Mohon tunggu...
Rohmatullah Adny Asymuni
Rohmatullah Adny Asymuni Mohon Tunggu... Guru - Dakwah dengan hikmah

Rohmatullah Adny Asymuni, Alumni Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, STEI Tazkia, Bogor dan Aktivis HMI dan Sekum HMI Komisariat Tazkia Cabang Bogor. Penulis bisa kunjungi di rohmatullahadny.blogspot.com atau di twitter @er_adny

Selanjutnya

Tutup

Beauty

Trend hijab sebagai Budaya

6 Juli 2019   09:56 Diperbarui: 6 Juli 2019   10:08 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini adalah kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang pasti saling berinteraksi. Rok bawah lutut, sepatu, celana, apalagi rok mini dan bikini, itu adat mana? Semua tahu jawabannya tapi kalangan modernis naif ini tak pernah mengkritiknya sekecap kata pun.

Ketika adat luar yang memperlihatkan kulit wanita sebanyak-banyaknya masuk ke Indonesia dan menguasai media, nalar kritis mereka seperti tumpul. Kalau pun ada yang bersuara, itu lirih saja. Namun ketika ada adat luar yang menutup kulit wanita sebanyak-banyaknya dari pandangan umum, mereka tetiba kritis membela adat lokal. Padahal pakaian ala manapun, kalau sudah diterima secara lokal itu sudah menjadi pakaian lokal juga.

Celana, jas, dasi dan banyak lainnya saat ini tak lagi menjadi pakaian kaum tertentu tetapi sudah jadi pakaian global. Demikian juga dengan hijab dan segala pernak-perniknya juga sudah menjadi pakaian global. Apa bedanya? Kalau bicara ilmu sosial, sama sekali tak ada bedanya. Makanya tak perlu heran ketika muncul video mesum dengan aktor berjilbab. Yang namanya pakaian umum ya begitu resikonya, dipakai orang shalih dan juga orang bejat.

Karena itulah, maka aneh bila ada yang nyinyir terhadap hijab dengan alasan yang berhijab belum tentu baik. Memangnya kalau tak berhijab pasti baik? Kalau sama-sama tak bisa dijadikan tolok ukur, kenapa mempermasalahkan model pakaian? Betul-betul nalar aneh bin ajaib dari orang-orang yang merasa terdidik. Bukunya Sir Bikhu Parekh yang berjudul "Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory" layak dibaca supaya paham bagaimana interaksi antar kultur selayaknya disikapi.

Yang menjadi titik pangkal perbedaan sudut pandang soal hijab dan pakaian terbuka bukanlah soal adat istiadat, tapi soal mental. Mental minder dan merasa inferior terhadap budaya pakaian terbuka. Dianggapnya pakaian terbuka yang dipopulerkan oleh negeri-negeri kolonial adalah pakaian ideal umat manusia. Ini mental jadul dari masa lalu, mental kadaluarsa yang sayangnya masih dipelihara sebagian orang yang tak terbuka. Akan menarik kalau alergi hijab ini dikaji dengan nalar post-colonialism, tapi akan terlalu panjang untuk sebuah tulisan ringan.

Sama sekali tak ada dasar pemikiran yang brilian untuk memuja kemben atau kebaya di atas kemeja, kaos atau hijab sekali pun. Semua pakaian adalah sama. Mana yang diterima luas, itulah yang menjadi adat istiadat atau budaya setempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun