Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen| Indah Kanuru di Pantai Indah Rate Nggaro

2 Maret 2018   19:11 Diperbarui: 2 Maret 2018   19:24 1571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah menyampaikan pesan-pesan itu, Billa Tyamaro pamit pulang. Namun orangtua dan keluarganya memintanya untuk datang lagi membawa anak-anaknya. Billa Tyamaro sebetulnya malu untuk mengajak anak-anaknya, namun karena orangtua dan keluarganya ikhlas dengan keadaannya, maka mau tidak mau mengiakan saja. Namun Billa Tyamaro berpesan supaya tidak boleh ada orang yang menertawakannya dan jika pesannya tidak diindahkan maka ia tidak akan datang lagi. 

Sesuai waktu yang ditentukan, datanglah Billa Tyamaro bersama anak-anaknya. Orang-orang di parona itu tidak ada yang tertawa meskipun merasa gembira bersahabat dengan buaya dan gurita mungil di dalam rumah itu. Sial tak dinyana, orang-orang di parona tetangga, yang tidak tahu menahu tentang kedatangan Billa Tyamaro bersama anak-anaknya, tertawa terbahak-bahak karena ada sesuatu yang lucu dalam pembicaraan mereka. Mendengar suara ketawa itu, membuat Billa Tyamaro tersinggung. 

Orangtua dan saudara-saudarinya berusaha membujuknya, namun ia tetap pada keputusannya untuk segera pulang. Orangtua dan saudara-saudarinya, menyatakan rasa penyesalan yang mendalam dan permohonan maaf serta berusaha menghalang-halanginya, namun Billa Tyamaro dan anak-anaknya, tidak dapat terjangkau oleh tangan dan pandangan mata manusia biasa. Mereka menghilang seketika seperti hembusan angin darat siang itu.  Sejak saat itu, ia tidak pernah datang lagi.

Senja merona merah melukis bibir cakrawala di ufuk barat. Suara burung-burung gagak penjaga waktu menjelang malam yang bertengger memadati sebatang pohon Kapaka (cempaka) besar dan rimbun yang tidak jauh dari parona itu, sayup-sayup terdengar sendu. Suasana parona mulai lengang dan sepi. Di bale-bale bambu Umma Kawica,Dewi duduk menyandar berselonjor kaki. Ia menyepi seorang diri. Dibuai manja hembusan angin malam, ia larut dalam lamunannya.

Hati Dewi sedang gelisah, gundah gulana, membayangkan perjumpaannya dengan laki-laki tampan di pantai Rate Nggaro. Rasa rindunya betul-betul menggelora, sebanding dengan rasa cemasnya. Ibunya turun menemaninya. Jari-jemari ibunya yang mulai keriput namun masih terasa halus mengusap-usap membelai rambutnya yang sebatas bahu. Saat itu Dewi sungguh merasakan betapa indahnya sentuhan kasih sayang seorang ibu.

Terbawa arus emosi jiwa yang membelitnya, perlahan-lahan Dewi mencurahkan kegundahan hatinya kepada ibunya tentang laki-laki ganteng pujaannya itu. Sudah hampir tiga bulan berlalu, namun belum muncul juga batang hidungnya. Posisi parona itu telah diketahuinya dan memberikan harapan untuk segera datang mengunjunginya. 

Dewi sangat khawatir, jangan sampai laki-laki itu seorang penipu, play boy, yang suka mempermainkan hati perempuan atau bisa saja laki-laki itu bukan manusia biasa, hantu atau makhluk alam gaib! Dewi bahkan membayangkan sesuatu yang lebih fatal lagi, jangan sampai kisah pilu Tamo-nya terulang pada dirinya. Ibunya mulai merinding mendengar ceritera daranya dan mengajaknya naik ke bale-bale atas.

Mendengar keluh kesah Dewi dari isterinya, Ayah Dewi segera mengambil seekor ayam jantan berwarna putih dan bersama sirih, pinang dan tembakau, kemudian mempersembahkannya kepada para leluhurnya. Ia menyembelih ayam itu, setelah bersujud menyampaikan ujud-ujud doa syukur dan harapan-harapan berkaitan dengan kegundahan hati keluarganya supaya dara mereka terhindar dari bala bencana akibat dosa-dosa baik pada masa lalu maupun akan datang serta segera memperoleh jodoh seorang suami yang baik. Usai doa dan makan malam, mereka menuju ke pembaringan. 

Malam itu Dewi memilih untuk tidur bersama ibunya. Ia terlelap dalam tidurnya karena belaian kasih sayang ibunya dan juga terbuai mimpi-mimpi yang serba indah. Rasa khawatirnya tentang hidup dan cintanya berangsur-angsur pergi. Sampai dengan hari yang keempat setelah doa syukur itu, ia sudah membayangkan kepastian tentang masa depan hidup dan cintanya yang indah-indah, setelah laki-laki tampan dari kota itu betul-betul memenuhi janjinya untuk datang mengunjunginya.  

Tiga bulan berlalu dengan cepat. Suatu hari terbersit kabar indah bahwa keluarga Rangga Mone, nama laki-laki tampan itu dan keluarga Dengi Walu telah melangsungkan  proses adat-istiadat perkawinan anak-anak mereka. Dan seminggu kemudian beredarlah undangan eksklusif tentang Pernikahan Kudus antara seorang dokter bernama Yosep Rangga Mone dan seorang guru sekolah dasar bernama Maria Dengi Walu di Gereja Santo Yohanes Pemandi, di daerah itu. Waktu itu selepas beberapa minggu Hari Raya Paskah. Suatu Kanuru kebangkitan yang sungguh-sungguh indah dan nyata.***

Tana Kombuka, Sumba Barat Daya, 13 April 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun