Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Billa Tyamaro di Kodi, Seorang Gadis Cantik yang Kawin dengan Siluman Buaya

5 Juli 2019   00:07 Diperbarui: 5 Juli 2019   00:25 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Pada jaman dahulu kala (Yi Nowo Notu), di Pakare, nama sebuah Parona (kampung adat atau desa adat) di wilayah suku Kodi, ada seorang gadis cantik yang sudah dewasa namun belum juga mendapatkan jodoh seorang suami. Sementara teman-teman gadis yang sebaya dengannya sudah bersuami dan memiliki keturunan.

Nama gadis itu adalah Billa Paha. Ia adalah putri keluarga bangsawan (Rato) yang berpengaruh di Parona Pakare.

Sebenarnya sudah cukup banyak laki-laki yang datang melamar Billa Paha. Namun tidak ada seorangpun yang dapat menggaet dan meluluhkan hatinya.

Orangtuanya sangat cemas. Mereka mengkhawatir anak gadis mereka akan menjadi perawan tua. Oleh karena itu, orangtuanya berencana untuk menyelenggarakan pesta adat yang disebut Woleka. Ujud pesta ini tidak lain, yaitu untuk menghadirkan banyak orang, termasuk para laki-laki dewasa, dengan harapan Billa Paha dapat menemukan seorang laki-laki yang disukainya sebagai calon suaminya.

"Mindaha, ada rencana ayahmu untuk menyelenggarakan pesta Woleka. Tujuan kami supaya kamu cepat dapat jodoh. Apakah kamu setuju?" tutur ibunya lembut kepada Billa Paha saat mereka sedang memamah sirih pinang di bale-bale selepas makan malam. Mindaha artinya gadis cantik.

Billa Paha tidak segera merespon apa yang disampaikan ibunya. Ia memilih diam sejenak. Pikiran dan hatinya bergejolak kencang dan merasa ambigu, antara menerima dan menolak. Menerima berarti sama dengan sayembara untuk memperebutkan dirinya oleh banyak laki-laki. Sungguh sangat memalukan baginya. Tapi kalau menolak berarti sama dengan menyakiti hati kedua orang tuanya. Akhirnya, ia pasrah saja.

"Jika menurut ayah dan ibu, pesta Woleka adalah cara yang baik dan tidak melanggar tata norma adat untuk saya mendapatkan jodoh, ya saya setuju saja," kata Billa Paha kepada ibunya.

"Nanti kalau pesta Woleka sudah dimulai, maka tidak ada orang lain yang menari di Notor. Hanya kamu sendiri Mindaha. Jadi kamu harus mempersiapkan diri baik-baik," kata ibunya. Notor adalah sebutan untuk pelataran di tengah parona.

"Iya baik ibu. Saya akan ikuti setiap petunjuk ibu," balas Billla Paha seperlunya saja.

Seiring dengan malam yang terus melaju, ibu dan anak itu kemudian beranjak menuju pembaringan. Karena sedang gelisah, maka Billa Paha memilih tidur bersama ibunya malam itu.

***** *****

dokpri
dokpri
Jawaban Billa Paha kepada ibunya malam itu dianggap merupakan persetujuannya, maka orang tuanya mulai menggelar pesta Woleka. Setelah pesta berlangsung berhari-hari namun belum ada juga tanda-tanda Billa Paha telah tertarik pada salah seorang laki-laki yang datang menonton.

Setiap pagi, sesuai kebiasaannya, Billa Paha pergi ke sungai untuk mencuci, mandi dan ambil air. Suatu pagi, ketika ia sedang mencuci datanglah seorang laki-laki ganteng. Laki-laki dewasa itu berpenampilan sangat menarik dalam busana dan perlengkapan adat lengkap, mengikat kepalanya seperti mahkota dan di pinggangnya terselip parang dengan ulu (pegangan) yang terbuat dari gading.

Laki-laki berwibawa itu menyapa dan kemudian menanyakan kepadanya seperti sedang menyelidik. "Tamo Inya, kalau boleh saya tahu, dari mana asal bunyi tambur dan gong yang saya dengar dalam beberapa malam ini," tutur laki-laki itu. Tamo Inya adalah sapaan santun atau halus untuk perempuan yang belum bersuami.

Karena laki-laki itu bertanya dengan santun, maka Billa Paha merasa perlu untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu. "Dari Parona Pakare," balas Billa Paha.

