Sebulan lebih sudah Rangga Mone tinggal di wilayah timur bumi sandalwood. Sebuah nama keren untuk pulau mereka, sebagai simbol nostalgia atas sumber daya alamnya yang kaya dengan kayu cendana.
Di sana Rangga Mone melanjutkan  studinya pada sebuah SMA misi yang berada di jantung kota kabupaten. Pada zaman itu, sekolah ini terfavorit untuk satu pulau. Disiplin adalah salah satu ciri utamanya. Penampilannya juga terkeren. Bangunannya sudah permanen. Apalagi, konstruksinya tipikal khas negara Eropa -- Jerman dan terkenal dengan kaca-kaca warnanya yang indah.
Sementara tempat tinggal Rangga Mone di asrama putra milik misi di atas bukit. Asrama ini menampung para siswa SMA dan SMP, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu dari pedesaan. Bentuknya seperti Home Stay. Â Masing-masing-masing gedung berdiri sendiri dan cukup berjarak, mulai dari ruang belajar, perpustakaan, ruang tidur, ruang makan, ruang musik, dapur, gudang, bengkel, kamar mandi, kandang babi dan kambing, ruang tamu, ruang pastor sebagai Bapak Asrama, sampai Kapela. Konstruksinya juga ciri khas Eropa.
Gedung-gedung tersebut berdiri kokoh di antara aneka pepohonan yang cukup subur dan bertajuk besar, seperti trembesi, asam, cemara dan kesambi. Â Di sini juga ada pohon kesi, jenis lokal yang tahan kekeringan.
Jarak antara SMA dan asrama tersebut cukup jauh. Sekitar dua setengah kilometer. Setiap hari, pergi dan pulang dari asrama ke sekolah atau sebaliknya, ditempuh dengan jalan kaki. Hal ini butuh perjuangan tersendiri.
******
Hidup di bawah kondisi udara wilayah timur yang jauh lebih panas dibandingkan di wilayah barat, tempat kelahirannya, membuat Rangga Mone merasa belum cukup nyaman. Oleh karenanya, setiap siang, saat teman-temannya di asrama sedang tidur siang, ia lebih memilih santai di bawah rimbunan pohon kesambi di depan Kapela.
Di bawah pohon kesambi yang menyuguhkan oksigen segar inilah Rangga Mone selalu punya kesempatan untuk melesakkan pikirannya seperti anak panah yang terlepas dari busurnya menuju titik koordinat sasaran seorang gadis remaja bumi Nale bernama Tari Mbuku. Meskipun sempat merekam kabar bahwa Tari Mbuku sudah punya pacar seorang laki-laki tampan dan pacarnya itu adalah kakak kelasnya di SMA, tempatnya menuntut ilmu saat ini, namun Rangga Mone tidak menghiraukannya sama sekali. Â Di dalam hatinya yang paling dalam, Rangga Mone sangat yakin bahwa Tari Mbuku sesungguhnya mempunyai perasaan yang sama seperti yang dirasakannya. Mungkin ia masih malu atau belum waktunya saja ia mengakui, demikian pergumulan nurani Rangga Mone.
Suatu siang, di bawah kesambi itu, Rangga Mone teringat bahwa temannya akan pulang ke kampungnya untuk beberapa hari, Â maka ia segera masuk ruang belajar dan menulis surat untuk Tari Mbuku. Inilah Surat Cintanya yang kedua. Isinya, tahu sendirilah, paling-paling cuap-cuap soal kangen dan cintalah, tambah bumbu-bumbu narasi syair sastra yang sarat puja-puji.
"Saya mau titip surat angle," kata Rangga Mone kepada temannya yang akan pulang ke kampung esok pagi. Temannya ini masih sepupu jauh Rangga Mone, sehingga dipanggilnya angle (angu leba).
"Untuk Om dan tante ya!" tanya temannya.
"Bukan. Untuk Tari Mbuku," kata Rangga Mone.
"Belum kapok-kapok juga kamu angle. Sudah ditolak masih saja ngotot. Apa tidak adalagi gadis lain? Itu teman-teman kelasmu cantik-cantik juga. Kenapa tidak naksir saja. Tapi baiklah saya akan sampaikan," kata temannya.
*****
Seminggu kemudian, setelah magrib, Rangga Mone, masuk ruang belajar. Dari arah selatan, tampak sorotan lampu dan bunyi kendaraan roda empat meraung-raung,  sedang berusaha mendaki jalan berbatu yang rusak berat menuju  asrama. Perasaan Rangga Mone sangat senang sekaligus bercampur cemas. Dalam hatinya, ia sangat berharap semoga kendaraan itu yang mengantar Julens Rehi Bula bersama surat balasan dari Tari Mbuku.
