DEWI, begitulah sehari-hari seorang dara itu disapa oleh sobat-sobat karibnya (ole ate). Sebuah nama yang tidak umum di daerah itu. Nama kecil itu memang cocok melekat padanya, bukan hanya lantaran disingkat dari Dengi Walu, nama aslinya, namun juga seindah fenotipe atau penampilannya yang beraura layaknya seorang dewi, cantik, manis, anggun dan mempesona.
Di pagi yang cerah itu, seolah-olah ada kekuatan yang menggerakkan hatinya. Ia mengajak beberapa orang dara yang sebaya dengannya untuk menikmati udara segar dan cahaya pagi di pantai Rate Nggaro, yang tidak jauh dari parona (kampung adat) mereka yang bernama Pakare. Saudari-saudarinya tidak ada yang keberatan, malah sangat antusias, sebagai kesempatan emas untuk menghibur atau setidaknya mengurangi beban saudari mereka, yang sudah sekitar setahun setelah lulus kuliah namun lebih memilih mengurung diri di parona.
Orangtua dan saudara-saudarinya tidak tahu persis, apa yang menyebabkan Dewi yang terkenal periang dan supel serta sopan itu berubah drastis menjadi sangat tenang dan cenderung diam. Senda-gurau atau canda-tawa, yang biasa dilakukannya bersama saudara-saudarinya setiap hari, tidak pernah lagi terjadi. Mereka seringkali menggodanya untuk mengorek informasi mengenai situasi yang dialaminya, namun ia sebatas tersenyum-senyum saja, tanpa sedikitpun membocorkan keluh-kesah rahasia dalam hatinya. Mereka hanya menduga-duga saja kalau sikap terbarunya itu merupakan pertanda kedewasaannya atau sedang galau karena disakiti kekasihnya.
Kekasih? Inilah sesungguhnya yang sedang menjadi pergumulan seperti gaduh perang berkobar yang disembunyikan di dalam hati Dewi. Di parona dan kampus, tanpa niat dan maksud menyombongkan dirinya, semua orang memuja kecantikan dan kesopanannya. Sikapnya yang periang dan sopan serta tidak pilih buluh, menyebabkan banyak laki-laki ganteng seperti arjuna yang menjadi teman dekatnya dan hampir semua laki-laki itu sempat melamarnya untuk dijadikan kekasih. Tapi anehnya, belum ada seorang laki-lakipun yang dianggapnya dapat menggetarkan jiwanya, sehingga memicunya untuk berempati dan memiliki seorang kekasih.
Sampai di usianya yang sudah cukup dewasa itu, Dewi belum pernah memiliki seorang kekasih. Sementara kakak perempuan dan adik laki-lakinya, yang hanya berpendidikan sebatas Sekolah Menengah Pertama, meskipun kehidupan mereka sangat sederhana di desa, tapi tampaknya sudah hidup bahagia bersama anak-anak mereka yang lagi lucu-lucunya.
Ia bukannya sedang menikmati panorama keindahan pantai berpasir putih bersih yang bagaikan bentangan permadani berkilauan dengan ombaknya yang berkejar-kejaran sampai menusuk di bibir pasir itu. Ia justeru duduk dengan wajah tidak bergairah menghadap ke muara Rate Nggaro yang terletak di sisi selatan pantai itu dan bersama desir alunan manja hembusan angin darat, ia terbuai dalam lamunannya sendiri tentang nasib dirinya yang belum juga menemukan seseorang yang bisa menambat nuraninya dan menjadi kekasih jiwa-raganya. Ia sungguh-sungguh khawatir jangan sampai terulang kisah lara nenek-moyangnya.
Tiba-tiba buluh kuduknya merinding. Seluruh tubuhnya seperti balon mengembung yang sedang diisi angin. Seolah-olah ada roh yang menggelayut di sekitarnya. Seakan-akan juga ia sedang tergiring ke dalam dunia lain, yang belum pernah dibayangkannya. Ia sungguh-sungguh seperti dalam pusaran badai. Rasa cemas dan ketakutan merajalela menggerogotinya. Tapi beruntung ia merasakan pikirannya masih normal dan secepat kilat segera menguasai dirinya kembali. Dengan posisi tetap menghadap ke muara itu, ia duduk bersila dan berdoa sambil memohon ampun dan meminta petunjuk kepada roh leluhurnya.
Dewi kembali merasa tenang, pikiran dan hatinya mulai nyaman. Raut mukanya memang tampak seperti kecil dan masih agak pucat, namun senyum manisnya mulai mengembang dari bibir sensualnya, ketika ia menyadari bahwa saudari-saudarinya sudah mengapitnya. Saudara-saudarinya ini samasekali tidak ada yang mengetahui bahwa Dewi barusan hampir kesurupan. Mereka lari menghampirinya, sesungguhnya dengan tujuan untuk menggodanya bahwa ada beberapa laki-laki ganteng dalam rombongan yang baru tiba di bibir pantai itu. Raut wajah Dewi kembali pulih seperti semula dan mereka pun mulai saling usik-mengusik, goda-menggoda, membicarakan laki-laki ganteng yang mereka tidak kenal itu.
Rate Nggaro memang adalah salah satu obyek wisata pantai unggulan di daerah itu. Di samping karena keindahannya yang masih alami, juga mengandung histori perjalanan peradaban masyarakat di daerah itu. Pada daratan datar sisi timur pantai itu, di bibir atas pasir terdapat pekuburan leluhur yang terbuat dari batu megalit besar berbentuk dolmen (seperti meja batu) dari masa purba dan sekitar seratus meter dari pekuburan itu terdapat beberapa parona.
Di dalam parona itu berdiri kokoh rumah-rumah adat berjoglo dengan konstruksi bahan kayu lokal dan beratapkan alang. Pada sisi selatan ujung pantai itu terdapat muara yang menyisahkan kisah legenda hubungan antara manusia dengan makhluk di dunia lainnya. Keindahan dan keunikan itulah yang menyebabkan pantai itu dan kawasan sekitarnya menjadi destinasi yang diminati oleh banyak orang dari luar daerah itu, termasuk wisatawan manca negara.