Puncak peringatan Bulan Bung Karno (BBK) dirayakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat dengan meriah. Tentu saja karena ini merupakan tahun politik terutama menjelang digelarnya pesta demokrasi Pemilu 2024, maka acara yang seharusnya bernuansa nasionalis ini pun tak luput dari kepentingan kampanye politik.Â
Dukungan terhadap bakal calon presiden (bacapres) dari PDIP yaitu Ganjar Pranowo digaungkan dengan lantang. Tidak hanya dalam orasi politik saja, melainkan juga dalam hiburan-hiburan yang sajikan. Sebut saja seniman Sri Krishna Encik yang tampil membawakan lagu "Ganjar Siji Ganjar Kabeh". Yang menarik adalah sebelum Sri Krishna tampil, budayawan Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa didaulat untuk membacakan puisinya terlebih dahulu. Puisi budayawan yang akrab dipanggil Butet ini pun segera viral menjadi pembicaraan khalayak.Â
Pasalnya Butet yang terkenal kritis terhadap pemerintahan khususnya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, tiba-tiba dianggap vulgar dan tendensius. Secara terang-terangan puisi Butet berisi nyinyiran terhadap bacapres yang diprediksi akan berlaga pada Pilpres 2024 mendatang.
"Di sini semangat meneruskan, di sana maunya perubahan. Oh begitulah sebuah persaingan," ujar Butet membacakan puisinya yang menggambarkan persaingan antara bacapres dari kalangan pro pemerintahan dan bacapres dari oposisi dan pesaingnya.
Tanpa canggung Butet mengadopsi diksi-diksi olok-olok yang sering dijadikan bahan nyinyiran antara para influencer di sosial media. Misalnya permasalahan perdebatan sengit mengenai banjir dimana satu kelompok menyebutkan sebagai sekedar 'air yang parkir'.
"Di sini nyebutnya banjir, di sana nyebutnya air yang markir. Ya begitulah kalau otaknya pandir," lanjut Butet membacakan puisinya.
Lebih tendensius lagi Butet tak segan untuk mengangkat perdebatan dua kubu lebih aktual seperti permasalahan tuduhan penjegalan yang melibatkan peran KPK.
"Pepes ikan dengan sambel terong, semakin nikmat tambah daging empal. Orangnya diteropong KPK karena nyolong, eh lha, kok koar-koar mau dijegal," baca Butet.
Jika bait-bait di atas ditafsirkan oleh banyak kalangan sebagai sindiran Butet untuk Anies Baswedan saja, Butet pun juga membidik bacapres yang lainnya. Secara terang-terangan Butet juga memaparkan ciri-ciri capres pilihan Jokowi sekaligus mengkontradiksikan dengan jejak sejarah bakal lawannya yang sekaligus lawannya di Pilpres kemarin. Â
"Jagoan Pak Jokowi rambutnya putih, gigih bekerja sampai jungkir balik. Hati seluruh rakyat Indonesia pasti akan sedih jika kelak ada presiden hobinya kok menculik," baca Butet dengan rima.
Banyak kalangan menyayangkan keberpihakan Butet pada puisi pamfletnya tersebut. Namun, apakah benar dalam puisi itu Butet secara terang-terangan telah berpihak kepada bacapres dari golongan yang memiliki hajat pada pergelaran Bulan Bung Karno tersebut?
Nampaknya sebagai seniman Butet masih ingin mengemukakan idealismenya sebagai budayawan yang seharusnya tidak berpihak pada golongan tertentu semata. Lihat saja, sebelum mengakhiri tugas pementasannya, melalui bait puisinya, Butet menyempatkan menyindir soal pemimpin yang bermodal transaksional semata. Diksi ini tentunya bisa mengenai pada semuanya bahkan pada pemerintahan yang berkuasa sekarang ini. Pasalnya, diksi itulah yang biasa dijadikan tuduhan dari kalangan oposisi untuk menyindir transaksi-transaksi kursi kekuasaan seperti halnya menteri dan jabatan tinggi lainnya yang konon terjadi di pemerintahan, serta fungsi presiden yang hanya dianggap sebagai petugas partai saja.
"Cucu komodo mengkeret jadi kadal, tak lezat digulai biarpun pakai santan. Kalau pemimpin modalnya cuman transaksional, dijamin bukan tauladan kelas negarawan," ungkap Butet dalam puisinya. Bisa jadi meskipun Butet bermaksud lain dalam bait ini, namun bisa saja khalayak menafsirkan ini sebagai bentuk pemimpin sebagai petugas partai, oligarki, bagi-bagi kursi jabatan tinggi dan sebagainya.
Tidak tanggung-tanggung, sekali baca puisi, 1,2,3 bacapres terkritisi. Sayang tak semua jeli dalam mengapresiasi, hingga Butet pun dihujat sebagai budayawan sampah. Namun bisa jadi sayalah yang terlalu percaya diri. Tafsir yang kutulis ini, bisa jadi jauh dari makna yang dimaksudkan Butet sendiri.
Yang jelas tidak ada larangan bagi sastrawan, penyair, seniman dan budayawan untuk menuliskan sebuah puisi pamflet atau politis. Seperti yang pernah diteriakkan oleh sastrawan WS Rendra,"Aku tulis pamflet ini karena pamflet bukan tabu bagi penyair" (Aku Tulis Pamflet Ini, Rendra).
Setidaknya mengemukakan kritikan melalui puisi atau mengutarakan ketidakpuasan melalui sajak, masih bisa menghibur dan dinikmati khalayak, dari pada perang caci-maki dalam platform sosial media. Tentu saja terkait puisi pamflet ini saya mengamini pendapat Rendra. Sudah semestinya seorang sastrawan berbicara tentang persoalan sosial dan politik melalui bentuk narasi yang paling kuat, yaitu puisi. Karena puisi selain memiliki sandingan fungsi estetik juga politik. Jadi, mari kita berkampanye dengan puisi. Tak perlu tweetwar yang bikin perpecahan bangsa atau hal-hal lain yang bikin negeri ini ambyar. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H