Mohon tunggu...
Rofi Muhammad Ridho M
Rofi Muhammad Ridho M Mohon Tunggu... Pelajar -

Mahasiswa Teknik Pertanian Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekelumit Pikiran Seorang Mahasiswa

18 April 2019   14:55 Diperbarui: 18 April 2019   15:18 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasan Jalan Sayang Jatinangor Waktu Petang

Kala itu, senja begitu memanjakan mata. Sang mentari memberikan sisa-sisa energi terakhirnya untuk tempat yang sedang kupijaki sebelum dia pergi dan menemui makhluk serupa diriku yang jauh di sana setelah sekian lama menunggu dan merindu.

Tebalnya kepulan asap dengan bisingnya suara knalpot kendaraan bermotor turut serta menghiasi hiruk pikuknya kesibukan Jatinangor yang tak pernah mati meski malam menghampiri. Orang-orang saling bercengkrama dan bertatap muka, saling mengobrol dan bercerita, bercerita tentang dirinya, orang lain bahkan mimpinya.

Ya, Jatinangor, sebuah tempat yang dulunya merupakan tempat persinggahan, dan sekarang pun masih sama. Hanya dimensinya saja yang berubah, dimensi waktu dan ruang yang berubah.

Jika dulu tempat ini menjadi tempat persinggahan bagi para musafir yang memiliki pendirian teguh untuk beristirahat, makan dan menyiapkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan jauh untuk dapat berziarah, bertemu saudara jauh dan menjali silaturahim. Namun, sekarang menjadi tempat persinggahan akal dan pikiran bagi mereka yang sedang bermimpi, bercita-cita, merajut asa, saling bahu membahu demi idealisme untuk Dunia yang lebih baik.

Tak lama berselang ketika sedang menikmati kopi pahit di salah satu sudut ruangan, terlihat notifikasi Line, sebuah berita yang mengabarkan segerombolan Mahasiswa yang sedang berunjuk rasa. Perlu waktu yang lama untuk mencerna dan paham sebuah makna dari Mahasiswa dan unjuk rasa, belum lagi  narasi, orasi dan demonstrasi yang melekat padanya. Apalagi dengan statusku yang kala itu masih Maba (Mahasiswa Baru).

Maba, sebutan yang familiar untuk anak yang baru masuk dunia kampus dan dianggap belum tahu apa-apa. Mungkin mereka benar, ketika aku mendengar kata unjuk rasa saja sudah aneh. Bukan arti dari kalimat unjuk rasa yang tidak ku ketahui, namun makna yang coba disampaikan oleh peristiwa tersebut.

Obrolan yang cukup asing dan tak lazim untuk diperbincangkan di khalayak ramai. Dipadu padankan dengan kalimat Mahasiswa yang tak pernah habis untuk diterjemahkan. Terbesit seolah-olah terdapat rasa keangkuhan dalam kata Maha di depan Siswa yang menjadikan kita sebagai pembelajar sejati yang mampu menentukan apakah suatu hal menjadi baik atau buruk. Apalagi kata Mahasiswa yang acap kali dijadikan representasi intelektual sebagai masa depan bangsa.

Terjadi banyak sekali pergulatan internal dalam pikiran yang tak satu pun bisa terucap, beriringan dengan banyaknya pertanyaan yang bermunculan yang menjadikannya makin sulit dipahami. Jika tidak segera dijawab dan dikeluarkan, maka akan semakin menumpuk dan hanya menimbulkan keresahan dan kecurigaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus kembali diatur dan ditempatkan dengan rapi.

Pertanyaan layaknya kunci, jika kita memilih pertanyaan yang tepat, maka akan menjadi kunci yang tepat untuk membuka pintu dan menerima pengetahuan yang baru. Pertanyaan diawali dengan cukup mendasar dengan why, mengapa mereka melakukan itu ?, what, apa tujuan dari mereka ? dan how, bagaimana cara mereka melakukannya ?

Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk menjawab semua pertanyaan yang terlintas dalam benak adalah dengan masuk ke dalam oranisasi kemahasiswaan di Fakultas dan menjadi bagian dalam entitas ini. Jujur, tidak ada yang terlalu menonjol dari organisasi ini, hanya pembahasan yang tentang keseharian dan guyonan-guyonan untuk menghidupkan suasana. Sesekali juga diaktifkan untuk membahas kontestasi dan strategi politik di dalam kampus. Kajian terhadap suatu isu untuk menunjang bahan konsep pemikiran juga tidak terlalu kental.

Hingga suatu ketika, untuk pertama kalinya saya berkesempatan mengikuti acara internal yang dapat mempererat tali silaturahim dengan yang lainnya. Ketika acara bergulir, terlihat dengan jelas bahwa ada semangat akan cita dan cinta terhadap pribadi yang ingin terus lebih baik mewarnai dan menghiasi kehidupan ini dengan gagasanya. Harapan-harapan dikumpulkan untuk saling dipadukan. Ketika sapa, senyum dan gelak tawa menjadi bukti perjuangan.

Barisan dan barikade disusun ulang demi mengokohkan mimpi-mimpi kecil akan dunia dan dibentuknya menjadi suatu tujuan suci nan mulia. Kami saling mengasah adab untuk membentuk peradaban yang beradab.  Mengutip perkataan Prof. Dr. Koentjacaraningrat, peradaban ialah bagian-bagian yang halus juga indah layaknya seni.

Ya, semua retorika, diskursus, mimpi dan cita yang coba kita bangun hanyalah bagian-bagian halus dan jadi pembeda untuk mengubah Dunia, dan perbedaanlah yang menjadikannya berwarna, menjadi seni yang tak terganti. Dan hingga tulisan ini diselesaikan, saya mendapatkan jawaban bahwa saya tak perlu semua jawaban itu. Cukup ketidaktahuan yang mengubah dimensi ruang dan waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun