regional. Dan disepakati kalau akan dijalankan secara bertahap. Perlunya, agar negara-negara mempersiapkan diri. Menguatkan perekonomian domestiknya dulu.
Pas tiba waktunya dilaksanakan, Indonesia memang sudah kuat. Yang kuat bukan perekonomiannya. Tetapi kuat teriakannya di jalanan. Kuat protesnya. Walah walah.... selama masa persiapan ke mana saja? Kok tidak dari dulu-dulu menguatkan diri?
Jadi, sebangsa apakah bangsa Indonesia? (Tenabang, 19/03/10)san
Salam,
Rojes Sigit
Bangsa Indonesia
dan Pengagum http://kukira.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H