Mohon tunggu...
Rohmatullah Adny Asymuni
Rohmatullah Adny Asymuni Mohon Tunggu... Guru - Dakwah dengan hikmah

Rohmatullah Adny Asymuni, Alumni Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, STEI Tazkia, Bogor dan Aktivis HMI dan Sekum HMI Komisariat Tazkia Cabang Bogor. Penulis bisa kunjungi di rohmatullahadny.blogspot.com atau di twitter @er_adny

Selanjutnya

Tutup

Beauty

Trend hijab sebagai Budaya

6 Juli 2019   09:56 Diperbarui: 6 Juli 2019   10:08 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Abdul Wahab Ahmad Saya ingat tahun 90-an awal dulu kalau pergi ke pasar atau Mall di pusat kota, maka biasanya ibu-ibu yang saya lihat berjilbab hanya ibu saya sendiri atau ditambah beberapa ibu-ibu lain yang ketemu di jalan yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. 

Demikian juga kalau lewat di sekolah-sekolah, yang terlihat berjilbab biasanya hanya siswi madrasah, itu pun kalau sedang sekolah. Di luar jam sekolahnya banyak siswi madrasah yang melepas jilbabnya. Kalau di sekolah-sekolah negeri, masih bisa dibilang langka keberadaan siswi berjilbab. 

Saat itu para guru sekolah juga tak sungkan melarang siswinya berjilbab di sekolah.Sebagai manusia yang tak pernah berjilbab seumur hidup, saya tak tahu persis bagaimana tetapi sepertinya perlu nyali ekstra untuk tampil berhijab di muka umum saat itu. 

Jilbab atau hijab saat itu seolah pakaian inferior, pakaian yang bikin minder, pakaian yang tak layak muncul untuk kegiatan harian. Hijab tak lebih dari sekedar kostum pengajian, tahlilan, atau saat ke masjid saja.

Kini semua sudah berbeda. Kemana pun pergi, rerata perempuan muslimah, baik muda atau tua, sudah mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Yang tipe kalem naik motor matic bahkan yang agak tomboy naik motor laki pun tak jarang berhijab. Siswi sekolah umun rerata sudah berhijab semua. Bahkan hijabers sudah tak canggung lagi untuk berliuk di catwalk dan menghiasi media.

Kalau dulu yang berhijab jadi korban bully, sekarang justru yang melepas hijabnya yang dibully. Saya tak sedang membenarkan pembullian sebab bukan ini cara yang baik dalam mengubah karakter, tetapi setidaknya dapat terlihat bahwa peta kepercayaan diri masyarakat soal hijab sudah berubah sekarang.

Awalnya, muslimah yang banyak berjilbab adalah kaum muda saja. Kaum tuanya sudah terlanjur terbiasa dengan kemeja dan rok dan sepertinya merasa agak risih berjilbab. Sekarang muslimah muda itu sudah menjadi ibu-ibu yang mendidik generasi penerusnya berhijab, apapun profesinya. Efeknya menular pada ibu-ibu yang di masa mudanya belum berhijab, sekarang nampaknya banyak sekali yang sadar untuk memakai hijab.

Perubahan ini berkat dakwah dari berbagai kalangan secara umum, baik dari kalangan kultural maupun pergerakan. Tak dapat dinafikan peran besar dakwah gerakan Tarbiyah, Salafi, Jama'ah Tabligh, HTI dan lain-lain soal ini. Semua kelompok muslim sepakat mendakwahkan bahwa pakaian islami bagi perempuan adalah pakaian yang menutup aurat, tak sekedar pakaian biasa.

Kalau bicara pakaian adat, maka yang namanya adat itu adalah kebiasaan di suatu masa tertentu. Kalau ditanya pakaian adat wania Eropa di abad pertengahan, maka jawabannya adalah pakaian yang relatif tertutup. Tapi pakaian adat wanita Eropa sekarang justru pakaian terbuka. Demikian juga pakaian adat wanita Nusantara ini juga berubah-ubah sesuai masanya. 

Kalau bicara adat tatkala masa Majapahit, ya pakai kemben. Adat di masa Orla dan Orba pakai kebaya dan rok. Sedangkan adat sekarang ya pakai hijab. Ini semua adalah adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tak ada keistimewaan atau kesakralan pada pakaian adat di rentang tahun tertentu atas pakaian adat di rentang tahun yang lain.

Saya tak bicara syariat di sini, tapi bicara adat. Sungguh naif pikiran sebagian orang yang mengaku modernis di masa ini yang mengkritik fenomena hijab sebagai adat luar, bukan adat lokal. Mereka tak sadar atau tak mau sadar bahwa yang namanya adat itu selalu saling memengaruhi satu sama lain.

Ini adalah kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang pasti saling berinteraksi. Rok bawah lutut, sepatu, celana, apalagi rok mini dan bikini, itu adat mana? Semua tahu jawabannya tapi kalangan modernis naif ini tak pernah mengkritiknya sekecap kata pun.

Ketika adat luar yang memperlihatkan kulit wanita sebanyak-banyaknya masuk ke Indonesia dan menguasai media, nalar kritis mereka seperti tumpul. Kalau pun ada yang bersuara, itu lirih saja. Namun ketika ada adat luar yang menutup kulit wanita sebanyak-banyaknya dari pandangan umum, mereka tetiba kritis membela adat lokal. Padahal pakaian ala manapun, kalau sudah diterima secara lokal itu sudah menjadi pakaian lokal juga.

Celana, jas, dasi dan banyak lainnya saat ini tak lagi menjadi pakaian kaum tertentu tetapi sudah jadi pakaian global. Demikian juga dengan hijab dan segala pernak-perniknya juga sudah menjadi pakaian global. Apa bedanya? Kalau bicara ilmu sosial, sama sekali tak ada bedanya. Makanya tak perlu heran ketika muncul video mesum dengan aktor berjilbab. Yang namanya pakaian umum ya begitu resikonya, dipakai orang shalih dan juga orang bejat.

Karena itulah, maka aneh bila ada yang nyinyir terhadap hijab dengan alasan yang berhijab belum tentu baik. Memangnya kalau tak berhijab pasti baik? Kalau sama-sama tak bisa dijadikan tolok ukur, kenapa mempermasalahkan model pakaian? Betul-betul nalar aneh bin ajaib dari orang-orang yang merasa terdidik. Bukunya Sir Bikhu Parekh yang berjudul "Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory" layak dibaca supaya paham bagaimana interaksi antar kultur selayaknya disikapi.

Yang menjadi titik pangkal perbedaan sudut pandang soal hijab dan pakaian terbuka bukanlah soal adat istiadat, tapi soal mental. Mental minder dan merasa inferior terhadap budaya pakaian terbuka. Dianggapnya pakaian terbuka yang dipopulerkan oleh negeri-negeri kolonial adalah pakaian ideal umat manusia. Ini mental jadul dari masa lalu, mental kadaluarsa yang sayangnya masih dipelihara sebagian orang yang tak terbuka. Akan menarik kalau alergi hijab ini dikaji dengan nalar post-colonialism, tapi akan terlalu panjang untuk sebuah tulisan ringan.

Sama sekali tak ada dasar pemikiran yang brilian untuk memuja kemben atau kebaya di atas kemeja, kaos atau hijab sekali pun. Semua pakaian adalah sama. Mana yang diterima luas, itulah yang menjadi adat istiadat atau budaya setempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun