Mohon tunggu...
Warisan Literasi Mama
Warisan Literasi Mama Mohon Tunggu... Freelancer - Meneruskan Warisan Budaya Literasi dan Intelektual Almarhumah Mama Rohmah Tercinta

Mama Rohmah Sugiarti adalah ex-writerpreneure, freelance writer, communications consultant, yogini, dan seorang ibu yang sholehah dan terbaik bagi kami anak-anaknya. Semoga Mama selalu disayang Allah. Alfatihah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aneka Kesenjangan Sosial pada Pelaksanaan PJJ, Bagaimana Ini Mas Menteri?

8 Agustus 2020   10:59 Diperbarui: 8 Agustus 2020   11:11 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Gara-gara pandemi Covid-19 masih belum terkendali dan bisa teratasi dengan baik, maka di tahun ajaran baru 2020/2021 ini proses belajar mengajar di berbagai daerah masih banyak yang  bersistem sekolah daring dari rumah atau pendidikan jarak jauh (PJJ).

Entah sudah pasrah dengan keadaan yang terjadi atau karena sudah mampu beradaptasi dengan kebiasaan belajar sistem baru tersebut maka sebagian orang tua dan siswa menerima dan bersedia menjalankan metode ini dengan baik-baik saja.

Namun ternyata tidak semuanya, baik orang tua maupun siswa yang menerima keputusan pelaksanaan PJJ ini dengan baik-baik saja.

Muncul cukup banyak keluhan, keberatan dan kritik dari kalangan orang tua terutama dari anak didik usia Sekolah Dasar. Pasalnya untuk anak didik usia SD inilah banyak aspek-aspek pendukung kegiatan PJJ yang masih berlepotan seperti kemandirian anak, kemampuan penguasaan teknologi (gawai), perlunya bantuan, bimbingan dan pengawasan orang tua, kemampuan berkomunikasi siswa dan beberapa hal lainnya yang boleh jadi berbeda untuk masing-masing anak.

Jika diamati lebih detail dan serius, maka setidaknya telah terjadi beberapa kesenjangan sosial yang tanpa disadari telah terjadi pada proses pelaksanaan PJJ saat ini.

Pertama yaitu kesenjangan kepemilikan gawai. Harus diakui bahwa fasilitas pendukung utama yang diperlukan dalam keikutsertaan pada program PJJ sekarang ini adalah kepemilikan gawai.

Bermacam varian gawai seperti telepon cerdas (smartphone), ipad, laptop atau komputer jelas diperlukan dalam program PJJ ini. Karena itu anak didik atau orang tuanya harus memiliki salah satu atau lebih gawai-gawai tersebut.

Kesenjangan jelas mencolok dalam hal ini. Ada anak yang memiliki hampir semua jenis gawai tersebut karena kemapanan orangtuanya, sebaliknya ada anak atau bahkan orang tuanya yang belum memiliki satupun varian dari gawai tersebut.

Akibatnya ada anak yang bisa dengan lancar mengikuti program PJJ, namun ada anak yang harus kalang kabut meminjam gawai orang tua, kerabat dan bergantian dengan saudara-saudaranya yang juga harus mengikuti PJJ ketika di rumah mereka hanya ada satu gawai semata.

Entah saya yang kurang mengerti atau memang belum ada, sampai saat ini saya melihat belum ada kebijakan pemerintah untuk mengatasi hal ini. Yang saya tahu ada beberapa guru yang secara suka rela berinisiatif untuk meminjamkan gawai miliknya kepada siswa yang tidak memilikinya agar bisa mengikuti sistem sekolah daring. 

Meskipun untuk keperluan itu akhirnya siswa-siswa tersebut harus tetap datang ke sekolah untuk bergantian meminjam ponsel gurunya. Semoga saja permasalahan ini segera ditemukan solusinya.

Kedua yaitu kesenjangan ketersediaan kuota internet. Harus diakui bahwa setelah ketersediaan ponsel, kebutuhan penting selanjutnya untuk pelaksanaan PJJ adalah adanya kuota internet. Kuota mutlak diperlukan. Karena tanpa kuota koneksi tak bisa berjalan dan tentu saja PJJ tak bisa dilakukan.

Sialnya kesenjangan perihal ini sangat besar. Ada keluarga yang bisa memiliki Wifi internet yang bagus dan unlimited, belum lagi ditambah kuota internet yang dimiliki pada kartu-kartu operator yang dipakai di ponsel mereka.

Namun di sisi lain, banyak keluarga atau anak didik yang dhuafa kuota. Mereka harus berupaya keras untuk bisa membeli kuota yang diperlukan dengan hitung-hitung ekonomi yang teliti dan hati-hati.

Bahkan ada kasus kesenjangan kuota ini pun menimpa para gurunya. Pasalnya memang belum semua guru sejahtera. Beban kebutuhan kuota internet untuk PJJ pun terkadang dirasa makin memberatkan mereka. Apalagi upload pengiriman video pengajaran juga memerlukan kuota yang lebih besar daripada yang biasa mereka gunakan.

Kesenjangan masalah kepemilikan kuota internet inilah yang akhirnya memancing kepedulian beberapa pihak. Ada sebuah komunitas di masyarakat yang prihatin akan hal ini sehingga berinisiatif untuk menggalang dana dan mengkoordinir penyediaan wifi gratis untuk sekolah. Upaya itu terwujud. 

Melalui dana gotong royong yang terkumpul akhirnya bisa dibangun wifi gratis untuk anak-anak sekolah yang ditempatkan di dekat kelurahan atau balai desa. Dengan begitu maka anak-anak sekolah yang tidak memiliki kuota bisa datang dan memanfaatkan wifi gratis yang disediakan tersebut.

Di tempat lain ada juga kepedulian personal yang tersentuh. Seorang pengusaha warung kopi (warkop) sederhana berinisiatif menyediakan wifi gratis untuk anak-anak sekolah. Tentu saja kepedulian ini menadapatkan apresiasi bagus dari anak-anak sekolah sehingga banyak anak-anak sekolah yang datang dan belajar di warung kopi tersebut.

Terkait dengan kesenjangan kuota internet ini, wakil rakyat yang ada di DPRD DKI Jakarta telah mendesak gubernur DKI Anies Baswedan untuk berinisiatif menyediakan wifi gratis. 

Bahkan selang sehari setelah tuntutan tersebut dilontarkan, ada sebuah fraksi parpol yang menyindir sang gubernur dengan berinisiatif untuk membangun langsung pusat-pusat wifi gratis bagi masyarakat di lingkungan padat penduduk. Mereka benar-benar mewujudkan hal itu di beberapa RT di kawasan DKI Jakarta.

Lalu apakah masalah kesulitan kuota internet ini bisa terselesaikan? Dengan adanya wifi gratis ini sekilas permasalan ini seperti terselesaikan di wilayah-wilayah telah ada fasilitas wifi gratis tersebut.

Namun, jika dikaji lebih dalam justru terjadi ironi yang berlawanan dengan prinsip PJJ itu sendiri. Pasalnya PJJ dilaksanakan agar interaksi sosial antar anak didik bisa diminimalisir. Mereka tidak berkumpul dan bertemu untuk mengurangi resiko penyebaran virus corona covid-19.

Sungguh ironis jika PJJ dilaksanakan untuk mengurangi pertemuan fisik, karena mengejar wifi gratis untuk melaksanakan PJJ tersebut banyak siswa yang akhirnya bertemu dan belajar dalam keramaian kembali. Lalu apa bedanya jika mereka kembali ke sekolah konvensional saja. 

Mungkin justru dengan kembalinya dilakukan pendidikan konvensional di sekolah, ketertiban dan pelaksanaan protokol kesehatan lebih bisa dijaga dan diawasi dibandingkan jika mereka berkumpul secara bebas demi mendapatkan wifi gratis tersebut.

Info terakhir Mas Menteri Nadiem Makarim telah memberikan ijin penggunaan dana BOS untuk pembelian pulsa atau kuota internet tersebut. Semoga saja dengan keputusan tersebut permasalahan pulsa atau kuota untuk PJJ sekarang bisa terselesaikan. 

Walaupun tentu saja kesenjangan akan tetap terjadi. Pasalnya pemberian kuota atau pulsa dari dana BOS tersebut tentunya tidak akan sebebas dengan mereka-mereka yang secara keuangan mampu untuk membelinya sendiri.

Ketiga, kesenjangan status sosial. Seperti kita tahu, salah satu sistem absensi dan bukti kehadiran seorang peserta didik pada PJJ adalah melalui pengiriman foto, video, dan juga video konferensi. Beberapa kali para guru meminta peserta didik untuk mengirimkan foto/video anak didik ketika tengah melakukan belajar daring atau mengerjakan tugas daring. Ada foto/video yang dikirimkan ke grup belajar daring (PJJ) yang telah dibentuk baik untuk siswa maupun untuk orang tua, ada juga foto/video yang dikirim secara jalur pribadi (japri) ke guru.

