Belum lagi kondisi hutan Roko Raka yang menjorok ke arah pedalaman, sisi selatan, dipastikan lebih parah lagi. Sepuluh tahun yang lalu saja, ketika saya mengunjungi Gua Rambe Manu, situs bersejarah, bekas benteng pertahanan Wona Kaka, seorang Pahlawan lokal rakyat Sumba, wilayah hutan di sana sudah bersih dan tinggal padang ilalang terbuka serta beberapa areal ladang masyarakat setempat.
Apa penyebab kerusakan hutan Roko Raka di atas? Suatu pertanyaan sangat mendasar dan mudah jawabannya.
Jawabannya, pasti orang-orang, ya oknum-oknumlah biar santun sedikit, yang Loba aliah serakah alias rakus. Mereka yang harap gampang dan instan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Mereka tidak mau berusaha keras, tapi mau langsung panen saja yang ada di depan mata. Tidak peduli lagi apa akibatnya.
Mereka masuk hutan dan merambah isinya. Membabat pohon-pohon yang bernilai ekonomi tinggi, kemudian menjualnya dan menerima uang. Ironisnya, mereka menjual kayu ilegal tapi ada yang membelinya. Berarti pembelinya orang loba juga. Karena ia akan membelinya dengan harga murah. Bila kayunya ilegal tapi ada surat ijin jualnya, berarti ada aparatur yang loba juga. Tentu ia turut serta dan mendapat sogok.
Siapakah mereka? Tentu orang-orang Sumba Barat Daya sendiri. Ada masyarakat biasa dan ada juga aparatur. Masa begitu sih? Lalu siapa lagi yang pantas dituduh. Saya sendiripun pantas dituduh, sebab bisa saja mendengar bunyi gergaji mesin dan kayu tumbang dalam hutan, namun takut menegur, memberi laporan kepada aparat yang berwenang dan malas tahu saja.
Siapapun kita, apalagi kalau sudah berpendidikan tinggi, pasti tahu mengenai dampak negatif kerusakan hutan terhadap lingkungan hidup, ekosistem  dan iklim. Oleh karena itu setiap kerusakan hutan negara, seperti hutan lindung Roko Raka ini, tidak bisa ditonton begitu saja. Tapi harus segera menghentikan faktor penyebabnya dan melakukan konservasi pemulihan kembali.
Memang bukan pekerjaan sederhana untuk melakukannya. Oleh karena itu perlu upaya terpadu dari semua pihak. Jika, masing-masing pihak mengambil bagian sesuai kewenangannya secara proaktif, maka tidak ada yang sulit.
Misalnya, masyarakat segera memberi laporan kepada petugas kehutanan jika ada perusakan atau perambahan hutan. Polisi hutan, polisi dan TNI secara terpadu bersama masyarakat siaga melakukan penggerebekan dan penangkapan terhadap pelaku-pelaku perusak atau perambah hutan, termasuk yang sudah membuka ladang di kawasan hutan negara, untuk kemudian dijebloskan ke dalam penjara.
Kemudian instansi kehutanan melakukan koordinasi terpadu juga bersama masyarakat, LSM, pemerintah, polisi dan TNI untuk konservasi ulang kawasan hutan yang rusak. Disamping itu, juga secara terpadu perlu menindaktegas penduduk yang membuka ladang di lahan kawasan hutan negara.