Sebagaimana halnya dengan Dewi dan saudari-saudarinya, rombongan tamu yang barusan tiba itu mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Para laki-laki muda yang mereka bicarakan tadi pun mulai beraksi dengan tingkah dan gayanya masing-masing. Satu per satu laki-laki itu, mondar-mandir menyisir dan menikmati setiap titik koordinat keindahan dan keunikan pantai itu, baik dengan mata telanjang maupun kamera.Â
Namanya juga laki-laki, mereka seperti tidak mau kehilangan momentum, satu per satu berusaha mengarahkan pandangan atau sekadar melirik sambil mengumbar senyum kepada Dewi dan saudari-saudarinya. Jika saudari-saudarinya membalasnya dengan senyum-senyum malu ketika berhadapan muka dengan para laki-laki berpenampilan necisatau rapih dari kota itu, maka Dewi seperti batu es yang belum mencair, dingin tanpa riak apalagi senyum.
Detak jantungnya terasa kencang, hatinya bergejolak dan dadanya bergemuruh. Ia terpana kaku seperti terhipnotis dan mulai salah tingkah. Laki-laki itu menyadarinya dan bergegas menyalami Dewi. Mereka saling menyalami, memperkenalkan diri masing-masing dan mulai berceritera seperlunya. Tampak wajah Dewi mulai cerah dan bercahaya lagi.
Mentari terus berlari mendekati puncak cakrawala di atas ubun-ubun. Udara mulai terasa panas. Cahaya sudah menyengat kulit. Pasir putih telah menyilaukan mata. Ombak di laut mulai melompat galah. Desir angin tidak lagi berdesir manja. Dahaga dan lelah, mengajak untuk kembali. Meski hatinya masih enggan untuk beranjak, namun demi martabatnya sebagai seorang dara yang bisa saja disalahtafsirkan sebagai dara murahan, maka Dewi segera pamit dari sisi laki-laki bertubuh tinggi atletis dan tampan itu.
Dewi dan saudari-saudarinya melangkah membelakangi pantai Rate Nggaro, setelah mengucapkan doa dan terimakasih dalam hatinya kepada pantai dan muara itu. Sebab peristiwa yang dialami itu, dianggapnya bukan hanya kebetulan tapi Kanuru (berkat) yang indah. Tampak langkah saudari-saudarinya melemah gontai karena lelah, namun Dewi kelihatan bertenaga dan lincah. Sesekali ia menoleh ke belakang dan selalu saja laki-laki itu mengawasi perjalanannya. Menyadari bahwa saudari-saudarinya memperhatikan sikapnya, maka ia berusaha menyembunyikan senyum dari wajah cantiknya.
Sepulangnya dari pantai Rate Nggaro hari itu, semacam ada kebangkitan dalam diri Dewi, yang kemudian mengalir dalam suasana kehidupan keluarganya. Dewi yang asli hadir kembali, periang dengan gairah suka cita dan tambah dewasa. Orangtua dan keluarganya tentu senang dan sebetulnya ingin mencari tahu apa sebabnya, tapi segan dan tidak tega untuk menanyakannya kepada Dewi. Mereka memilih bersikap biasa-biasa saja, sampai akhirnya dapat menguping canda Dewi dan saudari-saudarinya tentang laki-laki tampan yang mendekati dara mereka saat di pantai. Dara-dara itu menggoda Dewi dengan menyebutnya mendapat Kanuru di pantai Rate Nggaro. Laki-laki itu dianggap sebagai utusan dari  "Tamo" Dewi, leluhur mereka.
Tamo di daerah itu adalah sebutan yang secara harfiah berarti sama nama. Memberi nama pada anak yang berasal dari nama pendahulunya dalam satu hierarki keturunan, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Pemberian nama di daerah itu, juga mengenal nama kiasan yang dianggap nama halus yang disebut "byapi" untuk menghindari menyebut langsung nama asli yang dianggap nama keras yang disebut "ngara tonggoro". Pemberian nama dilakukan melalui suatu upacara adat doa syukur yang ditandai dengan menyembelih dan membakar ayam yang disebut "tunu manu". Â Â
Dengi Walu adalah nama kiasan dari Billa Paha sebagai nama aslinya. Billa Paha adalah nenek-moyang dari Dengi Walu. Billa Paha ini mempunyai kisah perjalanan asmara yang sangat memilukan dan diyakini di daerah itu sebagai kisah nyata atau legenda.
Konon, pada jaman dahulu kala (Yi Nowo Notu), di Parona Pakare, seorang gadis yang sudah dewasa bernama Billa Paha, belum juga mendapatkan jodoh seorang suami. Banyak laki-laki yang datang melamarnya, namun tidak ada seorangpun yang dapat menggaet dan meluluhkan hatinya. Sehingga membuat orangtuanya cemas dan khawatir anak gadis mereka menjadi perawan tua.Â
Oleh karena itu, orangtuanya mengadakan pesta adat yang disebut Woleka, dengan salah satu penari idola adalah Billa Paha sendiri. Tujuan pesta ini tidak lain, yaitu untuk menghadirkan banyak orang, termasuk para laki-laki dewasa, dengan harapan Billa Paha dapat menemukan seorang laki-laki yang disukainya untuk menjadi calon suaminya.