Tidak ada masalah ketika foto/video tersebut dikirimkan secara japri ke guru. Namun ketika foto/video tersebut dikirimkan ke grup, maka kesenjangan status sosial akan sangat nampak. 

Terlihat ada anak didik yang memiliki rumah bagus, suasana kamar yang bagus bahkan mewah, rumah yang luks, meja belajar yang menarik, dan kelebihan-kelebihan lainnya. Tapi sebaliknya akan nampak juga anak-anak yang kamar dan meja belajarnya apa adanya, rumahnya memprihatinkan, dan hal-hal lain yang menunjukkan ketidakberuntungan status sosial mereka.

Karena itu untuk permasalahan ini diperlukan kebijakan guru agar bisa mengantisipasi terlihatnya kesenjangan yang ada dengan sistem pengiriman tugas, perkenalan, absen dan lain-lainnya secara bijak.

Keempat, kesenjangan kemampuan IT, ketersediaan waktu, pengetahuan dan dukungan orang tua. Salah satu himbauan yang dilontarkan demi mendukung suksesnya PJJ adalah peningkatan peran orang tua dalam membantu aktivitas belajar anak. Terutama untuk anak-anak sekolah dasar, peran orang tua ini sangat diperlukan.

Namun harus diakui adanya kesenjangan pada peran orang tua di atas. Diantaranya masalah kemampuan IT masing-masing orang tua. Ada orang tua yang sangat jago IT sehingga menunjang tugas-tugas anak bisa tampil bagus dan menawan. Sebaliknya tak jarang ada orang tua yang gaptek, sehingga mereka sama bingungnya dengan sang anak ketika mendapatkan tugas-tugas dari guru.

Adaptasi masalah dasar seperti pemakaian platform Google Classroom, Zoom Meeting, Google Meeting, penyimpanan file melalui google drive saja kerap menjadi beban tersendiri bagi orang tua. Belum lagi ketika harus ada tugas pembuatan video maupun foto. 

Kebutuhan untuk mengedit video maupun foto sebagai tugas dari sekolah terkadang memunculkan kesenjangan tersendiri. Adan yang orang tua yang mampu membantu membuatkan tugas sang anak dengan sangat bagus, ada juga yang kacau balau, apa adanya.

Meme kritis tentang peran orang tua dalam PJJ - Sumber Foto: Istimewa/dokpri
Meme kritis tentang peran orang tua dalam PJJ - Sumber Foto: Istimewa/dokpri
Ketersediaan waktu dan tingkat pengetahuan orang tua juga bisa memunculkan kesenjangan tersendiri. Pada masa pelaksanaan PJJ, dalam komunikasi antar grup orang tua maupun guru akan sangat nampak bagaimana ada orang tua yang tidak punya cukup waktu untuk mendampingi anak, ada juga orang tua yang selalu mendampingi anaknya. 

Ada orang tua yang sangat pintar sehingga bisa membantu semua tugas anak, banyak juga orang tua yang pas-pasan sehingga harus kalang-kabut ketika diminta membantu tugas anak.

Tak heran jika di situs-situs internet, bermunculan bermacam kisi-kisi penyelesaian, pembahasan tugas atau kunci jawaban dari tugas-tugas yang diberikan guru kepada anak sesuai schedule yang telah ditetapkan pemerintah dalam PJJ. Situs-situs yang boleh jadi mencari untung dari banyaknya view yang dilakukan para pelajar dan orang tua tersebut, memang mendapatkan kunjungan yang lumayan ramai.

Hal itu menunjukkan bahwa tidak cukup penjelasan dan pengajaran dari guru semata, banyak peserta didik maupun orang tua murid yang mencari sumber-sumber lain untuk menyelesaikan tugas-tugas PJJ mereka dari sumber-sumber yang tidak resmi. Bukan sekedar dari guru atau sekolah mereka sendiri.

Melihat fenomena seperti itu, sebaiknya Kemdiknas membangun situs dan channel-channel sendiri untuk menghindari kemelencengan-kemelencengan yang mungkin saja terjadi dari kurikulum yang telah ditentukan karena improvisasi-improvisasi developer independen atau swasta. Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun