Lalu, apakah reakreditasi ini riil dan efektif? Tampaknya kebijakan nomor dua ini perlu dikaji lagi karena nyawa Program Studi dan perguruan tinggi ada pada status akreditasinya.
Banyak kampus yang gulung tikar karena akresitasinya C atau Baik. Belum bisa mencapai Baik Sekali atau B bahkan Unggul atau A. Ketimpangan di lapangan khususnya pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), akreditasi masih menjadi momok karena banyak terjadi pemalsuan data. Maka perlu konsep jelas atas kebijakan nomor dua tersebut.
Kebijakan ketiga yaitu Membuka prodi baru. Dengan banyak program studi yang diadakan, tanpa kesiapan yang maksimal, hanya akan menambah calon pengangguran terdidik, jika tidak diimbangi dengan peran kemendikbud dalam mengarahkan mahasiswa untuk mendapatkan lapangan pekerjaan.
Indonesia sudah memiliki jutaan sarjana namun mereka menjadi pengangguran. Kebijakan Kemdikbudristek harusnya menyiapkan keterserapan mereka bukan justru membuka peluang pendirian Program baru. Jika tidak dikaji matang, justru Kampus Merdeka ini paradoks dengan spirit memerdekakan kampus untuk mendirikan Program baru. Jangan sampai ke depan justru banyak Program Studi berdiri tanpa disiapkan siapa yang akan menampung lulusannya.
Harusnya, konstruksi ini mengarah kepada strategi memaksimalkan Program Studi yang sudah ada dan mencari metode agar lulusan tidak menjadi pengangguran. Kemdikbudristek juga bisa bekerjasama dengan Kemnaker atau perusahaan agar bisa menampung sarjana kita. Sebab, masalah banyaknya pengangguran dan suksesnya pendidikan harus dilihat dari alur input, proses, output dan outcome.
Kebijakan keempat adalah Adanya kegiatan dua semester diluar kampus. Poin ini juga perlu didekonstruksi. Jika kita analisis pada aspek kurikulum, MBKM tidak ada bedanya dengan kurikulum perguruan tinggi yang mengacu KKNI dan SN DIKTI. Masalahnya terletak pada profil lulusan dan capaian pembelajaran dan mata kuliah yang berbeda pada setiap Program Studi atau kampus. Hal ini justru mengaburkan kurikulum yang mengacu KKNI dan SN DIKTI.
Perlu kajian ulang atas kebijakan MBKM. Bagi Kemendikbudristek, perlu mencari formula bernas. Sebab, Kemdikbudristek tidak lama dan hanya didasarkan pada Surat Keputusan. Jika tiap siap, maka satir "ganti menteri ganti kurikulum" memang benar adanya.
Bagi perguruan tinggi, perlu melakukan perubahan mendasar atas MBKM. Artinya, Rektor, Dekan, Kaprodi jauh lebih paham akan kemajuan kampusnya daripada hanya mengadopsi MBKM yang belum jelas hasilnya.Â
MBKM secara riil belum bisa diklaim sukses. Meski terjadi cacat akademik namun jika kampus mampu melampaui maksud dan tujuan MBKM justru itulah yang diharapkan. Maka sebenarnya kemerdekaan itu sudah ada sejak dulu.
Siti Roisatun Nisail Mu'minat
Mahasiswi Prodi PAI UIN Walisongo Semarang