Apakah Penerapan Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka Terbilang Efektif?
Pengembangan kurikulum merupakan hak dan kewajiban masing-masing perguruan tinggi, namun demikian dalam pengembangan kurikulum perguruan tinggi harus berlandaskan mulai dari UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2012, Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang dituangkan dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020, serta ketentuan lain yang berlaku (Buku Panduan Pendidikan Tinggi untuk Mendukung MBKM. 2020).Â
Kurikulum seharusnya mampu menghantarkan mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu, serta membentuk budi pekerti luhur, sehingga dapat berkontribusi untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, kebhinekaan, mendorong semangat kepedulian kepada sesama bangsa dan ummat manusia untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan serta kejayaan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan semua visi tersebut, Kemendikbudristek menawarkan Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM).
Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM) merupakan program Kemendikbudristek yang menawarkan beberapa program, yakni Mengubah PTN Satker menjadi sebuah PTN BH, Adanya penyederhanaan pada akreditasi perguruan tinggi, Membuka prodi baru, Adanya kegiatan dua semester diluar kampus.
Dengan adanya program yang ditawarkan Kemendikbudristek, apakah semua akademisi dapat menerima dengan baik? Beberapa akademisi khususnya pengelola Program Studi gelisah atas kebijakan ini. Meski kebijakan dinilai membawa angin segera namun juga membawa angin panas. Coba kita analisis.
Saat ini, PTN di Indonesia memiliki tiga jenis jenjang status yaitu PTN BLU, Satker, dan yang tertinggi PTN BH. Yang membedakan setiap status tersebut adalah tingkat otonomi di antaranya dalam mengelola keuangan dan sumber daya. Sayangnya, selama ini persyaratan agar PTN mendapatkan status PTN BH cukup berat.Â
PTN dan mayoritas program studinya harus memiliki akreditasi A sebelum dapat mengajukan diri menjadi PTN BH. Tidak mengherankan, saat ini baru 11 perguruan tinggi yang berstatus PTN BH. Kebijakan ini tentu akan memberatkan tiap kampus, mengingat masih banyaknya kampus yang belum memenuhi standard akreditasi A.Â
Apalagi untuk kampus-kampus baru yang masih membutuhkan waktu untuk berkembang. Tentu, Poin sangat diskriminatif karena hanya memberi hak kemudahan pada kampus negeri. Lalu, bagaimana dengan swasta? Tentu akan semakin tertinggal.
Harusnya, aksesebilitas dan inklusivitas diprioritaskan pemerintah terhadap kampus swasta untuk mendapatkan rekognisi, afirmasi dan fasilitasi.
Kebijakan kedua Adanya penyederhanaan pada akreditasi perguruan tinggi. Hal ini sampai 2021 juga belum terealisasi. Bahkan, kampus-kampus memiliki kecenderungan terjadi "stres akademik" lantaran akreditasi.Â
Ditambah lagi BAN-PT kini terus menaikkan instrumen borang dan model asesmen yang dilakukan. Realitas yang penulis temui, borang menjadi satir yang diselewengkan "bohong dan ngarang".Â
Lalu, apakah reakreditasi ini riil dan efektif? Tampaknya kebijakan nomor dua ini perlu dikaji lagi karena nyawa Program Studi dan perguruan tinggi ada pada status akreditasinya.
Banyak kampus yang gulung tikar karena akresitasinya C atau Baik. Belum bisa mencapai Baik Sekali atau B bahkan Unggul atau A. Ketimpangan di lapangan khususnya pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), akreditasi masih menjadi momok karena banyak terjadi pemalsuan data. Maka perlu konsep jelas atas kebijakan nomor dua tersebut.
Kebijakan ketiga yaitu Membuka prodi baru. Dengan banyak program studi yang diadakan, tanpa kesiapan yang maksimal, hanya akan menambah calon pengangguran terdidik, jika tidak diimbangi dengan peran kemendikbud dalam mengarahkan mahasiswa untuk mendapatkan lapangan pekerjaan.
Indonesia sudah memiliki jutaan sarjana namun mereka menjadi pengangguran. Kebijakan Kemdikbudristek harusnya menyiapkan keterserapan mereka bukan justru membuka peluang pendirian Program baru. Jika tidak dikaji matang, justru Kampus Merdeka ini paradoks dengan spirit memerdekakan kampus untuk mendirikan Program baru. Jangan sampai ke depan justru banyak Program Studi berdiri tanpa disiapkan siapa yang akan menampung lulusannya.
Harusnya, konstruksi ini mengarah kepada strategi memaksimalkan Program Studi yang sudah ada dan mencari metode agar lulusan tidak menjadi pengangguran. Kemdikbudristek juga bisa bekerjasama dengan Kemnaker atau perusahaan agar bisa menampung sarjana kita. Sebab, masalah banyaknya pengangguran dan suksesnya pendidikan harus dilihat dari alur input, proses, output dan outcome.
Kebijakan keempat adalah Adanya kegiatan dua semester diluar kampus. Poin ini juga perlu didekonstruksi. Jika kita analisis pada aspek kurikulum, MBKM tidak ada bedanya dengan kurikulum perguruan tinggi yang mengacu KKNI dan SN DIKTI. Masalahnya terletak pada profil lulusan dan capaian pembelajaran dan mata kuliah yang berbeda pada setiap Program Studi atau kampus. Hal ini justru mengaburkan kurikulum yang mengacu KKNI dan SN DIKTI.
Perlu kajian ulang atas kebijakan MBKM. Bagi Kemendikbudristek, perlu mencari formula bernas. Sebab, Kemdikbudristek tidak lama dan hanya didasarkan pada Surat Keputusan. Jika tiap siap, maka satir "ganti menteri ganti kurikulum" memang benar adanya.
Bagi perguruan tinggi, perlu melakukan perubahan mendasar atas MBKM. Artinya, Rektor, Dekan, Kaprodi jauh lebih paham akan kemajuan kampusnya daripada hanya mengadopsi MBKM yang belum jelas hasilnya.Â
MBKM secara riil belum bisa diklaim sukses. Meski terjadi cacat akademik namun jika kampus mampu melampaui maksud dan tujuan MBKM justru itulah yang diharapkan. Maka sebenarnya kemerdekaan itu sudah ada sejak dulu.
Siti Roisatun Nisail Mu'minat
Mahasiswi Prodi PAI UIN Walisongo Semarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H