Â
Senyampang searah dengan tujuan perjalananku ke kampung halaman siang hari ini, 3 April, saya berhenti sebentar di hutan Roko Raka. Di sini dari pinggir jalan beraspal hot mix, dengan kamera seadanya, saya mengabadikan beberapa gambar pada sisi kiri (selatan) dan sisi kanan (utara) jalan.
Saat saya mengambil gambar, beberapa kendaraan roda empat dan dua sedang lewat. Saya yakin mereka memperhatikan saya. Sementara penduduk yang sedang panen di dalam kebun, yang saya arahkan kamera, berteriak-teriak. Walaupun teriakan mereka tidak terdengar jelas, namun sepertinya ditujukan kepada saya. Mungkin mereka terganggu karena kebun yang mereka olah dan klaim sebagai milik pribadi, sebetulnya adalah bagian dari wilayah hutan Roko Raka. Saya merasa kurang nyaman dan segera melanjutkan perjalanan.
![DOKUMENTASI PRIBADI](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/04/03/hrokor-ft-rdk2-5ca4ad1fa8bc1546ee09d6b6.jpg?t=o&v=770)
Wilayah hutan Roko Raka ini termasuk yang sangat luas dari kawasan hutan lindung Roko Raka. Terbentang di sepuluh desa, yaitu Kendu Wela, Mangganipi, Homba Pare, Waiholo, Billa Cenge, Kadu Eta, Wewela dan Manghu Linyo, Kecamatan Kodi Utara, serta Waikombak, Kecamatan Wewewa Barat dan Kalembu Kaha, Kecamatan Kota Tambolaka. Lokasi tempat saya mengambil gambar tadi adalah wilayah desa Kendu Wela.
Hutan Roko Raka ini adalah hutan yang dibangga-banggakan oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat, sebelum terjadi pemekaran wilayah, dan Kabupaten Sumba Barat Daya, sebagai daerah otonom baru. Karena terutama keanekaragaman hayati dan pohon-pohon di hutan ini didominasi oleh jenis Jati Lokal dan Mahoni. Dua jenis pohon ini berkembang pesat dan berjejer kokoh di sepanjang jalan raya, memberi efek kesejukan dan menjadi pemandangan yang indah  bagi siapapun yang melewati jalan raya jalur Waitabula Kodi.
Disamping itu, hutan Roko Raka juga menjadi kebanggaan masyarakat wilayah suku Kodi dan suku Wewewa, karena mengandung keanekaragaman hasil hutannya, baik kayu maupun non kayu, yang merupakan bahan material utama pembangunan rumah adat Sumba.
![DOKUMENTASI PRIBADI](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/04/03/hrokor-ftrdk3-5ca4ade93ba7f7445110f362.jpg?t=o&v=770)
Jika sekitar lima tahun yang lalu, sekurang-kurangnya saat melewati hutan Roko Raka di wilayah Desa Kendu Wela, kondisinya masih dipadati oleh pohon-pohon besar jati lokal dan mahoni yang tajuknya rimbun menaungi jalan raya, maka sekarang ini tidak didapati lagi. Tidak akan menikmati lagi panorama hijau dan kesejukan udaranya. Karena hanya tinggal beberapa pohon saja yang dapat dihitung dengan jari tangan.
Kondisi hutan Roko Raka kini betul-betul rusak parah. Benar-benar terancam punah. Sangat mengerikan dan bikin jatuh air mata bagi mereka yang mencintai lingkungan dan hutan.
Sebagaimana terekam dalam gambar yang saya abadikan, di sana yang bisa dilihat adalah berhektar-hektar kebun atau ladang padi, jagung dan ubi kayu milik masyarakat setempat, yang sudah merapat di bibir jalan raya. Di sana juga yang bisa disaksikan adalah sisa-sisa pohon jati dan mahoni yang masih berserakan, bekas potong menggunakan kapak dan gergaji mesin. Juga tampak jelas pohon-pohon jati dan mahoni sedang yang masih berdiri tegak tapi sudah mati.
