Sudah sebulan lebih menjalani semi-liburan di kampung. Dari status ODP yang menjadi stigma, perlahan-lahan mulai hilang menjadi ‘orang kampung’ kembali.
Berakhir status itu membuat saya agak bebas berada di luar, meski ada beberapa teman yang cukup was-was berdekatan, bahkan ada yang sering bercanda dengan mengatakan “Awas jangan dekat-dekat, dia bawa virus”. Saya sudah memakluminya, orang belang selalu begitu, dalam keadaan apapun pasti selalu ada candaannya.
Ketika berada di luar rumah saya menjalaninya bukan sekedar wara-wari, tapi sambil mengamati keadaan kampung, berubah atau tidak. Saya tidak berani berkesimpulan, namun realitas menunjukan hal demikian pada sore harinya saya akan menemukan rombongan anak-anak dengan androidnya sambil memainkan Free-fire, Pub-g, Mobile Legend dll.
Kalau dulu rombongan anak-anak itu pasti sedang gali lubang untuk memainkan kelereng; menggaris tanah untuk memainkan cenge’, atau sedang jaga banteng untuk memainkan pak-pak sambunyi (petak umpet). Arus modernitas sangat kencang, tanpa filterisasi permainan yang dulu kita mainkan itu mulai tergerus.
Pada malam harinya-pun saya masih sama, berjalan dan memutari antar lorong untuk mengamati tiap sudut kampung.
Saban malam saya lakukan hal demikian dan pasti akan bertemu dengan beberapa orang tua yang selalu menjinjing galon 5 liter, Membawa ember ukuran sedang hingga ada yang membawa teko air minum ukuran besar.
Bukan sekedar berasumsi tanpa data, sayapun coba bertanya “mau kemana pak?”, bapak itu kemudian menjawab “ Mengambil air di sebelah hit, untuk keperluan air bersih di rumah” .
Saya tanya lagi, di rumah emangnya nggak ada saluran air? bapak pun kembali menjawab; “Di rumah ada saluran, tapi airnya nggak keluar, meski sudah ditarik pake mesin air selama berjam-jam”. Padahal malam harinya mereka harus beristirahat demi dan untuk istirahatkan badan karena sedari pagi hingga sore harus membanting tulang demi penghidupan
Ini bukan situasi biasa-biasa saja, Kok sumber makin jauh ? padahal Belang belum tandus, punya hulu besar yang menyimpan air di perantara gunung-gunung tinggi dan besar di belakangnya.
Sungai wawesen-pun tidak pernah kering biar panas berbulan-bulan kalau hujan lebat bahkan sungainya hampir meluap meski sudah ada tanggul tinggi samping kiri dan kanannya. Bahkan kapal-kapal ikan masih muda mendapatkan air bersih dibanding orang-orang tua tersebut.
Bagi saya ini bukan masalah ‘nature’ atau take a for granted. Ada masalah struktural yang melatar belakanginya. Masalah struktural ini adalah berkaitan dengan fungsi negara lewat aparatusnya ‘pemerintah’. Masalah air bersih adalah masalah yang sangat urgen , air merupakan kebutuhan primer dari masyarakat.
Saya meyakini bahwa masalah ini sudah berbulan-bulan dijalani masayarakat. Kehidupan yang dijalani masyarakat tersebut merupakan pengabaian dari pemerintah desa.
Padahal penyediaan air bersih untuk rakyat dijamin dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Lebih lanjut lagi, kebijakan tersebut dipertegas dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pemenuhan air bersih bagi masyarakat merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah dan pemrintah desa sebagai bagian terkecil dari pemerintah negara harus melaksanakan tugasnya.
Masalah-masalah yang mengakar di desa ini padahal bisa diminimalisir ketika desa melaksanakan Musyawarah Desa (Musdes), yang merupakan amanat dari permendes PDTT no 16 tahun 2019, Musdes dilakukan dengan melibatkan Pemerintah desa dan unsur masyarakat, gunanya ini untuk memecahkan masalah strategis seperti sumber daya desa yang sulit diakses.
Entah desa ini melaksanakan Musdes atau tidak pastinya pengabaian pemerintah terhadap masalah air telah membebani dan kemudian kontraproduktif dengan undang-undang.
Ketika Musdes benar-benar dilaksanakan bukan hanya formalitas, maka dengan hal demikian pemerintah desa mengambil kebijakan yang berdasar pada kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Kebijakan yang demikian membuat masyarakat hidup dengan keadaan yang semestinya membuat masyarakat dengan mudah menikmati miliknya yang berasal dari kandungan bumi sebagai tempat tinggalnya.
Pemerintah desa jangan hanya dekat dengan rakyat sewaktu ada kepentingan. Namun benar-benar menjadi babu untuk menjamin kehidupan masyarakatnya agar bisa mendapatkan kehidupan yang makmur dan adil.
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H