Pandemi Covid-19 telah memaksa anak-anak sekolah Indonesia untuk belajar di rumah atau istilah kerennya school from home (SFH). Tak kalah dengan orang tuanya atau para pekerja yang juga harus melakukan aktivitas work from home (WFH) karana penetapan PSBB atau karantina.
Salah satu aktivitas SFH yang ditetapkan oleh pemerintah adalah belajar lewat program tayangan belajar yang diputar di TVRI. Salah satu program belajar yang saat ini cukup menarik dan dinimati oleh anak-anak usia Sekolah Dasar kelar 1-3 adalah program Sahabat Pelangi.
Melalui tayangan animasi kartun bertajuk "Sahabat Pelangi" inilah anak-anak diberikan pemahaman mengenai keluhuran budi, etika, moralitas dan sifat-sifat mulia yang perlu dimiliki dalam menjalani kehidupan dan memandang keberagaman yang ada di negeri ini.
Melihat tajuk acara ini yaitu "Sahabat Pelangi" aku jadi ingat kepada film "Laskar Pelangi" yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata, yang pernah hits beberapa waktu lampau. Sepertinya kemiripan tajuk ini mudah untuk dimengerti karena idiom "pelangi" notabene merupakan simbolisasi yang sangat pas untuk merepresentasikan adanya keberagaman.
Kebetulan program tayangan "Sahabat Pelangi" maupun "Laskar Pelangi" ini sama-sama mengangkat adanya kekayaan keberagaman yang dimiki Indonesia ini.Â
Bedanya adalah kalau "Sahabat Pealngi" merupakan sketsa animasi yang dibuat untuk memberikan pelajaran ideologi, moral dan etika kepada anak-anak usia kelas 1 hingga kelas 3 SD, sedangkan "Laskar Pelangi" adalah novel dan juga film layar lebar yang ceritanya terinspirasi oleh kearifan lokal masyarakat lokal di Belitong, tanah kelahiran sang penulis, Andrea Hirata.
Laskar Pelangi yang notabene merupakan novel yang akhirnya dilayarlebarkan ini merupakan penggambaran sang penulis atas realitas kehidupan masyarakat Belitung yang dalam kelugasan dan kesederhanaan yang dimiliki mampu menyemai dan merawat rasa solidaritas yang tinggi terhadap pluralitas keberagaman yang mereka miliki.
Melalui penggambaran natural lewat karakter tokoh-tokohnya seperti Akiong, Lintang, Ikal, Mahar, Trapani, Kucai, Borek, Syahdan, Sahara, Harun, Flo dan Aling, kita bisa seperti melihat kehidupan lugas anak-anak Belitung yang damai dalam perbedaan yang mereka miliki.Â
Ditambah keberadaan ibu guru Muslimah, Pak Harfan, Mahmud dan Zulkarnaen dan Bakri,kita bisa melihat bagaimana kegigihan dan ketulusan guru-guru di daerah dalam memperjuangkan masa depan anak didiknya.
Pesan utama yang diangkat dalam film ini adalah bagaimana perbedaan dan keberagaman tidak menjadi kendala bagi perdamaian dan persatuan, dan bagaimana kendala ekonomi dan fasilitas yang dimiliki tidak menjadi penghalang bagi anak-anak dalam menuntut ilmu.
Di saat akan-anak tengah belajar dari rumah (SFH) sebagai wujud sikap pantang menyerah begitu saja terhadap tantangan atau kendala yaitu pandemi Covid-19 yang tengah terjadi, gambaran apa yang dialami Lintang dan kawan-kawan setidaknya akan mampu membuat mereka termotivasi untuk menjalani semua ini dengan sepenuh energi.
Kepolosan, keluguan sekaligus kejujuran dan kebaikan anak-anak laskar pelangi ini diharapkan mampu memberikan kesadaran dan kepekaan sosial agar tetap terjaga karena saat ini mereka tengah menjadi makhluk indivudual karena terkurung di rumah.Â
Setidaknya anak-anak akan menyadari bahwa sekolah itu tidak sekedar masalah nilai dan kepintaran semata. Seperti yang diucapkan oleh karakter Pak Harfan. "Di sini kecerdasan tidak diukur dengan nilai-nilai angka semata, tapi dengan hati," ingat pak Harfan.
Disamping semua nilai-nilai positif yang terbersit dalam film "Laskar Pelangi" ini, ada satu pesan penting dari Pak Harfan yang sangat tepat untuk dijadikan pegangan kepekaan sosial anak-anak dan kita semua di tengah pandemi sekarang ini.
"Memberilah sebanyak-banyaknya kepada orang lain, bukan menerima sebanyak-banyaknya dari orang lain," itulah pesan yang berulang-ulang disampaikan Pak Harfan kepada anak didiknya, yang mungkin juga bisa kita sampaikan berulang kali kepada anak-anak generasi rebahan yang tengah SFH sekarang ini.
Film "Laskar Pelangi" ini dirilis pada tahun 2008 lampau. Â Telah tayang dan menjadi hits sekitar 12 tahun lampau. Anak-anak yang menonton waktu itu telah menjadi anak remaja atau sekolah menengah pertama.Â
Karenanya banyak dari generasi Z atau generasi rebahan sekarang yang belum pernah menonton film ini. Â Jika mau jujur, hingga saat ini belum ada film untuk segala usia, utamanya untuk anak-anak yang sebaik ini.Â
Dus, tak ada salahnya jika semasa anak-anak sekolah tengah menjalani SFH sekarang ini, sekali saja kita ajak mereka menonton "Laskar Pelangi".Â
Karena dari film ini, kita bisa mengambil banyak teladan solidaritas, kerja keras, budi pekerti luhur, dan hal-hal posiif lainnya yang pastinya akan berguna dalam menyikapi pandemi yang belum juga mereka hingga saat ini. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H