Berikut poin-poin yang dianggap kebablasan dari tugas sang guru tersebut:
Pertama pemakaian platform LinkedIn. LinkedIn boleh jadi memang salah satu platform sosial media yang dianggap serius, profesional dan jauh dari hal-hal negatif yang ada dalam platform sosial media lainnya.
Karena bersifat profesional, maka LinkedIn bisa dikatakan jauh dari gosip, ujaran kebencian dan postingan riskan lainnya.
Mungkin karena keunggulan inilah maka sang guru menugaskan siswanya untuk membuat akun di sini.
Sang guru lupa bahwa muridnya masih duduk di kelas 8 alias kelas 2 SMP. Duh, kira-kira apa yang bisa diisikan anak sekolah seusia iu dalam profil, bio dan porto folio mereka di LinkedIn?
Setelah kejanggalan untuk membuat akun LinkedIn, warganet juga mempermasalahkan tentang tugas yang berat dan seperti mustahil untuk chatting dengan Donald Trump, Bill Gates dan Mark Zuckerberg tersebut.
Selain mereka semua adalah tokoh-tokoh terkenal yang noabene sangat sibuk, apalagi Bill Gates serta Donald Trump saat ini tengah menghadapi permasalah yang sangat serius di tempat mereka.
Mungkin saja akan ada admin yang mengelola akun mereka tersebut. Namun bagaimana pun juga tugas ini tetap dianggap terlalu di awang-awang.
Meskipun dunia online (daring) memang sanga mondial dan tak terbatas jarak dan waktu, mungkin tugas untuk melakukan dialog (chatting) dengan Presiden Joko Widodo, para menteri atau tokoh-tokoh terkenal di Indonesia lainna akan dipandang lebih masuk akal ketimbang tokoh-tokoh dunia tersebut.
Semoga saja kasus viralnya Frank Zukerberg ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi para pendidik Indonesia akan pentingnya pembelajaran melek digital yang baik dan membumi sehingga tidak mengada-ada bahkan terasa kebablasan dan malah menjerumuskan.
Selamat melanjutkan kembali proses belajar daring dari rumah anak Indonesia. Tabik.