Malam terus merangkak bersama hembusan angin yang cukup dingin. Â Suasana di rumah orangtua Kahi Leba masih ramai. Sementara Kahi Leba sendiri sudah berada dalam dekapan ibunya, setelah sebelumnya sudah mencatatkan peristiwa tadi di kantor polisi. Ia melepaskan beban pikiran dan batinnya dengan menangis tersedu-sedu di pangkuan ibunya. Ketika ia merasa sudah tenang, pikiran dan hatinya mulai cukup berdamai, Kahi Leba mengisahkan peristiwa yang dialaminya senja tadi.
Ketika cakrawala di bibir pantai Wainyapu sampai pantai Marapu di sisi selatan dan pantai Rate Nggaro serta Muara Punda Rere Pero di sisi utara mulai berwarna jingga, sebagai isyarat sang dian siang bertahta sebentar ke dalam peraduannya, Kahi Leba, tanpa cemas sedikitpun, menuruni jembatan itu. Saat ia menikung kanan memasuki jembatan itulah, segerombolan pemuda, sebagian cukup dikenalnya, menghentikan sepeda motor metiknya. Enam orang pemuda mendekatinya dan tanpa basa-basi membopongnya sambil bersorai-sorai sampai di rumah yang diserang tadi. Laki-laki bernama Ndara Kareba, yang pernah menyatakan cinta kepadanya namun ditolaknya secara sopan, membawa sepeda motornya sampai di rumah itu juga.
Sampai di rumah itu, orangtua Ndara Kareba kaget bukan main. Tapi karena anaknya sudah ceroboh membawa lari dirinya, maka orangtua Ndara Kareba mempersilakan laki-laki yang membopong dirinya masuk. Setelah di dalam rumah, ayah Ndara Kareba dengan tegas meminta puteranya untuk tidak memperlakukan seenaknya atau berbuat kasar terhadap dirinya. "Gadis itu bukan anak orang sembarangan. Kalau orangtuanya setuju dan gadis itu juga ikhlas, ayah akan bertanggungjawab. Kalau tidak keluarga kita akan menghadapi bahaya," demikian kisah Kahi Leba mengulangi penegasan laki-laki tua itu kepada puteranya.
Ndara Kareba memang tidak berbuat macam-macam terhadap dirinya. "Di samping saya, ada ibunya yang sangat sabar dan berusaha menenangkan diri saya yang sedang menangis. Waktu itu langit macam mau runtuh saja. Kawan-kawan Ndara Kareba juga hanya mengawasi, supaya saya tidak lari atau berbuat yang fatal," tutur Kahi Leba.
Pada saat serangan itu terjadi, sambung Kahi Leba, "Ayah Ndara Kareba sedang bermusyawarah dengan saudara-saudaranya. Mereka sudah sepakat bahwa pada malam itu juga mau mengutus sesepuh sebagai Toyo Ketengo Paneghengo (delegasi) untuk menyampaikan kabar kepada ayah dan ibu, bahwa saya ada di rumah mereka dan sengaja ditahan untuk menjadi calon isteri putera mereka dan sekaligus anak mantu mereka." Â
Begitu mendengar teriakan sahut-menyahut dari luar dan bunyi  kaca serta seng atap rumah, sebagaimana dikisahkan Kahi Leba, dirinya merasa panik dan ketakutan. Ia sungguh-sungguh khawatir, akibat dirinya, bisa menyebabkan korban harta dan jiwa di antara dua belah pihak keluarga. Ketakutannya sirna ketika mendengar bunyi letusan senjata beberapa kali ke atas angkasa. Dan begitu Ndelo, nama polisi ganteng itu, sudah berada di depannya, ketakutannya lenyap seketika. Seolah-olah pangeran penyelamat yang datang.
"Semangatku bangkit. Jiwaku terangkat. Perang akan berhenti dan diriku akan selamat sampai ke rumah ini," ceritera Kahi Leba. Air mata gadis itu mulai mengering dan wajahnya mulai bercahaya. Sementara orang-orang yang mendengarkan ceriteranya berlinangan air mata dan suasana menjadi teduh menurunkan tensi amarah yang sebelumnya sudah membara.
Orangtua Kahi Leba dan semua keluarga yang ada, merasa ada penyesalan sedikit. Karena ternyata Kahi Leba diperlakukan dengan sangat santun oleh orangtua Ndara Kareba, seperti anak gadis mereka sendiri. "Mereka orangtua yang bermartabat juga. Hanya puteranya yang sembrono," komentar ayah Kahi Leba.
Sementara orangtua Ndara Kareba dan keluarganya terus gelisah karena mereka khawatir akan berujung pada masalah pidana. Bagi orangtua Ndara Kareba, serangan keluarga orangtua Kahi Leba yang menyebabkan rumahnya porak-poranda dianggapnya wajar-wajar saja, sebagai reaksi spontan demi nama baik anak gadis dan martabat keluarga mereka. Tapi jika ia dianggap turut serta melakukan kekerasan terhadap perempuan, inilah bahaya dan bayang-bayang jeruji besi yang dibayangkannya. Dalam hati, ia berdoa dan berharap mudah-mudahan bidan cantik itu bicara jujur apa adanya kepada orangtua dan keluarganya, tentang bagaimana ia bersama isterinya memperlakukannya ketika berada di rumahnya.
Satu hari berlalu, dua hari lewat, hari ketiga berlalu juga, tanpa kabar. Hati  ayah Ndara Kareba terus tidak menentu. Hari yang keempat, ia mengambil keputusan dan pergi seorang diri ke kantor polisi. Setibanya di sana, ia menemui kedua polisi itu dan meminta mereka untuk memprosesnya secara hukum sesuai peristiwa senja itu. Kedua polisi muda itu, melayani orangtua itu sebaik-baiknya dan memberitahukan kepadanya bahwa mereka sekarang sedang menunggu ayah Kahi Leba untuk mencabut laporan peristiwa senja itu.
Ayah Ndara Kareba terdiam dan bingung sendiri. Kemudian ia berkata kepada kedua polisi itu, "Orangtua Kahi Leba itu memang orang yang sangat bermartabat. Tolong sampaikan permohonan maaf saya kepada orangtua Kahi Leba. Dengan rendah hati saya minta bantuan anak berdua untuk menyampaikan kepada mereka, bahwa saya siap membuat pesta adat sebagai tanda minta maaf dan ucapan syukur, supaya jangan ada lagi  yang memperlakukan anak gadis mereka seperti yang diperlakukan oleh putera saya, juga supaya putera saya tidak berbuat hal yang sama lagi terhadap anak gadis yang lain."