JEMBATAN dengan konstruksi kokoh yang tampak seperti tergantung itu namanya Waiha, karena dibangun di atas sebuah sungai besar yang bernama Waiha. Jembatan yang sudah berhotmix itu adalah bangunan baru. Sedangkan bangunan lamanya berada tegak lurus di bawah jembatan baru dengan jarak ketinggian sekitar lima belas meter. Sehingga tampak seperti jembatan bertingkat, namun jembatan yang lama tidak bisa lagi dilewati karena sudah tertutup oleh jembatan yang baru.
Melewati jembatan yang menghubungkan wilayah Mbangedo dan Mbalaghar itu memang mengkhawatirkan, terutama bagi orang yang baru mengendarai kendaraan bermotor atau orang yang baru melaluinya. Sebab jalan menurunnya terjal dan mendakinya tinggi dengan tikungan kanan-kirinya yang tajam.
Melintasinya pada sore hari, apalagi petang menjelang maghrib, sangat mencemaskan. Suasananya sangat sibuk oleh penduduk sekitar yang pergi mandi, mengambil air, dan menggiring hewannya ke sungai baik kerbau, kuda dan sapi, sehingga sangat mempersempit ruas jalan yang memang cukup sempit. Kondisi sibuk seperti itu, apalagi jika bertepatan guyuran hujan yang membuat jalan cukup licin, bisa berakibat fatal. Kenyataannya, sudah banyak memakan korban, baik truk, bus, pick-up, motor serta juga jiwa manusia.
Keadaan jembatan itu sudah dianggap biasa oleh Kahi Leba, seorang gadis cantik dan manis yang barusan sekitar satu setengah tahun bertugas sebagai bidan di salah satu desa di Mbalaghar. Berangkat pagi hari dari rumah orangtuanya dan pulang sore hari, ia harus melewati jembatan itu dengan sepeda motor metiknya. Sehingga secara psikologis jembatan itu sudah ditaklukannya. Demikian pula dengan para pemuda, baik yang sering nongkrong  atau berada di sekitar jembatan itu, sudah dikenalnya karena ia selalu menyapa mereka  kalau lewat. Jadi ia tidak ada beban lagi untuk melewati jalur satu-satunya itu.
Suatu senja tampak pemandangan yang tidak biasa. Banyak orang berbondong-bondong hiruk-pikuk seperti panik berlari menuruni jembatan itu dan mendaki menuju arah selatan. Umumnya laki-laki baik yang masih muda maupun yang sudah cukup tua. Rata-rata memegang tombak, parang, batu, kayu kudung dan anak panah. Mereka berteriak sambung-menyambung untuk maju terus. Ini pertanda sedang ada perang tanding.
Loghe Kaka  bersama kawan-kawannya yang sedang dalam perjalanan menuju kampungnya di Mbalagar segera menghentikan mobilnya. Ia bergegas bertanya kepada beberapa orangtua yang juga ikut dalam rombongan itu dan kemudian memutar mobilnya ke arah utara. Ia menginjak pedal gas dan mobilnya bagaikan mengejar angin sehinga dalam sekejap saja sudah berada di kantor polisi setempat. Ia segera turun dan berlari melaporkan peristiwa yang dilihatnya.
Berdasarkan laporan Loghe Kaka itu, dua orang polisi muda berbadan tegap, masing-masing bergegas mengambil senjata laras panjang dengan pistol di pinggang, kemudian dengan berboncengan mereka memacu sepeda motor trail seperti angin ribut menuju arah selatan. Karena jalanan sudah dipadati orang, sehingga sulit menerobos cepat dengan sepeda motor, Â maka polisi di posisi belakang menembakkan senjatanya beberapa kali ke udara. Orang-orang mulai membuka jalan, sehingga dua polisi itu cepat tiba di tempat kejadian. Namun perang sudah mulai terjadi. Rumah yang menjadi sasaran massa yang datang menyerang sudah berantakan kaca-kacanya. Hampir saja rumah itu dibakar kalau kedua polisi itu tidak sigap.
Salah satu polisi berusaha menenangkan massa dan yang satunya lagi dengan penuh percaya diri segera menerobos masuk ke dalam rumah itu. Tuan rumah itu masih berbala-bala dengan alasan bahwa mereka bertanggung jawab penuh sesuai adat-istiadat yang berlaku, namun polisi itu tidak mau melayani argumentasi itu dan berprinsip perang harus dipadamkan dengan membawa pulang korban yang menyulut api kemarahan massa yang datang menyerang. Ia menyisir semua ruangan dan mendapati bidan desa cantik itu sedang menangis tersedu-sedu di dalam kamar.
Begitu melihat polisi ganteng itu yang datang, bidan itu secara spontan berdiri dari bibir tempat tidur dan langsung seperti menyeruduk memeluk polisi itu. Gadis itu pun meminta bantuan polisi itu untuk segera membawanya pulang. Setelah melihat bidan cantik bersama polisi itu keluar rumah, maka massa mulai tenang dan perlahan-lahan pulang.
Loghe Kaka dan kawan-kawannya meneruskan perjalanan ke kampungnya. Karena tidak bisa lagi konsentrasi maka Loghe Kaka meminta bantuan Deta Mete untuk menyetir. Dalam perjalanan dan juga sampai di kampungnya, ia terus saja berkomentar dengan nada prihatin namun  juga lucu. "Jaman sudah berubah sangat maju, tapi masih saja ada orang yang berperilaku seperti jaman kuno dahulu. Mau punya isteri tapi tidak mau proses berpacaran. Cinta ditolak oleh perempuan, pakai Marapu Moro (jimat pelet cinta), atau jalan buntu andalan yaitu bawa lari. Setara pun tidak, laki-laki buta knop alias tidak sekolah, perokok dan kepala mabuk lagi, tapi mau punyai isteri pegawai. Wajah juga buruk dan kering lagi tapi maunya gadis serupa artis," komentarnya tidak habis-habisnya.
Kawan-kawannya menimpali dengan bergurau. "Namanya juga usaha bos," kata Ngongo Bulu. "Jangan begitulah, adat juga membolehkan. Laki-laki itu anak orang kaya kawan, orangtuanya mampu membelisnya," tambah Rangga Mone. Lain lagi komentar Deta Mete, "Berjudi nasib to kawan, siapa tahu bisa! Daripada Rangga ini, apa-apa sudah punya, ganteng lagi, tapi belum laku. Jangan-jangan, ayamnya tidak berkokok!" Â Pecahlah ketawa mereka, sehingga akhirnya beralihlah arah obrolan mereka.
Malam terus merangkak bersama hembusan angin yang cukup dingin. Â Suasana di rumah orangtua Kahi Leba masih ramai. Sementara Kahi Leba sendiri sudah berada dalam dekapan ibunya, setelah sebelumnya sudah mencatatkan peristiwa tadi di kantor polisi. Ia melepaskan beban pikiran dan batinnya dengan menangis tersedu-sedu di pangkuan ibunya. Ketika ia merasa sudah tenang, pikiran dan hatinya mulai cukup berdamai, Kahi Leba mengisahkan peristiwa yang dialaminya senja tadi.
Ketika cakrawala di bibir pantai Wainyapu sampai pantai Marapu di sisi selatan dan pantai Rate Nggaro serta Muara Punda Rere Pero di sisi utara mulai berwarna jingga, sebagai isyarat sang dian siang bertahta sebentar ke dalam peraduannya, Kahi Leba, tanpa cemas sedikitpun, menuruni jembatan itu. Saat ia menikung kanan memasuki jembatan itulah, segerombolan pemuda, sebagian cukup dikenalnya, menghentikan sepeda motor metiknya. Enam orang pemuda mendekatinya dan tanpa basa-basi membopongnya sambil bersorai-sorai sampai di rumah yang diserang tadi. Laki-laki bernama Ndara Kareba, yang pernah menyatakan cinta kepadanya namun ditolaknya secara sopan, membawa sepeda motornya sampai di rumah itu juga.
Sampai di rumah itu, orangtua Ndara Kareba kaget bukan main. Tapi karena anaknya sudah ceroboh membawa lari dirinya, maka orangtua Ndara Kareba mempersilakan laki-laki yang membopong dirinya masuk. Setelah di dalam rumah, ayah Ndara Kareba dengan tegas meminta puteranya untuk tidak memperlakukan seenaknya atau berbuat kasar terhadap dirinya. "Gadis itu bukan anak orang sembarangan. Kalau orangtuanya setuju dan gadis itu juga ikhlas, ayah akan bertanggungjawab. Kalau tidak keluarga kita akan menghadapi bahaya," demikian kisah Kahi Leba mengulangi penegasan laki-laki tua itu kepada puteranya.
Ndara Kareba memang tidak berbuat macam-macam terhadap dirinya. "Di samping saya, ada ibunya yang sangat sabar dan berusaha menenangkan diri saya yang sedang menangis. Waktu itu langit macam mau runtuh saja. Kawan-kawan Ndara Kareba juga hanya mengawasi, supaya saya tidak lari atau berbuat yang fatal," tutur Kahi Leba.
Pada saat serangan itu terjadi, sambung Kahi Leba, "Ayah Ndara Kareba sedang bermusyawarah dengan saudara-saudaranya. Mereka sudah sepakat bahwa pada malam itu juga mau mengutus sesepuh sebagai Toyo Ketengo Paneghengo (delegasi) untuk menyampaikan kabar kepada ayah dan ibu, bahwa saya ada di rumah mereka dan sengaja ditahan untuk menjadi calon isteri putera mereka dan sekaligus anak mantu mereka." Â
Begitu mendengar teriakan sahut-menyahut dari luar dan bunyi  kaca serta seng atap rumah, sebagaimana dikisahkan Kahi Leba, dirinya merasa panik dan ketakutan. Ia sungguh-sungguh khawatir, akibat dirinya, bisa menyebabkan korban harta dan jiwa di antara dua belah pihak keluarga. Ketakutannya sirna ketika mendengar bunyi letusan senjata beberapa kali ke atas angkasa. Dan begitu Ndelo, nama polisi ganteng itu, sudah berada di depannya, ketakutannya lenyap seketika. Seolah-olah pangeran penyelamat yang datang.