Belum lagi kondisi hutan Roko Raka yang menjorok ke arah pedalaman, sisi selatan, dipastikan lebih parah lagi. Sepuluh tahun yang lalu saja, ketika saya mengunjungi Gua Rambe Manu, situs bersejarah, bekas benteng pertahanan Wona Kaka, seorang Pahlawan lokal rakyat Sumba, wilayah hutan di sana sudah bersih dan tinggal padang ilalang terbuka serta beberapa areal ladang masyarakat setempat.
![DOKUMENTASI PRIBADI](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/04/03/hrokor-ftrdk4-5ca4ae33cc528352b8584ab3.jpg?t=o&v=770)
Apa penyebab kerusakan hutan Roko Raka di atas? Suatu pertanyaan sangat mendasar dan mudah jawabannya.
Jawabannya, pasti orang-orang, ya oknum-oknumlah biar santun sedikit, yang Loba aliah serakah alias rakus. Mereka yang harap gampang dan instan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Mereka tidak mau berusaha keras, tapi mau langsung panen saja yang ada di depan mata. Tidak peduli lagi apa akibatnya.
Mereka masuk hutan dan merambah isinya. Membabat pohon-pohon yang bernilai ekonomi tinggi, kemudian menjualnya dan menerima uang. Ironisnya, mereka menjual kayu ilegal tapi ada yang membelinya. Berarti pembelinya orang loba juga. Karena ia akan membelinya dengan harga murah. Bila kayunya ilegal tapi ada surat ijin jualnya, berarti ada aparatur yang loba juga. Tentu ia turut serta dan mendapat sogok.
Siapakah mereka? Tentu orang-orang Sumba Barat Daya sendiri. Ada masyarakat biasa dan ada juga aparatur. Masa begitu sih? Lalu siapa lagi yang pantas dituduh. Saya sendiripun pantas dituduh, sebab bisa saja mendengar bunyi gergaji mesin dan kayu tumbang dalam hutan, namun takut menegur, memberi laporan kepada aparat yang berwenang dan malas tahu saja.
![DOKUMENTASI PRIBADI](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/04/03/hrokor-ftrdk5-5ca4aeb33ba7f7445110f365.jpg?t=o&v=770)
Siapapun kita, apalagi kalau sudah berpendidikan tinggi, pasti tahu mengenai dampak negatif kerusakan hutan terhadap lingkungan hidup, ekosistem  dan iklim. Oleh karena itu setiap kerusakan hutan negara, seperti hutan lindung Roko Raka ini, tidak bisa ditonton begitu saja. Tapi harus segera menghentikan faktor penyebabnya dan melakukan konservasi pemulihan kembali.
Memang bukan pekerjaan sederhana untuk melakukannya. Oleh karena itu perlu upaya terpadu dari semua pihak. Jika, masing-masing pihak mengambil bagian sesuai kewenangannya secara proaktif, maka tidak ada yang sulit.
Misalnya, masyarakat segera memberi laporan kepada petugas kehutanan jika ada perusakan atau perambahan hutan. Polisi hutan, polisi dan TNI secara terpadu bersama masyarakat siaga melakukan penggerebekan dan penangkapan terhadap pelaku-pelaku perusak atau perambah hutan, termasuk yang sudah membuka ladang di kawasan hutan negara, untuk kemudian dijebloskan ke dalam penjara.
Kemudian instansi kehutanan melakukan koordinasi terpadu juga bersama masyarakat, LSM, pemerintah, polisi dan TNI untuk konservasi ulang kawasan hutan yang rusak. Disamping itu, juga secara terpadu perlu menindaktegas penduduk yang membuka ladang di lahan kawasan hutan negara.
Dengan upaya terpadu tersebut, ruang gerak para perusak atau perambah kawasan hutan negara akan sempit. Sehingga keselamatan kawasan hutan negara, seperti Roko Raka, bisa terkendali dan mudah-mudahan dapat diselamatkan. Â
Â
Tambolaka, 3 April 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI