Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Suatu Malam di Malioboro, Bersama Putri Umbu Landu Paranggi

5 Desember 2017   23:16 Diperbarui: 6 April 2021   11:36 4600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umbu Landu Paranggi dan Cak Nun. Sumber: Twitter.com/kenduricinta via KOMPAS.COM

BERKUNJUNG ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, setidaknya bagi kami dari Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya yang pernah mengenyam pendidikan di Kota Pariwisata Budaya itu, sangat terasa seperti mudik ke kampung sendiri. 

Dan bila kami sudah berada di Yogyakarta, tanpa menyempatkan diri untuk sekadar jalan-jalan ke Kota Malioboro di malam hari, juga terasa ada sesuatu yang kurang lengkap. Seakan-akan kami belum menginjakkan kaki di Kota Pelajar itu.

Bila ada yang bertanya mengapa demikian, kami pun tidak tahu persis apa apa jawabannya. Mungkinkah, ada hubungannya dengan kisah historis perjalanan panjang proses kepenyairan seorang putra Sumba, Umbu Wulang Landu Paranggi, di jantung kota Yogyakarta itu, sampai-sampai diberi gelar Sang Presiden Malioboro oleh media massa? 

Atau mungkinkah juga ada relasi misteri historis, karena konon tempo dulu, para raja Sumba bersahabat dekat dengan Sultan Yogyakarta? Entahlah, sepertinya kami hanya dituntun naluri saja.

Suatu kesempatan baik dari Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya dapat membawa kami untuk berkunjung di Yogyakarta dalam rangka melaksanakan tugas kehumasan, peliputan Kegiatan Porseni Nasional KORPRI di Gedung Among Raga. 

Kami berjumlah lima orang dan salah satu di antara kami adalah putri cantik dari Sang Presiden Malioboro. Namanya Rambu Anarara Paranggi, ASN pada Bagian Humas Sekretariat Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Waktu kami di Yogyakarta hanya tiga hari, namun efektifnya hanya sehari penuh. Sebelum kembali ke Sumba keesokan harinya,  kendati waktu sudah larut, di malam Jumat, 9 Nopember 2017, sekitar pukul 11.30 WIB, itu kami merasa terusik untuk pergi ke Malioboro, walau hanya sejenak saja.

Dengan bantuan jasa Grab,penyedia sarana transportasi onlineyang memberikan rasa nyaman bagi konsumen di Yogyakarta, kami bergegas menuju Malioboro. Hanya dalam takaran waktu menit saja, kami sudah memasuki area Malioboro dan meminta driveruntuk menghentikan taksinya sekaligus menurunkan kami di depan Malioboro Mall. 

Driver berusia muda itu sangat santun, memberikan gambaran yang jelas bahwa Yogyakarta memang pantas sebagai diberi predikat  kota pelajar, budaya dan pariwisata.

Dari trotoar depan Malioboro Mall menjadi titik startkaki kami dengan santai terayun setapak demi setapak menyusuri trotoar ke arah Keraton Yogyakarta sambil menikmati panorama keindahan Malioboro. Saat itu, kami dapati Malioboro belum sepi. Masih ada satu dua toko yang buka. Juga masih tampak beberapa pedagang kaki lima yang sedang memajang pakaian batik, kaus, sepatu dan aksesoris khas Yogyakarta. 

Demikian juga warung makan lesehan belum ada tanda-tanda akan segera tutup. Para seniman, termasuk pengamen, dengan melodi musik-musik kreatif dan syair-syair lagu yang indah, masih terus beraksi menghibur para pengunjung Malioboro. Artinya, di malam yang sudah cukup larut itu, Malioboro belum juga tidur, masih ramai atau sibuk.

Sontak salah satu teman kami, namanya Yorni Niha, berkomentar, "Orang di sini tidak ada yang tidur ya!" Komentar Yorni ini, langsung disela dengan nada gurau oleh Rambu Anarara Paranggi, "Kamu orang muda yang suka bagadang cocok di sini. Kamu bawa sudah itu kawan-kawanmu di sini." Pecahlah tawa kami. Yorni memang baru sekali itu berkesempatan ke Yogyakarta.