"Semangatku bangkit. Jiwaku terangkat. Perang akan berhenti dan diriku akan selamat sampai ke rumah ini," ceritera Kahi Leba. Air mata gadis itu mulai mengering dan wajahnya mulai bercahaya. Sementara orang-orang yang mendengarkan ceriteranya berlinangan air mata dan suasana menjadi teduh menurunkan tensi amarah yang sebelumnya sudah membara.
Orangtua Kahi Leba dan semua keluarga yang ada, merasa ada penyesalan sedikit. Karena ternyata Kahi Leba diperlakukan dengan sangat santun oleh orangtua Ndara Kareba, seperti anak gadis mereka sendiri. "Mereka orangtua yang bermartabat juga. Hanya puteranya yang sembrono," komentar ayah Kahi Leba.
Sementara orangtua Ndara Kareba dan keluarganya terus gelisah karena mereka khawatir akan berujung pada masalah pidana. Bagi orangtua Ndara Kareba, serangan keluarga orangtua Kahi Leba yang menyebabkan rumahnya porak-poranda dianggapnya wajar-wajar saja, sebagai reaksi spontan demi nama baik anak gadis dan martabat keluarga mereka. Tapi jika ia dianggap turut serta melakukan kekerasan terhadap perempuan, inilah bahaya dan bayang-bayang jeruji besi yang dibayangkannya. Dalam hati, ia berdoa dan berharap mudah-mudahan bidan cantik itu bicara jujur apa adanya kepada orangtua dan keluarganya, tentang bagaimana ia bersama isterinya memperlakukannya ketika berada di rumahnya.
Satu hari berlalu, dua hari lewat, hari ketiga berlalu juga, tanpa kabar. Hati  ayah Ndara Kareba terus tidak menentu. Hari yang keempat, ia mengambil keputusan dan pergi seorang diri ke kantor polisi. Setibanya di sana, ia menemui kedua polisi itu dan meminta mereka untuk memprosesnya secara hukum sesuai peristiwa senja itu. Kedua polisi muda itu, melayani orangtua itu sebaik-baiknya dan memberitahukan kepadanya bahwa mereka sekarang sedang menunggu ayah Kahi Leba untuk mencabut laporan peristiwa senja itu.
Ayah Ndara Kareba terdiam dan bingung sendiri. Kemudian ia berkata kepada kedua polisi itu, "Orangtua Kahi Leba itu memang orang yang sangat bermartabat. Tolong sampaikan permohonan maaf saya kepada orangtua Kahi Leba. Dengan rendah hati saya minta bantuan anak berdua untuk menyampaikan kepada mereka, bahwa saya siap membuat pesta adat sebagai tanda minta maaf dan ucapan syukur, supaya jangan ada lagi  yang memperlakukan anak gadis mereka seperti yang diperlakukan oleh putera saya, juga supaya putera saya tidak berbuat hal yang sama lagi terhadap anak gadis yang lain."
"Baik bapak, kami akan sampaikan nanti. Tapi untuk bapak ikuti, orangtua Kahi Leba juga mau lakukan pesta serupa," kata Ndelo. "Ooohhh Mori Nggu, Ooohhh Tuhanku. Sungguh keluarga yang sangat baik dan murah hati. Disakiti malah memaafkan," tutur laki-laki tua itu dan segera pamit pulang.
Tak lama kemudian tibalah ayah Kahi Leba. Kahi Leba juga ikut. Proses administrasi dengan cepat dituntaskan. Ndelo tidak lupa menyampaikan pesan orangtua Ndara Kareba. "Atur saja yang baik anak. Yang penting Kahi Leba sudah selamat," tanggap Ayah Kahi Leba dan segera pamit. Ayah Kahi Leba meminta puterinya untuk berterima kasih kepada kedua polisisi muda itu. Serta merta Kahi Leba melakukannya. Dan ketika berjabat tangan dengan Ndelo, laki-laki yang sudah pernah merasakan pelukannya malam itu, Kahi Leba merasakan ada semacam getar-getar peradaban baru yang misterius di dadanya, lalu menawarkan pesan sekenanya yang impresif, "sering-sering ke rumah ya kaka Ndelo."
Ayah dan anak itu baru saja keluar pintu, mulailah polisi yang satu menggoda Ndelo. "Sering-sering ke rumah ya kaka Ndelo. Wuiii asyik betul, jadi polisi penyelamat, dapat rejeki bidadari senja dari jembatan Waiha. Lama-lama sang bidadari bilang, daripada daripada jadi isterinya si anu lebih baik jadi isterinya kaka Ndelo. Polisi ganteng sok alim kau, tapi kablinger kalau lihat gadis cantik!" Godaan itu tak dihirauaan oleh Ndelo, namun hatinya terus berbunga-bunga. ***
 Tana Kombuka, Sumba Barat Daya, 10 April 2017
Cerpen Rofinus D Kaleka
Â
Cerpen Suatu Senja di Jembatan Waiha ini,
Telah dimuat di Harian Victory News, Minggu, 23 Juli 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H