"Ada pesta apa?" lanjut laki-laki itu.

"Woleka," jawab Billa Paha.

"Dalam rangka apa?" tanya laki-laki itu ingin tahu tujuan pesta Woleka tersebut.

Tanpa ragu sedikitpun Billa Paha mengisahkannya secara polos apa adanya. Laki-laki itu pun maklum dan tidak mau bertanya lagi. Ia khawatir Billa Paha akan tersinggung. Laki-laki itu pamit lebih dulu, setelah mereka berkenalan.

Keesokan paginya, saat Billa Paha sudah berada di sungai, Palari, nama laki-laki itu, datang lagi. Dari satu pagi ke pagi berikutnya, selalu begitu. Mau tidak mau mereka jadi akrab.

Sampai akhirnya pada suatu pagi, Palari menyatakan cinta dan melamar Billa Paha. "Sejak pertama kali kita bertemu di sungai ini, saya sudah jatuh cintamu padamu. Seandainya belum ada laki-laki yang kamu cintai sampai saat ini, saya ingin melamarmu menjadi calon isteriku," kata Palari berterus terang penuh percaya diri.

Billa Paha, yang sejak awal berjumpa dengan laki-laki itu telah terpikat dan jatuh cinta, menerimanya dengan senang hati. "Kalau begitu datang sudah di arena pesta. Supaya saya perkenalkan kepada orang tua saya. Supaya segera dipersiapkan proses lamaran adat dan pembelisan," kata Billa Paha dengan nada mengajak.

"Apa yang kamu katakan itu sudah sesuai dengan norma adat. Tapi menjadi masalah bagi saya. Karena saya berasal dari daerah yang jauh. Adatnya juga berbeda," kata Palari.

"Tidak apa-apa, orang tua saya tidak akan keberatan," balas Billa Paha.

"Masalahnya bukan hanya itu saja. Sebagai orang asing di wilayah ini, saya tidak berani untuk hadir di tempat pesta yang banyak orangnya. Di sana pasti banyak laki-laki yang menyukai kamu. Begitu melihat saya, mereka pasti akan cemburu dan mencari gara-gara dengan saya. Suasana pesta akan kacau balau," kilah Palari.

Kemudian Palari dan Billa Paha berunding dan sepakat untuk segera menyudahi pesta Woleka di Parona Pakare. Sesuai dengan waktu yang telah disepakati, yang merupakan hari terakhir dan puncak pesta Woleka, datanglah Palari namun tidak masuk di dalam parona. Ia hanya menunggu di pintu depan pagar batu yang disebut atur yang mengelilingi kompleks parona.

Billa Paha yang sudah lelah menari di notor, mulai istirahat. Ia naik ke bale-bale rumah untuk minum air. Ia menuju Likit, sebuah ruangan di sisi belakang rumah, tempat pandalu (tempayan) air. Ketika Billa Paha menunduk menghadapi mulut tempayan untuk menimba air itulah, ia serta merta terserap oleh kekuatan magis dari dalam tempayan itu dan langsung menghilang.

Kemudian Billa Paha berjumpa dengan Palari yang sedang menunggunya.  Billa Paha tidak keberatan sedikitpun saat Palari mengajaknya pergi. Seperti mimpi saja, mereka sudah tiba di sebuah parona yang layaknya istana. Parona ini berada di dalam air, yang dihuni oleh makhluk hidup berupa ganda. Di tempat inilah Billa Paha menyadari bahwa suaminya bukanlah manusia biasa, tapi seorang Pangeran Siluman Buaya.

Pesta Woleka di Parona Pakare berakhir dengan duka lara. Tanpa penutupan dengan prosesi kurban adat. Orang Tua Billa Paha sangat malu. Mereka berkambung dan terus meratap setelah misteri raibnya putri mereka.

***** *****

dokpri
dokpri
Billa Paha sudah pasrah pada nasibnya karena bersuamikan seorang siluman buaya di dalam istana muara. Ia merasa itulah jalan hidupnya.

Sekitar dua musim tanam telah berlalu, rasa rindu Billa Paha terhadap orang tua dan keluarga serta parona-nya tidak tertahankan lagi. Ia menyatakan keinginannya kepada Woyo Palari (Buaya Palari), nama suaminya, untuk mengunjungi orang tuanya.

"Palari, jika kamu berkenan, saya ingin meminta restu darimu untuk menjenguk orang tua saya. Saya sudah sangat rindu dengan mereka. Saya juga sanga khawatir dengan keadaan kehidupan mereka sekarang," kata Billa Paha kepada Palari pada suatu malam.

"Sebetul saya juga ingin mengunjungi mereka untuk meminta maaf dan mengurus proses pembelisan. Tapi saya malu dengan kondisi kita yang berbeda dengan mereka. Apa kamu tidak merasa malu untuk ke sana, karena sekarang ini kamu sudah hidup dalam kondisi begini, antara manusia dan siluman buaya?" respon Palari.

"Sama sekali saya tidak malu. Sampai di sana saya akan menjelaskan secara jujur tentang kehidupan kita," kata Billa Paha.

"Jika memang begitu, saya merestui. Pergilah tapi jangan lama di sana," kata Palari.

Pagi-pagi sekali sebelum ayam turun dari peraduannya, Billa Paha berangkat sendirian mengunjungi orang tuanya. Saat fajar mulai tersenyum di ufuk timur, ia sudah tiba di Parona Pakare. Dengan tergopoh-gopoh, ia naik ke rumah orang tuanya melalui pintu belakang. Ia menghindari melalui pintu depan, karena merasa malu jika sempat dilihat oleh seluruh keluarganya di dalam Parona Pakare.

Saat itu, Billa Paha mendapati kedua orang tuanya sedang sekarat, karena sejak peristiwa kehilangannya mereka terus diliputi rasa sedih dan meratap. Kedatangan Billa Paha yang tidak terduga itu, membuat kedua orang tuanya merasa sangat gembira dan sekaligus haru. Meledaklah isak-tangis di rumah itu. Sehingga semua keluarga di dalam parona berkumpul dengan sendirinya pada sebuah rumah adat itu. Isak-tangis gembira, kangen, sedih dan haru bercampur aduk mewarnai perjumpaan mereka.

Setelah suasana kangen tercurahkan tanpa sisa, mulailah mereka berceritera dengan santai. "Kemana saja kamu selama ini nak? Kami pikir kamu sudah tidak ada lagi dan tidak akan bertemu kami lagi. Kamu tinggal di mana sekarang nak?" tanya ibunya dengan nada dan raut wajah yang masih sedih.

"Saya mohon maaf kepada bapak dan ibu serta semua keluarga di sini, karena waktu itu saya tidak sempat pamit. Saya tinggal tidak jauh dari parona ini. Saya sudah bersuami dan punya anak-anak. Kehidupan kami tidak sama dengan kehidupan bapak dan mama," jawab Billa Paha dengan tutur kata yang tidak cukup jelas lagi. Billa Paha kemudian menceriterakan secara jujur apa adanya tentang keadaan kehidupannya.   

Orangtua dan keluarganya sontak kaget ketika Billa Paha mengatakan suaminya yang bernama Palari adalah siluman buaya, keluarganya berupa buaya, anak-anaknya juga berupa buaya dan gurita, serta tempat tinggalnya berada di dalam air di muara Rate Nggaro.

Untuk menjaga perasaan Billa Paha supaya jangan tersinggung dan marah, maka orang tua dan keluarganya berusaha mengendalikan diri. Mereka tampak seolah-olah menerima dengan ikhlas keadaan kehidupan Billa Paha.  

"Nasib hidup manusia bukan kita yang mengaturnya. Kamu harus sabar dan ikhlas nak. Mungkin itulah jalan hidupmu," nasehat orang tua dan keluarganya saat itu.

Karena merasa bahwa orang tua dan keluarganya memaklumi kondisi hidupnya, maka Billa Paha, melanjutkan ceriteranya. "Suami dan keluarganya, juga menyampaikan permohonan maaf kepada bapak dan mama serta keluarga di sini bahwa mereka tidak bisa melangsungkan proses adat-istiadat perkawinan yang berlaku sah di parona ini dengan membayar belis (mahar) berupa hewan baik kerbau maupun kuda secara langsung. Namun demikian, mereka berjanji akan melunasi belis dalam cara dan bentuk yang lain," kata Billa Paha.

"Tidak ada belis juga tidak apa-apa nak. Yang penting kamu masih hidup. Ini sudah cukup membahagiakan kami," tutur ibunya.

"Mereka akan tetap membayar belis bu," kata Billa Paha.

"Belis seperti apa itu nak?" tanya ibunya.

Billa Paha menyampaikan pesan suaminya kepada orang tua dan keluarganya untuk datang menerima mahar berupa sebilah pedang dan sebatang tombak sakti di muara Rate Nggaro melalui suatu prosesi upacara adat. Pedang dan tombak itu menjadi benda pusaka di Umma Kawico (Rumah Gurita), nama rumah adat di Parona Pakare, dan masih lestari sampai sekarang ini. Nama rumah adat itu juga adalah nama yang diberikan oleh suami Billa Paha.

Suami Billa Paha juga menyampaikan pesan untuk memberikan mandat kepada orang tua Billa Paha dan turunan-turunannya untuk memegang kuasa atas muara Rate Nggaro. Bila ada orang yang menyeberangkan barang-barang atau benda-benda berharga dan berat, seperti batu kubur megalit melalui muara itu, harus meminta ijin dan memberi upeti berupa kuda atau kerbau. Jika mereka mengabaikannya maka barang atau benda mereka akan lenyap ditelan badai ombak di muara itu. Mandat ini memang terbukti ampuh sampai saat ini, sehingga turunan orang tua Billa Paha selalu memperoleh rejeki sebagai pawang di muara itu.

Di samping itu, suami Billa Paha juga berpesan kepada orang tua Billa Paha, yaitu jika ingin mendapatkan lauk-pauk dari mereka maka datanglah ke pantai Rate Nggaro dan mereka akan segera mengirimkannya. Sampai saat ini pesan itu masih laku, jika ada turunan orang tua Billa Paha yang meminta sesuai amanat adat, maka ikan sesuai kebutuhan akan segera terkapar di pantai tanpa harus dipancing.

Setelah menyampaikan pesan-pesan itu, Billa Paha pamit pulang. Orang tua dan keluarganya memintanya untuk datang lagi bersama suami dan anak-anaknya.

"Saya malu," tutur Billa Paha.

"Kenapa malu. Kami semua ikhlas menerimanya," kata orang tua dan keluarganya bersamaan.

"Kalau memang begitu saya akan ajak mereka datang ke sini. Tapi harus janji tidak boleh ada yang menertawakan kami. Jika janji ini dilanggar maka kami tidak akan pernah datang lagi," pinta Billa Paha.

Orang tua dan keluarganya mengaminkan. Billa Paha pun pamit. Setelah kepulangannya itu, keluarganya menyebut Billa Paha dengan nama Billa Tyamaro, yang berarti Billa yang sudah menjadi manusia siluman.

***** *****

dokpri
dokpri
Sesuai waktu yang ditentukan, setelah proses adat pembelisan, datanglah Billa Tyamaro bersama suami dan anak-anaknya ke Parona Pakare. Palari dan Billa Tyamaro datang layaknya manusia biasa. Anak-anak mereka muncul di rumah kakek-neneknya melalui tempayan yang berisi air.

Orang-orang di Parona Pakare menaati janji. Mereka tidak ada yang tertawa meskipun merasa gembira bersahabat dengan buaya dan gurita mungil di dalam rumah itu.

Sial tak dinyana, orang-orang di parona tetangga, yang tidak tahu menahu tentang kedatangan Billa Tyamaro bersama suami dan anak-anaknya, tertawa terbahak-bahak karena ada sesuatu yang lucu dalam pembicaraan mereka. Mendengar suara ketawa itu, membuat Billa Tyamaro tersinggung.

Orangtua dan saudara-saudarinya berusaha membujuk Billa Tyamaro, namun ia tetap pada keputusannya untuk segera pulang. Orangtua dan saudara-saudarinya, menyatakan rasa penyesalan yang mendalam dan permohonan maaf serta berusaha menghalang-halangi, namun Billa Tyamaro bersama suami dan anak-anaknya, tidak dapat terjangkau oleh tangan dan pandangan mata manusia biasa. Mereka menghilang seketika seperti hembusan angin darat siang itu.  Sejak saat itu, Billa Tyamaro tidak pernah datang lagi.

Tana Kombuka, Sumba Barat Daya, 4 Juli  2019

dokpri
dokpri
Catatan:
  1. Muara di Pantai Rate Nggaro, yang kini menjadi destinasi populer di Kabupaten Sumba Barat Daya, dipercaya sebagai tempat istana Siluman Buaya.
  2. Batu nisan megalit kecil di bibir Pantai Rate Nggaro, seperti tampak dalam foto terlampir, dipercaya sebagai kuburan siluman buaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun