Tumpang tindih kebijakan terjadi diranah birokrasi pusat dan daerah. Di saat beberapa daerah melakukan lockdown dan himbauan dilarang mudik bagi perantau yang berada didaerah terdampak untuk pulang ke kampung.
Presiden lewat juru bicaranya, menerbitkan dalam siaran pers bahwa, " mudik boleh, tetapi berstatus sebagai  orang dalam pemantauan" (Harian Kompas Sabtu 4 April 2020). Secara tidak langsung himbauan dari pejabat pusat ini tumpang tindih dengan kebijakan yang telah diterapkan di daerah-daerah.Â
Tidak ada harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah. Meskipun dibantah oleh Pratikno sebagai menteri sekretaris negara bahwa pernyataan Fadjroel Rachman itu tidak tepat. Yang benar bahwa: "Pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik" karena sesuai dengan putusan pembatasan sosial bersakala besar (PSBB) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia nomor 21 tahun 2020.
Tindakan para birokrat di pusat ini malah memimbulkan masalah yang baru yakni miskomunikasi dalam mengeluarkan himbauan.
Sisi yang lain
Kemudian seiring untuk memanfaatkan situasi darurat ini. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) malah melaksanakan sidang untuk membahas RUU Omnibus Law cilaka. Membahas RUU kontroversial di tengah pandemic malah membuat keadaan semakin rumit dan riskan.
Di tengah perjuangan para pakar kesehatan dalam melawan virus dan masyarakat yang melakukan Social distancing untuk memutuskan penularan, DPR-RI malah mengadakan sidang paripurna dengan keterlibatan banyak orang se akan mereka bebal atas virus.
Entah muslihat apa yang direncanakan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat di atas sana, saya sedari awal sudah tidak menaruh harapan kepada mereka.
Di saat masyarakat menengah ke bawah mengalamai dilematis dalam menghadapi pandemic antara melakukan social distancing menghindari dan memutuskan mata rantai penularan atau keluar untuk mencari nafkah agar bisa makan. Para wakil rakyatnya malah sibuk untuk membahas kebijakan yang belum perlu dalam sutuasi sepert ini.
Hal demikian menunjukan bahwa DPR-RI lebih memprioritaskan kepentingan mereka semata dari pada keselamatan rakyat. selain itu adanya rendah pembelajaran kebijakan ditingkatan DPR.
Seharusnya yang masuk dalam agenda kebijakan harus evidence based policy sesuai dengan realitas saat ini bukan berlandaskan preferensi pribadi atau partai.