Di malam yang cukup sejuk itu, sungguh suatu pemandangan yang tidak biasanya. Terus terang saja kami memang agak kaget namun terpesona, menyaksikan polesan wajah baru Malioboro yang mempertontonkan aura yang makin cantik. 

Terang benderang seperti suasana siang hari oleh cahaya lampu yang berjejer rapih pada tiang-tiang besi kokoh yang terukir indah. Jalan raya dan trotoar yang bersih serta penataan taman bunga yang indah. Masih tampak juga tegakan bibit-bibit pohon asam jawa yang sementara dalam perawatan.

Perubahan yang paling mencolok dan menyuguhkan kesan "Berhati Nyaman", sebagaimana semboyan Kota Yogyakarta, terletak pada sentuhan kreativitas dan inovasi penataan trotoarnya. 

Tidak lagi penuh sesak dengan sepeda dan kendaraan roda dua serta becak dan andong yang sedang parkir. Pada sisi-sisi strategis trotoarnya ditempatkan bangku-bangku panjang dan tempat-tempat duduk yang bulat. Sehingga para pejalan kaki dan pengunjung yang ingin santai merasakan nikmatnya suasana Malioboro di malam hari, sungguh dimanjakan.

Pada sisi-sisi strategis trotoar itu, mulai dari depan Hotel Garuda sampai perempatan di sisi utara Keraton Yogyakarta, tampak juga banyak pengunjung yang sedang selfi. 

Kami berlima pun tidak mau ketinggalan, sempat juga selfi-ria, mengabadikan gambar kami secara bergantian, dari satu titik fokus ke titik fokus yang lain, termasuk di depan Istana Negara Yogyakarta. Dua teman kami yang paling sering disorot kamera adalah Rambu Anarara Paranggi dan Yorni Niha. Dua teman ini rupanya punya bakat jadi model juga, karena mereka memang bisa beraksi dengan aneka gaya di hadapan kamera.

Sepanjang jalan menyusuri trotoar, penulis sebagai yang senior dan lebih lama berdomisili di Yogyakarta waktu itu, selalu inisiatif mendaur-ulang kisah seputar Malioboro untuk sekadar tambahan informasi kepada keempat teman itu. Kisah kesederhanaan Kepatihan, 

Kantor Gubernur Yogyakarta, yang tidak semewah kantor gubernur di daerah lainnya. Kisah keberadaan Istana Negara Yogyakarta. Kisah Kesultanan Yogyakarta dan hubungannya dengan keistimewaan Provinsi Yogyakarta dalam ketatanegaraan di Indonesia. 

Dan juga kisah perjalanan panjang proses kepenyairan Umbu Landu Paranggi bersama kawan-kawannya di bawah bendera "Persada Study Club dan Koran Pelopor Yogya".

Ketika menyebut nama Umbu Landu Paranggi, kecuali putrinya, tiga kawan yang lain, hanya mendengarkan sambil lalu saja. Maklum, mungkin mereka kurang mengenal siapakah sesungguhnya Sang Presiden Malioboro itu. 

Memang dalam jagat kesenian, khususnya kepenyairan di Indonesia, nama Umbu Landu Paranggi sangat tersohor sebagai penyair besar yang legendaris dan telah melahirkan juga penyair-penyair papan atas nasional seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi Ag, Ragil Suwarno Pragolopati, Ebiet G. Ade, dan Imam Budi Santoso. 

Namun di Sumba sendiri,  karena sampai saat ini dunia kepenyairan belum mulai berkembang, maka menyebut nama Umbu Landu Paranggi sepi-sepi saja.  

Langkah kami mulai melemah dan wajah kami pun sudah terlihat layu ketika tiba di perempatan depan Kantor Pos Pusat Yogyakarta. Pertanda kami masih manusia biasa juga. Lemas dan mengantuk sudah sangat terasa. Karena memang waktu sudah makin larut.

Taksi sudah merapat di pinggir trotoar. Lagi-lagi kami menggunakan jasa Grab. Kami segera beranjak pulang ke penginapan. Selamat tinggal Malioboro yang makin cantik. Semoga kami akan datang menjumpaimu lagi dengan wajahmu yang makin cantik. ***

Rofinus D Kaleka, tinggal di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun