Suatu pagi sebelum fajar menyingsing, secara diam-diam nenek Tenge meninggalkan kampung tersebut. Ketika nenek Tenge sudah berada di kaki bukit, mata hari sudah mulai memancarkan sinarnya. Saat itu terjadilah bunyi patahan bumi yang keras dan membuat gempa lokal.
Nenek Tenge kaget dan menoleh. Ia menyaksikan kampungnya sudah tenggelam. Dalam posisinya yang sedang menoleh itu, nenek Tenge pun berubah menjadi batu karang. Batu karang yang menyerupai seorang nenek yang menoleh ini dikenal sebagai Watu Kaweda sampai sekarang ini.
Itulah kisah legenda mengapa danau itu bernama Weewini atau Weetenge. Namun kini danau Weewini tersebut bukanlah legenda, apalagi mimpi. Juga bukanlah fatamorgana. Â Ia nyata dan sesuatu. Cantik, indah, menarik dan mempesona.Â
Sayangnya Weewini dibiarkan sepi sendiri di tengah Desa Kalaki Kambe. Kecantikannya hanya dinikmati warga desa setempat saja. Padahal posisinya sangat strategis. Lokasinya dataran rata. Manis sendiri di pinggir jalan raya. Dekat lagi dengan tambolaka, Ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya. Hanya sekitar 10 km.Â
Sampai kapan cantiknya bisa dinikmati lebih banyak orang lagi? Entahlah!***
Rofinus D Kaleka *)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H