***** *****
Setiap pagi, sesuai kebiasaannya, Billa Paha pergi ke sungai untuk mencuci, mandi dan ambil air. Suatu pagi, ketika ia sedang mencuci datanglah seorang laki-laki ganteng. Laki-laki dewasa itu berpenampilan sangat menarik dalam busana dan perlengkapan adat lengkap, mengikat kepalanya seperti mahkota dan di pinggangnya terselip parang dengan ulu (pegangan) yang terbuat dari gading.
Laki-laki berwibawa itu menyapa dan kemudian menanyakan kepadanya seperti sedang menyelidik. "Tamo Inya, kalau boleh saya tahu, dari mana asal bunyi tambur dan gong yang saya dengar dalam beberapa malam ini," tutur laki-laki itu. Tamo Inya adalah sapaan santun atau halus untuk perempuan yang belum bersuami.
Karena laki-laki itu bertanya dengan santun, maka Billa Paha merasa perlu untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu. "Dari Parona Pakare," balas Billa Paha.
"Ada pesta apa?" lanjut laki-laki itu.
"Woleka," jawab Billa Paha.
"Dalam rangka apa?" tanya laki-laki itu ingin tahu tujuan pesta Woleka tersebut.
Tanpa ragu sedikitpun Billa Paha mengisahkannya secara polos apa adanya. Laki-laki itu pun maklum dan tidak mau bertanya lagi. Ia khawatir Billa Paha akan tersinggung. Laki-laki itu pamit lebih dulu, setelah mereka berkenalan.
Keesokan paginya, saat Billa Paha sudah berada di sungai, Palari, nama laki-laki itu, datang lagi. Dari satu pagi ke pagi berikutnya, selalu begitu. Mau tidak mau mereka jadi akrab.
Sampai akhirnya pada suatu pagi, Palari menyatakan cinta dan melamar Billa Paha. "Sejak pertama kali kita bertemu di sungai ini, saya sudah jatuh cintamu padamu. Seandainya belum ada laki-laki yang kamu cintai sampai saat ini, saya ingin melamarmu menjadi calon isteriku," kata Palari berterus terang penuh percaya diri.