Truk segera parkir di depan ruang Bapak Asrama. Harapan Rangga Mone tidak salah. Julens Rehi Bula segera turun menjinjing rangselnya dan menuju ruang tidur. Rangga Mone tidak segera mengikuti angle-nya. Ia tetap saja di meja belajarnya.
Dari ruang makan bunyi gong bertalu-talu. Isyarat waktunya makan malam. Rangga Mone dan teman-temannya merapat ke ruang makan. Sebelum makan berdoa. Setelah makan berdoa juga. Lalu cuci piring sendiri dan istirahat sekitar 15 menit sebelum masuk lagi ke ruang belajar. Setelah jam belajar masuk Kapela untuk berdoa sebelum tidur.
Saat hendak menuju ruang tidur, Julens Rehi Bula menyodorkan sebuah amplop. "Angle, ini surat balasan dari Tari Mbuku," kata Julens Rehi Bula berbisik.
"Terima kasih angle. Apa kamu ketemu sendiri?" tanya Rangga Mone.
"Tidak, saya titip di Emy Erte. Surat balasan ini juga melalui Emy Erte," balas Julens Rehi Bula.
Kemudian Rangga Mone kembali sebentar ke ruang belajar. Di sini, ia berusaha  untuk membaca surat balasan dari Tari Mbuku secara sembunyi-sembunyi dan sekilat mungkin. Isi surat balasan dari Tari Mbuku ini, masih serupa juga dengan surat balasannya yang pertama.
"Mohon maaf kak, saya memahami dan menghargai niat kakak. Tapi saya belum berpikir untuk pacaran. Tapi saya masih konsentrasi untuk belajar dulu. Lebih baik kita bersaudara, sebagai kakak dan adik saja," demikian inti sari isi surat balasan Tari Mbuku.
Rongga dada Rangga Mone terasa bergemuruh. Hatinya pun gelisah. Namun ia berusaha untuk tetap tenang. Supaya teman-temannya tidak mengetahui apa yang sedang dirasakannya di dalam hati.
*****
Angin laut musim kemarau malam itu terasa kering dan dingin menembus tulang. Teman-temannya sedang bergelut menahan dingin di balik selimut mereka. Sementara Rangga Mone justeru merasa gerah. Saat teman-temannya sudah terlelap sambil mendengkur, Rangga Mone masih saja membolak-balikkan badannya di atas tempat tidur dan matanya belum sempat terpejam, walau hanya semenit saja. Gelisah berat? Ya, gelisahlah. Namanya juga cinta yang belum bersambut  kabar indah!
Dini hari baru Rangga Mone bisa tertidur. Karena memang tidak mampu lagi untuk melawan rasa mengantuk. Tentu saja tanpa mimpi yang indah.
Ketika gong bertalu-talu dini hari, tanda waktu bangun pagi untuk doa pagi di Kapela, Rangga Mone berusaha keras untuk melawan rasa kantuknya. Ia berusaha mendamaikan pikiran dan hatinya untuk melaksanakan kewajibannya pagi itu sebagai anak asrama yang taat dengan aturan disiplin yang berlaku.
Dari Kapela, selepas doa pagi, mereka bergegas menuju kaki bukit di sisi utara, tempat bak mandi umum di bawah pohon-pohon asam dan lontar serta enau. Rangga Mone berusaha ceria seperti teman-temannya saat mandi.
"Bagaimana semalam, mimpi indah?" bisik Julens Rehi Bula bercanda.
"Ya, mimpi indahlah. Indah luar biasa. Angle mau tahu, Tari Mbuku datang dengan senyumnya yang indah," bisik balik Rangga Mone kepada Julens Rehi Bula.
"Berarti Tari Mbuku menerima lamaranmu?" tanya Julens Rehi Bula, semacam menyelidik.
"Belum sih, tapi tanda-tanda ke arah itu seperti tidak akan lama lagi. Buktinya ia berkenan membalas suratku dengan cepat. Percayalah angle, dia akan menjadi kekasih hatiku kelak," kata Rangga Mone penuh percaya diri.
Rangga Mone memang tipikal berkarakter pandai mengelola emosinya. Ia tidak mudah mengumbar rahasia pribadinya. Ia juga selalu berpikiran positif. Tidak mudah menghakimi dan membenci teman-temannya. Apalagi terhadap Tari Mbuku, tidak tersirat sedikit pun ia menyimpan rasa benci. ***
Tambolaka, 12 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H