Waktu betul-betul berputar sangat kencang. Tidak terasa sama sekali. Sampai-sampai saya hampir tidak menyadarinya bahwa sudah sebulan bahkan lebih, menjadi bagian dari Kompasiana, ya bahasa menterengnya Kompasianer.
Terus terang, sudah cukup lama sebetulnya saya ingin menulis di Kompasiana, setelah memperoleh informasi bahwa Kompasiana adalah media on-line yang dikelola oleh para jurnalis profesional dari Kompas Group. Namun karena berbagai keterbatasan, terutama karena lambat mengenal dunia internet, maka baru sebulan ini saya dapat mengakses Kompasiana.
Sebagai seorang yang menekuni dunia menulis atau jurnalistik, sejak kuliah di Yogyakarta, saya adalah salah satu orang yang sangat terobsesi menjadi kolumnis di Harian Kompas. Tapi saya sadar betul bahwa kriteria menulis baik opini maupun sastra di Harian Kompas sangat ketat dan kompetitif. Aktualitas dan kualitas isi tulisan serta kemasan bahasa penyajiannya, Â menjadi syarat mutlak yang diterapkan oleh redaksi Harian Kompas. Sesuai pengalaman saya sendiri, redaksi Harian Kompas sangat obyektif dalam menyortir setiap tulisan yang masuk di meja redaksi.
Ketika masih kuliah, pada awal tahun 1990-an, Harian Kompas pernah memuat tiga buah tulisan saya. Satu buah opini dan dua buah resensi buku. Tiga buah tulisan saya yang dimuat itu, Â adalah tulisan urutan yang kesekian puluh kalinya.Â
Sekitar tiga tahun berjuang menulis dan mengirimkan berpuluh-puluh tulisan, baru tiga buah tulisan tersebut yang dapat menembus penjaga gawang di Harian Kompas. Waktu itu, saya sungguh-sungguh sangat bangga. Apalagi dipuji-puji oleh kawan-kawan saya. Rektor saya pun, namanya Prof. Dr. Supriyoko, MPd, juga memberi pujian.
Dengan dimuatnya ketiga tulisan tersebut, tidak berarti bahwa tulisan saya berikutnya mudah lolos di tangan redaksi. Sama sekali tidak. Terbukti, setelah itu, tidak pernah lagi ada tulisan saya dimuat di Harian Kompas sampai saya meninggalkan Yogyakarta pada 1998.
Waktu itu saya cukup stress. Saya berpikir, apakah ada dari ketiga tulisan saya yang dimuat itu, yang dicurigai oleh redaksi Harian Kompas sebagai plagiat? Tentu tidak mungkin, karena dalam menulis saya selalu mengedepankan kejujuran pikiran, kalau ada pendapat yang saya kutip, pasti saya sebutkan sumbernya secara jelas. Tapi apakah mungkin ada tulisan dari penulis lain yang sangat mirip? Â Masa sih!
Saya juga sempat berpikir, jangan sampai karena latar belakang pendidikan saya Pertanian (sarjana pertanian), sementara tema-tema tulisan saya umumnya politik, pendidikan dan kebudayaan, sehingga penjaga gawang Harian Kompas meragukan atau mempertanyakan kompetensi saya. Masa sih! Tak mungkinlah redaksi Hariam Kompas sampai ke sana.
Di samping itu, saya juga sempat berpikir, adakah redaksi Harian Kompas sempat tersinggung dengan tulisan saya? Ini sebagai bahan refleksi (dan sekaligus juga permohonan maaf saya secara terbuka).
Waktu itu, masih di awal 1990-an, saya sempat menulis kritik sastra untuk seorang sastrawan lokal di Sumba. Sastrawan itu sangat saya kagumi ketika masih SMA di Sumba. Ia hebat, cerdas dan berani. Ia memang bukan orang asli Sumba, tapi sudah lama tinggal di Sumba dan isterinya adalah orang Sumba asli. Kini beliau sudah almarhum. Mudah-mudahan ia mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Beliau ketika itu, melalui puisi-puisi dan sajak-sajaknya mengkritik pedas, seolah-olah menguliti habis-habisan berbagai aspek kehidupan sosial, budaya dan pemerintahan di daerah Sumba. Sebagai orang muda, dengan kondisi emosional yang belum dewasa, waktu itu saya sangat tersinggung dan emosional, semacam merasa dihina oleh puisi-puisi dan sajak-sajak beliau.
