Komunikasi global telah dipermudah oleh kemajuan teknologi dan berbagai media yang mendukung setiap prosesnya. Film atau acara televisi (serial) merupakan salah satu media yang sangat unik dalam cara mengkomunikasikan ide dan pesannya. Salah satu topik yang banyak diangkat pada film dan serial adalah gender, yang juga telah menjadi topik penting dalam studi komunikasi. Sebagai contoh, Serial Anne with an E yang merupakan adaptasi dari novel klasik Anne of Green Gables, yang ditayangkan di layanan streming Netflix pada 2017-2019 ini menyajikan pandangan baru tentang gender melalui perspektif karakter utama yakni Anne Shirley, dan beberapa karakter pendukung lainnya. Serial ini melalui komunikasi bahasa dan visualisasi mampu menyajikan representasi gender yang kompleks, menyoroti bias gender yang tercermin dalam bahasa, konteks, gambar, dialog dan adegan yang digambarkan.
Bahasa Sebagai Alat Representasi
Perubahan dan perkembangan sosial masyarakat tercermin dalam bahasa yang digunakan di media. Pada serial Anne with an E season 2 tahun 2018, bahasa digunakan sebagai alat untuk mencerminkan bahkan membentuk identitas gender setiap karakter. Pilihan kata dan bahasa misalnya, yang sering kali digunakan untuk memperkuat stereotip gender. Dialog yang mendukung kesetaraan gender, karakter progresif yang mengkritik norma tradisional, hingga penggunaan bahasa inklusif juga menunjukkan perubahan persepsi terhadap isu gender. Selain itu, melalui dialog atau monolog yang mendalam, bahasa juga berfungsi sebagai alat komunikasi sekaligus cara untuk menciptakan, mendiskusikan, dan memperdebatkan isu-isu gender dalam masyarakat.
Tokoh utama Anne Shirley, melalui dialog verbalnya secara konsisten menantang stereotip gender yang kaku pada zamannya seperti mempertanyakan gagasan bahwa perempuan hanya cocok untuk tugas-tugas domestik, dia juga menunjukkan perlawanan terhadap norma-norma gender tradisional melalui tindakan non verbal dalam keberaniannya menghadapi orang dewasa yang meremehkannya. Berfokus pada serial Anne with an E season 2 tahun 2018 pada episode 7 dan 8 dan didukung dengan beberapa teori yang cukup membantu penggambaran bahasa dalam cermin gender, kita bisa melihat banyak hal melalui dialog yang disampaikan Anne dan karakter lainnya.
Perfomativitas Dan Dominasi Bahasa
Pada episode 7 terdapat adegan Anne dan Diana ingin menghadiri pesta bibi Josephine namun terhalang berangkat dikarenakan ayah Diana sakit dan tidak bisa mengantarnya, Anne berkata pada Diana "tak masuk akal wanita dilarang berpergian tanpa teman pria". Setelah berfikir, Anne dan Diana akhirnya mendapatkan ide untuk pergi ke pesta dengan meminta Cole untuk pergi bersamanya, akhirnya kedua orang tua Anne dan Diana menyetujui kepergian mereka.
Adegan ini mencerminkan teori perfomativitas dari Judith Buttler, dimana stereotip bias gender ditunjukkan begitu kuat. Pada dialognya, Anne sadar ada ketidakadilan tentang aturan khusus yang melarang perempuan bepergian sendiri tanpa pendamping laki-laki, ini menunjukkan bagaimana norma sosial memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah dan membutuhkan perlindungan laki-laki, dan tentunya akan membatasi kebebasan mereka. Disini, perempuan ditempatkan pada posisi subordinasi dan bergantung pada laki-laki. Kehadiran Cole sendiri merupakan tindakan yang mendukung kinerja gender tersebut, dia menjadi objek "alat" yang hanya diperlukan untuk memenuhi norma sosial. Aturan ini juga mengungkapkan bagaimana norma sosial lebih ketat mengatur perilaku perempuan dibandingkan laki-laki.
Bias gender dan patriaki juga diperlihatkan pada episode 8, dimana terdapat adegan Prissy mendatangi Mr. Philips yang merupakan guru sekaligus kekasih yang telah melamarnya. Ia mengatakan "aku berjanji mencari cara menyeimbangkan kuliah dan pernikahan. Kau tak akan terabaikan" sambil mengenggam tangan Mr. Philips meyakinkan. Melihat itu Mr. Philips menyuruh Prissy duduk dan mengatakan "Prissy sayang, aku sudah memikirkannya selama dua bulan. Setelah menikah, aku butuh baktimu sebagai istriku. Status kita sulit naik jika kau sibuk bersekolah" Prissy yang terkejut menarik tangannya, namun Mr. Philips dengan cepat menariknya kembali dan mengenggam lebih erat, suaranya menekan dia kembali berkata "itu tugas istri. Bukan begitu?" Prissy tampak ketakukan dan terbata-bata menjawab perkataan Mr. Philips "tentu saja". Dan tanpa diduga, dihari pernikahannya Prissy meninggalkan altar dihadapan semua orang.
Dinamika gender, kontrol patriarki, dan kekuatan dominasi antara Mr. Philips dan Prissy digambarkan dengan baik dalam momen ini. Bahasa yang digunakan Mr. Philips dalam dialognya, seperti "Setelah menikah, aku butuh baktimu sebagai istriku" dan dialog "itu tugas istri. Bukan begitu?", menunjukkan kekuatanya sebagai laki-laki dan perannya sebagai orang yang berwibawa (guru dan calon suami), yang menempatkan perempuan pada subordinasi, tunduk dan melayani pada suami. Selain itu, pada dialog "status kita sulit naik jika kau sibuk bersekolah" menunjukan bahwa perempuan yang melanjutkan pendidikan akan menurunkan status sosial pasangannya, dialog ini juga digunakan untuk mengontrol keputusan Prissy yaitu mengorbankan kepentingan pribadinya.