Nampaknya sebagai seniman Butet masih ingin mengemukakan idealismenya sebagai budayawan yang seharusnya tidak berpihak pada golongan tertentu semata. Lihat saja, sebelum mengakhiri tugas pementasannya, melalui bait puisinya, Butet menyempatkan menyindir soal pemimpin yang bermodal transaksional semata. Diksi ini tentunya bisa mengenai pada semuanya bahkan pada pemerintahan yang berkuasa sekarang ini. Pasalnya, diksi itulah yang biasa dijadikan tuduhan dari kalangan oposisi untuk menyindir transaksi-transaksi kursi kekuasaan seperti halnya menteri dan jabatan tinggi lainnya yang konon terjadi di pemerintahan, serta fungsi presiden yang hanya dianggap sebagai petugas partai saja.
"Cucu komodo mengkeret jadi kadal, tak lezat digulai biarpun pakai santan. Kalau pemimpin modalnya cuman transaksional, dijamin bukan tauladan kelas negarawan," ungkap Butet dalam puisinya. Bisa jadi meskipun Butet bermaksud lain dalam bait ini, namun bisa saja khalayak menafsirkan ini sebagai bentuk pemimpin sebagai petugas partai, oligarki, bagi-bagi kursi jabatan tinggi dan sebagainya.
Tidak tanggung-tanggung, sekali baca puisi, 1,2,3 bacapres terkritisi. Sayang tak semua jeli dalam mengapresiasi, hingga Butet pun dihujat sebagai budayawan sampah. Namun bisa jadi sayalah yang terlalu percaya diri. Tafsir yang kutulis ini, bisa jadi jauh dari makna yang dimaksudkan Butet sendiri.
Yang jelas tidak ada larangan bagi sastrawan, penyair, seniman dan budayawan untuk menuliskan sebuah puisi pamflet atau politis. Seperti yang pernah diteriakkan oleh sastrawan WS Rendra,"Aku tulis pamflet ini karena pamflet bukan tabu bagi penyair" (Aku Tulis Pamflet Ini, Rendra).
Setidaknya mengemukakan kritikan melalui puisi atau mengutarakan ketidakpuasan melalui sajak, masih bisa menghibur dan dinikmati khalayak, dari pada perang caci-maki dalam platform sosial media. Tentu saja terkait puisi pamflet ini saya mengamini pendapat Rendra. Sudah semestinya seorang sastrawan berbicara tentang persoalan sosial dan politik melalui bentuk narasi yang paling kuat, yaitu puisi. Karena puisi selain memiliki sandingan fungsi estetik juga politik. Jadi, mari kita berkampanye dengan puisi. Tak perlu tweetwar yang bikin perpecahan bangsa atau hal-hal lain yang bikin negeri ini ambyar. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H