Konsep Trias Politika diperkenalkan oleh filsuf Prancis, Montesquieu, dalam karyanya yang terkenal, De l'esprit des lois (1748). Montesquieu mengemukakan bahwa untuk mencapai pemerintahan yang adil dan efektif, kekuasaan negara harus dibagi menjadi tiga cabang yang terpisah: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Pembagian kekuasaan ini bertujuan untuk menciptakan sistem checks and balances, di mana setiap cabang memiliki kekuatan dan tanggung jawabnya sendiri, sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain. Dengan demikian, Trias Politika berfungsi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang.
Trias Politika adalah konsep yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang utama yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep ini bertujuan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang dapat mengarah pada penyalahgunaan wewenang. Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab untuk melaksanakan undang-undang dan mengelola administrasi negara, biasanya diwakili oleh presiden dan kabinet. Kekuasaan legislatif memiliki tugas utama untuk merancang dan mengesahkan undang-undang, diwakili oleh lembaga seperti DPR dan MPR. kekuasaan yudikatif berfungsi untuk menegakkan hukum dan keadilan, yang diwakili oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya.
Dalam UUD NRI 1945, prinsip pemisahan kekuasaan tercermin dalam pengaturan masing- masing cabang kekuasaan. Sebelum amandemen, UUD NRI 1945 mengatur pembagian kekuasaan secara eksplisit dengan mencantumkan lembaga-lembaga seperti MPR, DPR, DPA, MA, dan BPK.
Setelah amandemen, struktur ini mengalami perubahan dengan penambahan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai bagian dari legislatif, serta penegasan peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam yudikatif. Amandemen ini memperkuat posisi masing-masing lembaga dan menegaskan pentingnya checks and balances di antara mereka. Secara keseluruhan, penerapan Trias Politika dalam UUD NRI 1945 menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjaga demokrasi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan melalui pembagian tanggung jawab yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
1.Implementasi Kekuasaan Eksekutif dalam Sistem Pemerintahan Indonesia
Dalam sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD NRI 1945, Presiden memiliki kedudukan yang unik sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (single executive). Hal ini tercermin dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar". Kedudukan ganda ini memberikan Presiden kekuasaan yang signifikan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sebagai kepala negara, Presiden memiliki kekuasaan yang bersifat simbolis dan seremonial, namun juga mencakup kewenangan penting seperti:
a.Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10 UUD 1945).
b.Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat 1).
c.Mengangkat duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13).
d.Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya (Pasal 15).