Bahkan seorang hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang merupakan tumpuan terakhir pencarian keadilan, ternyata bisa disuap, apalagi hanya meloloskan ijazah. Tentu di bangsa yang sakit, itu adalah praktik yang mudah dan lumrah. Demikian logika skeptis yang terbangun karena perilaku koruptif yang berderet oleh pelakon negara.
Namun harus diingat, dengan sudut pandang skeptis yang sama, rasanya pantas dan adil bila mempertanyakan apakah gerakan yang meminta Muhammad Nasir agar memberhentikan Paula telah dibangun atas dasar mentalitas dan karakter yang tidak sakit? Saya ragu!
Mereka yang meminta menteri mencopot Runtuwene demi revolusi mental, bisa jadi merekalah yang justru perlu direvolusi mentalnya. Apakah semua yang tergabung dalamnya, adalah para akademisi yang karya-karyanya originil? Apakah gelar yang diperoleh juga telah melalui sebuah proses yang benar? Atau justru juga merupakan bagian dari pelaku plagiasi? Tentu saja, dalam bangsa yang sakit, hal-hal improsedural seperti itu berpeluang dilakukan siapa saja.
Yang tak kalah penting adalah soal integritas. Meminta menteri memberhentikan Paula dengan alasan menegakkan kebenaran di kampus tidak salah. Namun di satu sisi, bungkam terhadap berbagai persoalan di kampus seperti praktek pungutan liar (pungli), membuat kemurnian hati dan totalitas menyucikan Unima perlu dievaluasi lagi.
Karena mereka yang lantang bersuara ijasah ilegal, bisa jadi adalah pelaku dan penyubur pungli di kampus. Jika masih menjadikan 'amplop' mahasiswa sebagai ladang pencarian padahal jelas-jelas sudah dilarang, artinya gerakan 'penggulingan' ini sama saja sedang bersandiwara. Jika demikian, maka omong kosonglah koar-koar kebenaran itu.
Gerakan suci yang ditunjukkan tak menutup kemungkinan hanyalah dalih dari mentalitas oportunis yang memang telah mewabah dalam mentalitas banyak anak bangsa. Bisa jadi perjuangan itu dilandasi motivasi akumulasi modal, pengincaran jabatan, proyek, atau sudah disponsori oleh pengusaha bahkan penguasa di belakangnya.
Pantas dipertanyakan karena persoalan di kampus Unima begitu banyak, dan mengapa hanya fokus pada posisi rektor? Bagaimana dengan skandal akademik Unima, pungli, nasib mahasiswa geothermal farmasi, monopoli beasiswa, nepotisme bidikmisi, plagiasi, kenaikan UKT, dugaan korupsi, proposal fiktif? Isu-isu yang selama ini tidak ditangani dengan transparan oleh pimpinan Unima. Mengapa terhadap isu-isu ini hanya bungkam? Menandakan gerakan ini juga telah terjangkit penyakit mentalitas haus kekuasaan.
Air keruh di Unima akan tambah keruh apabila kepentingan politik masuk tanpa hati dan tata krama di dalamnya. Politik untuk pendidikan adalah perlu, bukan pendidikan untuk politik. Sejatinya pelaku politik di bangsa dan daerah ini memahami batasannya ketika melibatkan diri dalam kampus yang seharusnya menjadi benteng moral dan karakter bangsa.
Partai berkuasa PDIP saya kira tidak akan sembarang terlibat dalam kasus ini dan pasti menghargai kewibawaan Menrisetdikti Mohammad Nasir untuk menentukan keputusannya. Kehormatan ORI juga tidak akan pudar walau rekomendasinya kelak ditolak.
Media cetak sekaliber Kompas sejatinya pula, perlu memberi ruang konfirmasi bagi pihak yang selama ini dituding (karena selama ini diberitakan sepihak). Agar pemberitaan cover both side. Saya kira Bapak Kompas Jacob Oetama selalu menekankan verifikasi berita dan mengedepankan jurnalisme kebaikan. Tidak hanya terhadap isu nasional, namun total hingga isu daerah.
Bagaimanapun, reputasi Kompas tetap terbaik di mata saya. Kalaupun ada satu dua produknya yang agak miring, itu hanya ulah oknum saja.