Pembangunan pertanian sangat urgen dan vital, karena hanya dari sektor itulah sumber kebutuhan primer dapat terpenuhi untuk mempertahankan dan melanjutkan hidup dan kehidupan kita. Namun demikian perlu diakui, pembangunan pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan dan hortikultura, bukanlah pekerjaan yang mudah.Â
Artinya, sungguh sangat berat sekaligus juga tidak populer. Karena disamping identik dengan pedesaan dan penuh debu atau lumpur, juga tidak sedikit faktor yang mempengaruhi sukses atau tidaknya pembangunan pertanian.
Pertama, lahan pertanian. Potensi lahan pertanian kita, baik lahan basah maupun kering, sebetulnya sangat memadai dan relatif subur. Potensi ini keberadaannya di wilayah pedesaan. Status kepemilikan lahan umumnya masih ulayat atau mengambang, sehingga tidak mudah untuk melakukan ekstensifikasi pengelolaan dan pengembangan usaha tani dengan orientasi skala ekonomi modern.Â
Kondisi tofografi pedesaan umumnya variatif, Â tidak semua daratan datar, ada juga perbukitan atau pegunungan, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam pengolahan lahan.
Kedua, sebagai daerah tropis atau subtropis, iklim kita di Indonesia, sangat kondusif untuk pertanian, karena dapat menyediakan sumber air yang cukup. Namun mengingat kondisi topografi wilayah kita variatif, maka sumber air yang tersedia umumnya tidak dapat diatur pemanfaatannya secara maksimal untuk kebutuhan sektor pertanian.
Ketiga, sarana dan prasarana pertanian. Di daerah pedesaan sebagai wilayah pertanian, Â sarana dan prasarana yang dibutuhkan meliputi irigasi, traktor, pompa air, sumur bor, perontok, penggiling, benih / bibit unggul, pupuk, herbisida dan insektisida. Sarana dan prasarana ini belum tersedia secara memadai di pedesaan. Irigasi yang ada berkapasitas kecil dan seringkali mutu salurannya memprihatinkan.Â
Traktor, pompa air, sumur bor, perontok dan penggiling yang ada jumlahnya terbatas. Disamping itu, juga ketersediaan  benih / bibit unggul, pupuk, herbisida dan insektisida, seringkali terlambat atau tidak tepat waktu. Â
Keempat, sumber daya manusia pertanian pedesaan. Dilihat dari latar belakang pendidikan formal petani kita di pedesaan yang rata-rata jebolan SD/SMP, maka tidak berlebihan kalau dikatakan kualitas SDM petani kita masih rendah. Dengan kualitas yang demikian, maka tidak mudah untuk mengharapkan terjadinya adopsi sarana produksi pertanian secara baik dan adanya inovasi pengembangan usaha tani di pedesaan.Â
Belum lagi menyinggung kecenderungan orang-orang muda pedesaan sekarang ini, yang dari waktu ke waktu, jumlahnya makin meningkat yang meninggalkan sektor pertanian lantaran hijrah ke kota untuk bekerja pada sektor usaha jasa.
Kelima, pendampingan aparatur penyuluh pertanian. Mengingat SDM petani kita di pedesaan rata-rata hanya jebolan SD/SMP, maka diperlukan pendampingan aparatur penyuluh pertanian secara intens dan kontinyu. Pendampingan gaya konvensional dalam bentuk sosialisasi atau berteori saja sudah saatnya ditinggalkan. Artinya, perlu dilakukan inovasi yang lebih kreatif dengan mengutamakan kerja praktek langsung. Â Â
Dan keenam, harga komoditi pertanian. Pasar komoditi pertanian yang ramah terhadap petani memang diperlukan. Harga komoditi pertanian di pasaran bukan sekadar tidak stabil tapi memang kenyataannya masih rendah. Jika harga komoditi pertanian ini sedapat mungkin makin membaik di pasaran, maka tentu petani kita akan bergairah dalam melaksanakan usaha taninya.