Karena saya bisa menulis, maka saya melakukan kritik sangat sarkastis terhadap karya-karya beliau, yang barangkali juga bernuansa menyerang pribadinya secara berlebihan. Tulisan tersebut saya kirim ke redaksi Harian Kompas, tapi tidak dimuat dan tidak pernah kembali lagi sampai saya meninggalkan Yogyakarta. Biasanya redaksi Harian Kompas akan mengembalikannya jika tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Mungkinkah ada keluarga beliau di Harian Kompas waktu itu dan merasa tersinggung? Masa sih!
Walaupun sempat berpikir agak negatif demikian itu, saya tetap yakin bahwa redaksi Harian Kompas selalu mengedepankan obyektivitas dan mutu tulisan. Sehingga saya pun tetap terus berjuang menulis dan mengirimkan tulisan ke Harian Kompas sampai dengan 1998, walaupun tidak ada yang dimuat lagi.
Setelah berada di Sumba, kampung halaman saya, saya masih sempat mengirim tulisan, jumlahnya di bawah sepuluh buah, di Harian Kompas, sampai dengan 1999. Tidak ada juga yang dimuat. Kemudian karena kondisi di kampung waktu itu sama sekali tidak mendukung untuk menulis, tidak ada listrik, komputer, telepon, motor dan jauh dari Kantor Pos, maka saya tenggelam sudah dalam kerja praktis ekonomi, termasuk bertani, untuk mempertahankan hidup. Tidak pernah lagi menulis opini, resensi buku, dan puisi sampai dengan awal tahun 2017. Memang saya masih sempat menulis ulang beberapa ceritera rakyat, seperti Rangga Mone dan Anjing Ajaib, yang telah saya posting di Kompasiana ini.
Di awal 2017, karena ada wartawan dari media massa lokal, yang dekat dengan saya dan suka berkonsultasi, maka kembali lagi saya mulai menulis opini dan juga belajar menulis cerpen, baik untuk tabloid mingguan yang ada di daratan Sumba maupun beberapa koran di Kupang. Tidak lupa pula saya mengirimkan tulisan ke redaksi Harian Kompas, walaupun sampai saat ini belum ada juga yang dimuat.
Mulai menggeluti kembali dunia menulis, setelah lebih dari sepuluh tahun pensiun hampir total, sungguh bukan pekerjaan yang gampang. Kira-kira, rasanya seperti orang sakit yang baru keluar opname. Masih butuh penyesuaian lagi.
Ketika semangat saya belum cukup pulih untuk kembali menulis, saya bertemu dengan seorang kawan yang memperkenalkan kepada saya tentang Kompasiana. Ia bahkan mengajari saya bagaimana caranya mengakses Kompasiana.
Teman itu seperti dewa penolong yang menyuntikkan energi baru kepada saya. Saya tertarik dengan Kompasiana dan mulai belajar mengaksesnya. Begitu Kompasiana menerima saya sebagai Kompasianer dan mulai melempar satu buah tulisan, kemudian langsung diunggah, maka rasanya saya seperti sedang dibopong atau digendong oleh malaikat untuk segera nDodong la Parona Kompas (Mudik ke Kampung Adat Kompas). Saat ini saya merasa sudah berada di mBala mBinya Atur Parona Kompas (Pintu Gerbang Pagar Kampung Adat Kompas).
Dengan impresi demikian itu, saat ini semangat saya untuk menulis  sepertinya sedang membara. Selama sebulan ini, saya sungguh-sungguh seperti puber lagi untuk aktif berpikir dan menulis. Setiap hari, terutama saat malam, selalu tidak lupa berlayar di Samudera Kompasiana. Sungguh,  ini nyata. Nyata dan memang sungguh-sungguh. Mudah-mudahan saya akan segera menghampiri atau merapat di emperan Parona Kompas, yang saya banggakan dan saya cintai. Sebuah Parona, komunitas para cerdik-pintar atau cendekiawan, dengan motto Kata Hati Mata Hati.
Terima kasih Kompasiana. Semoga Tuhan Memberkati seluruh Pengelolanya supaya tetap berada dalam kondisi sehat-walafiat.
Rofinus D Kaleka *)
Pemerhati sosial politik, tinggal di Sumba Barat Daya **)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H