Salam budaya dari Sumba Barat Daya. Hallo para sahabat Kompasiana yang mencintai pelestarian adat-istiadat dan kebudayaan daerah nusantara dimanapun berada. Mari kita tinggalkan Manado dan kembali ke Sumba Barat Daya.
Melalui artikel ini, saya ingin mengenalkan kepada para sahabat sekalian, bagaimana cara bermain Pasola di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tepatnya di wilayah suku Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya dan suku Wanukaka, Lamboya dan Gaura, Kabupaten Sumba Barat.
 Bicara tentang bagaimana cara bermain Pasola, berarti menguraikan Pasola sebagai suatu atraksi perang tradisional yang dilakukan oleh para laki-laki patriot Sumba tempo dulu dengan menunggang kuda sambil melemparkan  atau melesakkan tombak ke arah lawan. Â
Pasola bukanlah perang sungguhan, tapi hanya merupakan simulasi rekonstruksi daur ulang gaya perang masa lalu. Sebagai suatu simulasi perang maka Pasola sudah lebih bersifat "hiburan" massal. Sehingga tombak yang dipakai tidak boleh tajam tapi harus tumpul. Karena tombaknya tumpul, maka disebut lembing. Masyarakat Kodi menyebutnya kapudda atau karingga. Sedangkan masyarakat, Wanukaka, Lamboya dan Gaura menyebutnya Sola.
Iven Pasola tersebut berlangsung harus sesuai dengan momentumnya, yang ditetapkan oleh otoritas penyelenggara Tradisi Nale, yaitu Rato Nale, imam adat khusus yang menata Tradisi Nale. Arena lapang Pasola pun sudah ditetapkan sejak nenek-moyang mereka. Artinya, iven Pasola tidak bisa diselenggarakan kapan saja dan di tempat mana saja.
Lalu siapa saja yang menjadi peserta Pasola? Ya para laki-laki yang sudah dewasa dan punya nyali besar. Mereka harus jago menunggang kuda dan melempar lembing dengan baik dari atas punggung kuda.
Ketika waktu penyelenggaraan iven Pasola sudah tiba, maka arena lapang Pasola akan dipadati oleh beribu-ribu warga masyarakat yang berbusana adat. Tidak ada undangan, cukup dengan pengumuman di pasar-pasar rakyat, warga masyarakat dengan sendirinya akan berbondong-bondong menuju arena lapang Pasola.
Para laki-laki yang menunggang kuda dan memangku lembing terbagi dalam dua kelompok regu atau pasukan sesuai pengelompokan Parona(kampung adat) sejak nenek-moyang mereka. Para laki-laki tersebut berbusana adat lengkap sehingga tampil layaknya pangeran.Â
Kedua pasukan tersebut, menempati sisi ujung arena lapang masing-masing. Kedua sisi arena lapang lainnya dipenuhi oleh warga masyarakat sebagai penonton.
Pasola dipimpin atau di bawah komando langsung oleh Rato Nale. Sebelum Pasola dimulai, Rato Nale, mengumumkan (atau menyegarkan kembali/ulang) kepada para peserta Pasola untuk menaati larangan-larangan yaitu membawa masalah dan dendam pribadinya, menggunakan lembing yang tajam, melempar lawan yang jatuh dari kuda dan lawan yang telah membelakang. Peserta juga dilarang membawa pulang lembing ke rumahnya. Artinya dalam Pasola harus menjunjung tinggi sportivitas.
Sebagai tanda resmi dimulainya Pasola maka Ndara Nale (Kuda Nale) dengan tanda khusus di atas kepalanya yang disebut Wullu Horo (mahkota) dan ditunggang oleh orang kepercayaan Rato Nale dipacu memasuki arena lapang Pasola didampingi oleh beberapa ekor kuda sebagai dayang-dayangnya. Kuda Nale ini tidak mengelilingi arena lapang tapi hanya melintasi sekali saja secara bolak-balik dan langsung kembali ke Parona.