Keesokannya, pagi hari, ia mengajak saya ke Jakarta. Kami masih sempat mampir di kantornya. Siang kami sudah berada di Jakarta.
Ia mengajak saya untuk ke Mall dengan tujuan untuk belanja keperluan saya. Saya tahu betul, ia sudah punya cukup banyak rejeki dan hatinya ikhlas, namun saya menolaknya. Bukan karena gengsi atau malu, tapi karena saya belum memerlukannya. Saya hanya meminta kepadanya untuk mengantarkan saya mengunjungi Tugu Monas.
"Ke Monas saja," pintaku.
"Ngapain ke Monas? Dari dulu sampai sekarang 'kan sama saja. Wong desa tenan," tuturnya. Kami sama-sama tertawa, karena itu bahasa gaul kami waktu kuliah dulu.
Ia paham betul pembawaan saya, sehingga ia pun mengantar saya ke Monas. Kami berdua menghabiskan waktu sekitar tiga jam di Monas.
Harga Diri
Sesungguhnya Monas bagi saya, bukan tempat asing sama sekali. Sebagaimana halnya juga Masjid Agung Istiglal dan Gereja Katedral Jakarta. Artinya, saya sudah beberapa kali juga mengunjunginya, terhitung sejak tahun 1990, saat pertama kali saya menginjakkan kaki di ibukota Jakarta.
Monas yang dibangun Bung Karno itu, sudah menjadi icon Indonesia. Tapi bukan soal icon-nya bagi saya. Sejarah proses berdirinya, kandungan dan makna eksistensinya itu, yang membuat saya selalu tertarik untuk ke sana. Ke Jakarta, tanpa muncul ke Monas, bagi saya, ada yang terasa kurang.
Bagi saya, Monas adalah lambang harga diri bangsa dan negara. Dibangun oleh Bung Karno pada saat perekonomian negara belum hebat seperti sekarang ini. Kondisi perekonomian negara masih melarat tapi Bung Karno dapat mewujudkan monumen sehebat itu.
Arsitek dan konstruksinya hebat. Nilai historis sejarah perjuangan dan peradaban bangsa dan negara yang ada di museum dasarnya hebat. Lambang nyala api semangat perjuangan yang ditancapkan di puncak Monas juga hebat. Materialnya emas lagi.
Jika dibangun di saat perekonomian negara yang sudah bagus seperti sekarang ini, mungkin akan mangkrak. Karena diselimuti semangat perilaku korupsi.