Selama ini, saya berpikir, "cium hidung" hanya merupakan tradisi dan kebudayaan unik orang Sumba dan Sabu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, ternyata keliru. Terbukti salah satu suku di New Zealand atau Selandia Baru yang bernama Maori, juga mempunyai tradisi dan kebudayaan cium hidung.
Fakta tersebut kita saksikan bersama saat Presiden RI, Bapak Joko Widodo, berkunjung ke Selandia Baru, kemarin, Senin 19 Maret 2018. Setelah diterima oleh sekretaris resmi Gubernur Jenderal Selandia Baru, Gregory Baughen, Bapak Jokowi berkenalan dengan Kaumatua, Piri Sciascia. Kaumatua merupakan sebutan bagi tetua suku Maori, yang merupakan penduduk asli Selandia Baru. Saat itulah terjadi cium hidung antara Piri Sciascia dan Jokowi.
Tradisi cium hidung tersebut bukan baru pertama kali dialami oleh Jokowi. Ia sudah pernah mengalaminya saat menghadiri puncak acara Festival Sandalwood di Tambolaka, Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat Daya, 13 Juli 2017. Setelah disambut dengan bunyi tambur, bedug, gong, tarian dan pengalungan dengan kain tenun, Jokowi juga disambut dengan cium hidung.
Mengapa tradisi dan kebudayaan unik cium hidung itu sama antara orang suku Sumba dan Sabu serta Maori? Ada pendapat yang mengatakan, bahwa suku asli NTT, Papua, Maluku, Aborigin dan Maori di New Zealand, masih satu ras melanesian, sehingga tak perlu heran jika ada kemiripan tradisi dan budaya mereka. Benarkah? Entahlah! Biarlah ini menjadi tugas unik para ilmuwan sejarah dan antropologi untuk mengungkapkannya.
Udoko
Cium hidung, dalam bahasa ibu orang Sumba beraneka sebutannya sesuai dengan kemajemukan suku dan bahasanya masing-masing. Dalam bahasa ibu orang Kodi disebut "Udoko". Udokoyoberarti cium dia. Paudokongo berarti berciuman. Dalam bahasa Sabu disebut Hengeddo. Sementara dalam bahasa Maori dikenal dengan istilah Hongi.
Jika ditanyakan, sejak kapan orang Sumba melaksanakan tradisi cium hidung? Orang Sumba kebanyakan akan menjawab sejak nenek-moyang mereka. Terus terang, saya sendiri meragukannya, meskipun saya sudah melakukannya sejak kecil dan juga melihat orang tua saya ketika mereka menyambut sahabat-sahabat akrab mereka yang berkunjung ke rumah kami.
Sejak saat itulah orang Sabu secara bertahap mendatangi dan tinggal di Sumba. Kemudian, di samping menyebarkan ajaran agama Protestan, orang Sabu juga melakukan perkawinan dengan orang Sumba. Sehingga terjadilah asimilasi tradisi dan kebudayaan antara orang Sumba dan Sabu, termasuk dalam hal cium hidung.
Tidak sembarangan
Meskipun cium hidung sudah menjadi tradisi dan kebudayaan orang Sumba, cium hidung tidak dilakukan sembarangan saja. Bukan kapan saja dan di mana saja. Tidak diobral setiap saat dan di segala tempat serta situasi.
Tapi hanya dalam momentum-momentum tertentu saja. Misalnya, saat proses pelaksanaan tradisi perkawinan, pesta pernikahan, ulang tahun, hari raya besar keagamaan, pesta adat, kedukaan dan acara perdamaian. Di samping itu juga saat penerimaan tamu-tamu yang dianggap terhormat atau agung yang berasal dari wilayah Sumba sendiri.
Apa filosofinya
Cium hidung sesungguhnya mempunyai makna dan filosofi yang majemuk dan sangat dalam. Hidung adalah salah satu bagian dari anatomi tubuh manusia yang digunakan untuk bernapas. Hidung juga adalah salah satu alat indera manusia yaitu penciuman.
Dengan cium hidung berarti kita merapatkan wajah kita sedekat mungkin. Boleh juga testa kita bersentuhan. Tapi jangan sekali-kali menyentuhkan bibir kita.
Dengan kedekatan wajah seperti itu, maka menunjukan bukan saja kedekatan fisik tapi juga kedekatan dan pertukaran napas kehidupan. Hal ini melambangkan relasi kita yang sangat menyatu, akrab, bersahabat, bersaudara, bersolider dan saling mengasihi.
Benarkah demikian? Tidak perlu ragu, memang itulah filosofi dasarnya. Setidaknya ini menurut pemahaman saya sih! ***
Rofinus D Kaleka *)
Jakarta, 20 Maret 2018