Mohon tunggu...
Rohit Mahatir  Manese
Rohit Mahatir Manese Mohon Tunggu... Nelayan - Di lahirkan untuk menjadi pembelajar.

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Kita" di Tengah Dentuman Covid-19

17 Mei 2020   02:14 Diperbarui: 17 Mei 2020   03:22 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Milzeru.com

Zizek  dalam bukunya Pandemic!: Covid-19 Shakes the World berkata: “Kita semua mungkin datang dari kapal yang berbeda, namun kita berada di kapal yang sama sekarang”.

Dalam ungkapan itu Zizek menggambarkan bagaimana  kita yang berada di negara-negara yang berbeda, benua yang berbeda namun mengalami keadaan yang sama yakni menghadapi pandemic Covid-19.

Sabtu 16 mei media-media besar melaporkan jumlah kasus Covid-19 4,6 juta orang di dunia. Indonesia-pun tak ketinggalan diwaktu yang sama telah bertambah 529 kasus diakumulasikan dengan kasus-kasus sebelumnya menempati angka 17,025 orang positif tertular Covid-19. 

Li Wenliang seorang dokter yang pertama kali menemukan virus Corona di China di bungkam dan disensor oleh pihak yang berwenang, dampak pembungkaman tersebut membuat ribuan nyawa di China melayang dihajar habis-habisan oleh Covid-19.

Kebebasan berbicara merupakan hak asasi manusia ketika dibungkam maka dia menyasar ke kehhidup manusia yang lain.

Setelah menyerang China Desember 2019 lalu, virus ini kemudian marebak ke seluruh dunia hingga WHO sebagai lembaga otoritas kesehatan dunia mengatakan bahwa virus ini telah menjadi pandemic.

Quo Vadis Indonesia?

Memang terlalu klise menanyakan hal itu, seakan menimbulkan kecurigaan bahwa Indonesia telah lengah .

Kebijakan-kebijakan yang dipilih belum tanggap untuk mencegah penularan bahkan semakin hari korban makin bertambah, kluster-kluster mulai bermunculan di mana-mana; sejak awal masyarakat mulai mengalami dilematis menerapkan physical distancing atau dapur tidak mengepul.

Seiring berjalan waktu dihitung hari ini sudah memasuki 3 bulan diserang covid 19 kejenuhan mulai terlihat di mana-mana orang-orang mulai meramaikan jalan; penutupan Mcd Sarina di Jakarta yang katanya penuh kenangan itu, dihadiri banyak orang padahal mereka berada di zona merah.

Kemudian pun apa yang terjadi di Manado, setelah tujuh hari tidak ada kasus positif dan masih bertengger di 45 kasus, orang-orang mulai keluar dan meramaikan jalan-jalan alhasil setelahnya per-hari ini 16 mei 2019 telah dilaporkan oleh media lokal korban positif berjumlah 114 orang telah positif tertulari covid 19. Manado menjadi transmisi lokal bagi provinsi Sulawesi Utara dan menjadi kota yang paling banyak kasus positif.

Kebijakan pembatasan sosial berksala besar (PSBB) sebagai langkah pemerintah Indonesia belum menemui titik alternatif sebagai kebijakan yang dipilih untuk mencegah arus penularan Covid 19. Pemerintah bahkan masih bingung menetapkan target kapan mulai landai jumlah korban ataupun tidak ada target untuk menghentikan semua ini.

Covid-19 terus menyerang bahkan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan satu persatu mulai berguguran, pemerintah alih-alih membangun optimisme dengan  mengizinkan warga berusia 45 tahun ke bawah untuk kembali beraktifitas di tengah pandemic justru menimbulkan kekecewaan di lapangan nampak beberapa tenaga medis mulai menuliskan “Indonesia terserah..! #sukasukakalian”.

Rasa kemanusiaan mulai tercerabut di akar rumput bahkan di kampung saya orang luar dianggap sebagai ancaman, beberapa waktu lalu pedagang yang datang dari luar daerah yang memiliki syarat resmi seperti Surat Jalan, Surat Keterangan Berbadan Sehat di suruh pulang kembali padahal mereka perlu berdagang untuk melanjutkan hidup.

Bukan hanya itu beberapa tenaga medis mendapatkan diskriminasi di tempat tinggalnya, Di Solo, Jawa Tengah tenaga medis diusir dari kos-kosan; penolakan penguburan mayat terjadi di Semarang, Jawa Tengah; orang dalam pemantauan (ODP) distigmatisasi.

Saya masih percaya bahwa bahasa sederhana ini masih akan terus berlaku “jauhi penyakit bukan benci terhadap orangnya”, tentulah bahasa ini butuh rasionalitas dan kerendahan hati untuk memahaminya. Setelah kita mengalami dentuman besar ini. Apakah yang terjadi pasca ini? Sementara WHO telah menyatakan bahwa Covid-19 tidak akan hilang, meski sudah ada vaksin.

Tulisan ini merupakan pandangan pirbadi penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun