Mohon tunggu...
roiyatulain
roiyatulain Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa ilmu komunikasi :)

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Bahasa Sebagai Cermin Gender Pada Series Anne With An E Season 2 (2018)

16 Desember 2024   10:53 Diperbarui: 16 Desember 2024   10:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Anne dan Diana yang kesal karena tidak jadi pergi ke pesta  (Sumber: Netfilx. Anne With An E, 2018)

Dale Spender dalam bukunya "Man Made Language" juga mengatakan bahwa bahasa telah dimanfaatkan oleh kelompok yang dominan (biasanya laki-laki) untuk menekan kaum perempuan. Ini menggambarkan bahwa bahasa laki-laki dan perempuan tidak lepas dari kontruksi sosial, dimana masyarakat membudayakan hubungan sosial laki-laki dan perempuan tercermin dalam bahasa yang mereka pergunakan sehari-hari. Dalam teori dominasi, pada adegan ini terlihat jelas Mr. Philips yang mempertahankan dominasi fisik dan emosinya dengan menggunakan kontrol verbal dan non verbal seperti penggunaan bahasa manipulatif dan tindakan fisik mengencangkan cengkeramannya pada tangan Prissy, untuk memberikan tekanan atau paksaan. Prissy merasa terjebak dalam norma yang tertanam kuat akan tanggung jawab seorang istri, seperti yang terlihat dari responnya yang terbata-bata dan tertekan. Namun, pada adegan selanjutnya yang memperlihatkan pemberontakan Prissy sangatlah berkaitan dengan teori performatif juga, yang mana dia memilih untuk meninggalkan altar pada hari pernikahannya merupakan perlawanannya terhadap norma gender dan kontrol patriarki.

Gambar 3. Prissy meninggalkan altar di hari pernikahannya (Sumber: Netflix. Anne With An E, 2018)
Gambar 3. Prissy meninggalkan altar di hari pernikahannya (Sumber: Netflix. Anne With An E, 2018)

Masih di episode 8, terdapat juga adegan Anne yang sedang menyiapkan makanan dengan Matthew, dia berdialog "ingat saat aku ingin menjadi pengantin, tapi bukan istri?" Matthew menjawabnya "kau sudah katakana itu sejak hari pertama kita bertemu". Anne membalas lagi "aku rasa aku harus membayangkan ulang pernikahan. Ini bukan hanya momen singkat berpakaian putih atau berkata "aku bersedia". Aku tak akan menyerahkan diri pada seseorang dan menjadi properti indah yang tanpa pendapat dan ambisi. Kami akan setara dalan bermitra, bukan hanya suami dan istri. Dan tak seorangpun meninggalkan hasratnya. Aku punya nama baru untuk kedua belah pihak, karena aku percaya sebutannya harus sama. Teman hidup". 

Gambar 4. Anne mengungkapkan keinginannya tentang pernikahan yang setara(Sumber: Netflix. Anne With An E, 2018)
Gambar 4. Anne mengungkapkan keinginannya tentang pernikahan yang setara(Sumber: Netflix. Anne With An E, 2018)

Adegan dengan dialog panjang ini, Anne menunjukan ketidaksetujuannya terhadap konsep tradisional pernikahan yang seringkali bersifat patriarki, yang juga menyoroti subordinasi perempuan. Stereotip bahwa perempuan dalam pernikahan harus tunduk dan hanya menjadi "properti suami" dengan kata lain milik suami, secara tegas ditolak oleh Anne dalam dialognya "Aku tak akan menyerahkan diri pada seseorang dan menjadi properti indah yang tanpa pendapat dan ambisi" Anne juga mengungkapkan bagaimana momen simbolis pernikahan digunakan untuk mempertahankan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Sebaliknya, Anne menganjurkan hubungan yang setara dengan menggunakan kata "teman hidup" yang menunjukkan kesetaraan, kemitraan, dan rasa hormat satu sama lain seperti dialognya "Kami akan setara dan bermitra, bukan hanya suami dan istri". 

Dialog "Ini bukan hanya momen singkat berpakaian putih atau berkata 'aku bersedia'" adalah salah satu contoh kritik Anne terhadap status perempuan yang sering kali menjadi simbol tanpa kekuatan. Ini menyoroti pentingnya menjaga ambisi dan kebebasan individu dalam hubungan, sebagaimana yang ditegaskan Anne "Dan tak seorang pun meninggalkan hasratnya" yang menggambarkan bagaimana bahasa dapat digunakan untuk melawan stereotip gender dan patriarki serta menjunjung tinggi kebebasan perempuan dalam hubungan pernikahan.

Serial ini menekankan bagaimana narasi patriarki dipertentangkan dan nilai kesetaraan melalui penggunaan bahasa verbal dan non verbal. Narasi yang diciptakan pun lebih positif, relevan dan kritis menyoroti penggambaran keberanian fisik perempuan tanpa terlihat lemah seperti Anne, yang mampu mengubah cara pandang masyarakat terhadap peran perempuan dan memberikan suara kepada mereka yang kurang beruntung. Dialog Anne yang penuh semangat dan progresif juga penggunaan bahasa yang puitis dan imajinatif untuk mengekspresikan keinginannya akan kebebasan menunjukkan bahwa perempuan memiliki suara yang berharga. Sosok Anne Shirley ini dapat menjadi inspirasi representasi perlawanan terhadap patriarki juga pesan kesetaraan gender yang sesuai di era kontemporer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun