Orang dalam pemantauan (ODP) disematkan kepada saya, semenjak minggu yang lalu tiba di kampung halaman. Implikasi Covid 19 atau Virus Corona ini sangat dirasakan dalam kehidupan keluarga seperti ada keretakan relasi sosial.
Saya belum bisa melakukan tabiat saya ketika berada di rumah semisal belum bisa bergabung untuk makan malam bersama, nonton tv bersama bahkan bercengkerama dengan keluarga di kampung.Â
Hal demikian tidak lakukan karena ODP yang datang dari zona merah bisa saja mempunyai potensi sebagai pembawa virus (Carrier). Maka saya memilih untuk melakukan isolasi mandiri  di kamar selama 14 hari.
Status ODP ini tidak membuat saya cemas dalam mengikuti perkembangan Covid 19. Berbeda dengan beberapa teman yang mengalami kecemasan untuk mengikuti info-info yang ada di media sosial.
Mereka menyarankan kepada saya untuk berhenti mengikuti info di media sosial. Saya memakluminya; bahwa menghadapi covid 19 ini banyak sekali info yang membuat ODP menjadi pesimis untuk menjalani kehidupan yang terisolasi.
Covid 19 pada  awalnya mewabah di Wuhan, China; kemudian diumumkan oleh WHO sebagai pandemic global. Hingga sekarang  Covid 19 telah membunuh sejumlah 47.000 orang lebih; di dalamnya termasuk Indonesia, negara yang sejak awal memandang wabah ini dengan enteng.Â
Ini bisa direfleksikan ketika pemerintah Indonesia malah mempromosikan pariwisata Indonesia di tingkat global hingga turunnya harga tiket pesawat ketika covid 19 ini menyerang Wuhan, China. Bukan hanya enteng pemerintah gagal  memanfaatkan peluang kebijakan sebelum  covid 19 ini menyebar luas di Indonesia.
Pemerintah Indonesia lengah menghadapi covid 19 yang telah menjadi pandemic; miskin visi kebijakan dan strategi kebijakan dalam merespons krisis. Sejak awal ketika 2 orang di Depok dinyatakan positif tertular covid 19.
Otoritas kesehatan di Indonesia lewat menterinya sangat ngawur mengeluarkan pernyataan. Terawan sebagai menteri kesehatan menyerukan tidak perlu ada karantina besar-besaran di kota depok dan sekitarnya (Tirto.id, 11 maret 2020).
Alih-alih membuat masyarakat tidak panik malah membuat tidak terjaminnya kesehatan masyarakat. Kemudian kementerian kesehatan menunjukan ketidaksiapannya dalam mencegah penularan virus.
Mereka belum mengamankan persediaan masker dan handsinitizer ini disampaikan saat mengumumkan dua pasien telah positif covid 19. Tak ayal bahwa membuat sulitnya masyarakat untuk mendapatkan masker dan handsinitizer, sudah sulit lalu harganya naik melambung tinggi. Â
Tumpang tindih kebijakan terjadi diranah birokrasi pusat dan daerah. Di saat beberapa daerah melakukan lockdown dan himbauan dilarang mudik bagi perantau yang berada didaerah terdampak untuk pulang ke kampung.
Presiden lewat juru bicaranya, menerbitkan dalam siaran pers bahwa, " mudik boleh, tetapi berstatus sebagai  orang dalam pemantauan" (Harian Kompas Sabtu 4 April 2020). Secara tidak langsung himbauan dari pejabat pusat ini tumpang tindih dengan kebijakan yang telah diterapkan di daerah-daerah.Â
Tidak ada harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah. Meskipun dibantah oleh Pratikno sebagai menteri sekretaris negara bahwa pernyataan Fadjroel Rachman itu tidak tepat. Yang benar bahwa: "Pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik" karena sesuai dengan putusan pembatasan sosial bersakala besar (PSBB) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia nomor 21 tahun 2020.
Tindakan para birokrat di pusat ini malah memimbulkan masalah yang baru yakni miskomunikasi dalam mengeluarkan himbauan.
Sisi yang lain
Kemudian seiring untuk memanfaatkan situasi darurat ini. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) malah melaksanakan sidang untuk membahas RUU Omnibus Law cilaka. Membahas RUU kontroversial di tengah pandemic malah membuat keadaan semakin rumit dan riskan.
Di tengah perjuangan para pakar kesehatan dalam melawan virus dan masyarakat yang melakukan Social distancing untuk memutuskan penularan, DPR-RI malah mengadakan sidang paripurna dengan keterlibatan banyak orang se akan mereka bebal atas virus.
Entah muslihat apa yang direncanakan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat di atas sana, saya sedari awal sudah tidak menaruh harapan kepada mereka.
Di saat masyarakat menengah ke bawah mengalamai dilematis dalam menghadapi pandemic antara melakukan social distancing menghindari dan memutuskan mata rantai penularan atau keluar untuk mencari nafkah agar bisa makan. Para wakil rakyatnya malah sibuk untuk membahas kebijakan yang belum perlu dalam sutuasi sepert ini.
Hal demikian menunjukan bahwa DPR-RI lebih memprioritaskan kepentingan mereka semata dari pada keselamatan rakyat. selain itu adanya rendah pembelajaran kebijakan ditingkatan DPR.
Seharusnya yang masuk dalam agenda kebijakan harus evidence based policy sesuai dengan realitas saat ini bukan berlandaskan preferensi pribadi atau partai.
Kurangnya harmonisasi dan tumpang tindih kebijakan hanya akan menimbulkan masalah yang baru dan memperkeruh keadaan. Padahal kebijakan alternatif dibutuhkan untuk memimalisir krisis ini.
Kita memang menghadapi dilema-dilema dalam memutuskan kebijakan, namun ketika adanya harmonisasi, kolaborasi dan koordinasi dalam menyusun agenda kebijakan maka akan melahirkan kebijakan yang tepat guna dan antisipatif.
Daftar Pustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H